1.1 Hubungan Kekerabatan Bahasa Indonesia
Sampai sekarang ini ahli-ahli kebahasaan belum
memperoleh kepastian hubungan kekerabatan antara subrumpun bahasa Austronesia
Barat dan Autronesia Timur. Sebelum kita memasuki apa itu hubungan kekerabatan
Bahasa Indonesia, kita harus mengetahui apa arti dari Austronesia.
Kata Austronesia berasal dari
gabungan kata austro yang berarti selatan dan nesia atau nesos yang berarti
pulau-pulau atau kepulauan. Para ahli ada yang
mengatakan bahwa hubungan antara keduanya sangat erat karena berasal dari
keluarga yang sama, tetapi sementara ahli yang lainnya mengatakan bahwa antara
keduanya tidak memiliki hubungan yang
berarti karena berasal dari keluarga bahasa yang berbeda. Ahli-ahli kebahasaan
yang meyakini pendapat kedua mengemukakan bahwa kalaupun keduanya memliki
beberapa persamaan, misalnya persamaan beberapa bentuk kata, hall itu terjadi
karena secara kebetulan (by chance) karena kedekatan letak geografis.
Adapun para ahli yang menganut pendapat pertama yaitu
A.Reland dalam bukunya “De Linguis Insularum Orientalium” (Mengenai
Bahasa-Bahasa Kepulaua Timur) dan Johan Reinhold Foster dalam bukunya “Voyage
Round the World” yang mengatakan bahwa bahasa Melayu (Nusantara) dan bahasa
polinesia (Austronesia Timur) merupakan bahasa-bahasa sekerabat. Demikian juga
William Marseden dalam bukunya “On the Polynesian or East insular Languages”
(1843) yang juga mengatakan hal serupa.
Pendapat pertama ini ditentang oleh Jhon Crawfurd
(1848) dalam bukunya “On the Malayan and Polynesian Languages and Races” yang
mengemukakan bahwa bahasa Indonesia tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa
Polynesia atau Austronesia timur. Kemudian angapada akhirnya pertentangan kedua
pendapat tersebut reda setelah diterbitkan buku “Asal Bangsa dan Bahasa
Nusantara” oleh Dr. Slamet Mulyana (1964) yang mengatakan bahwa hakekatnya
kedua subrumpun tersebut berasaldari keluarga yang sama tetapi masing-masing
dipengaruhi oleh bahasa-bahasa di Asia, seperti di yunan dan Asam.
1.2 Sumber Tradisi Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu kuno,
bersumber dari tradisi bahasa tulis, yaitu berasal dari bahasa kesusasteraan
Melayu kuno. Contoh bahasa Melayu kuno dapat disaksikan pada prasasti-prasasti
zaman Sriwijaya abad ke 7 yang ditemukan di Palembang,
Jambi dan pulau Bangka.
Dilihat dari Sumber tradisi yaitu asal-usul tumbuh dan
berkembanganya suatu bahasa sehinggamenjadi bahasa yang resmi dipakai pada
suatu daerah berdasarkan dua sifat yaitu:
1)
Sifat pertama berasal dari bahasa
lisan.
2)
Sifat kedua adalah bahasa yang
berasal dari tradisi bahasa yang tertulis.
1.3 Perkembangan Bahasa Melayu Pasar menjadi Bahasa Indonesia
Pada dasarnya Bahasa Melayu sudah digunakan secara
luas sebagai alat perhubungan dan semakin dikenal dengan diterbitkan
surat-surart kabar berbahasa Melayu. Bahasa Melayu ini juga ditunjang dengan
adanya situasi Pergerakkan Nasioanal yang membuat bahasa Melayu subur karena
penerbitan surat
kabar. Melihat perkembangan tersebut pemerintah Hindia Belanda membentuk
“Commisie voor Volkslectuur” atau komosi bacaan rakyat dengan tujuan utamanya
adalah mengarahkan perkembangan bahasa, sastra dan pikiran bangsa Indonesia
sesuai dengan keinginan kepemerintahannya.
Dalam perkembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa
Nasional tidak mendapat pengakuan dari pemerintahan Hindia Belanda,
pemerintahan Hindia Belanda tetap menyebutkan bahwa bahasa Nasional Indonesia
yaitu bahasa Melayu. Pada masa pendudukkan Jepang yang dulunya menggunakan
bahasa Belanda diganti dengan bahasa Indonesia. Masa inilah bahasa
Indonesia mampu berkembang dengan pesat sebagai bahasa Nasional atau bahasa
kenegaraan.
1.4 Perkembangan
Tata Ejaan dalam Bahasa Indonesia
Di Indonesia menggunakan emapat macam ejaan sebagai
sebagai sistem otografisnya. Otografi berasal dari kata Latin “Orto” aturan,
dan graphein atau graph yang artinya tullisan. Jadi Otografi dalam bahasa Indonesia
meliputi tata atau sistem ejaan dan tata atau sistem peristilahan.
Adapun sistem ejaan yang pernah dan yang sedang dipakai secara resmi
tersebut adalah:
1) Ejaan Van Ophuysen,
berlaku dari tahun 1901-1947,
Pada masa pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda,
bahwa Melayu merupakan bahasa resmi kedua. Adapun ciri-ciri ejaan ini adalah:
a)
Digunakannya tanda trema (koma ain,
koma terbalik seperti pada kata adil
b)
Digunakannya tanda apostrof (koma
wasla), seperti pada kata so’al
c)
Digunakannya tanda titik (..)
sesuai dengan ejaan bahasa Belanda seperti pada kata masalah, mulai
d)
Digunakannaya dua konsonan tj, dj, dan nj serta dua Vokal oe
2) Ejaan Soewandi atau Ejaan
Republik, berlaku dar tahun 1947-1972,
Ejaan Soewandi dapat dipandang sebagai usaha
menyederhanakan Ejaan Van Ophuysen,
yakni mengadakan perubahan keci disana-sini berdasarkan pertimbangan praktis.
Maka diresmikanlah bahasa tersebut dengan Surat Keputusan Menteri pengajaran.
3)
Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan, berlaku dari tahun 1972-1975,
4)
Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan, berlaku dari tahun 1975 hingga sekarang.
Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan dimatangkan
dengaan dikeluarkan buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan” serta buku “Pedoman umum Pembentukan Tata Istilah” pada tahun
1975 oleh Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sistem Otografi inilah yang
sekarang kita pedomani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar