MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Kamis, 10 Mei 2012

Cerpen Bidadari yang Tak Bersuara

Oleh : Methia Farina


Hujan semakin deras. Memekakkan telingaku. Aku mencoba menghitung hujan. Kuulurkan tanganku dari pintu jendela. Air, basah mengelilingi jemari tanganku. Aku memandang bukit barisan dari ke jauhan. Hujan menghalangi pandanganku. Kenapa harus ada hujan. Basah, basah hatiku. Hujan membuatku pilu.
Kursi roda ini selalu menemaniku dikala hujan. Percikan air yang melantun di jendelaku terkenang masa yang memilukan.
Bariqah, namamu melekat di ingatanku. Sepuluh tahun sudah kursi ini menemaniku. Masih adakah engkau melihatku. Duduk memikirkanmu yang telah lama diam di alam sana. Menangis sendiri. Adakah engkau melihatku Bariqah? Hatiku menyentakkan pilu. Engkau pergi dengan laki-laki lain.
***
“Bang, kita tinggal di sini saja ya? Agar Abang tidak susah mendaki Gunuang Malintang.”
“Kita tinggal dengan ibu saja, Dek! Lagian ibu juga sendiri. Pasti ibu senang kita bersamanya. Jangan fikirkan Abang.”
“Di sini enak Bang, udaranya sejuk. Dan Dek senang kita bertetanggaan dengan Bang Adi.”
“Kalau itu kehendak, Dek. Abang menurut saja.”
“Terima kasih, Abang begitu baik.”
Istriku seorang yang cantik. Dia periang. Wajahnya seperti bulan yang bercahaya. Sesuai dengan namanya Bariqah, pancaran cahaya. Dagunya yang  berbelah semakin menambah sinar wajahnya. Rambutnya lurus, hitam. Alisnya yang melengkung seperti ujung sabit. Saat aku menjadi suaminya. Aku menyuruhnya  memakai kerudung atau selendang penutup kepala. Ia patuh pada perkataanku.
Aku heran terhadap Bariqah. Ia rela menjadi istriku. Mungkin karena wajahku yang tampan. Postur tubuhku yang ideal, tidak terlalu tinggi. Tubuhku yang berotot. Memang di desaku Padang Bubus, akulah orang yang diandalkan. Aku diminta untuk melatih anak pramuka tingkat Sekolah Dasar. Dan juga mengikuti setiap perlombaan bola voli antar desa. Bahkan perlombaan sepak bola antar kecamatan. Tidak pernah desa kami mendapat kekalahan. Menang selalu berada di pihak kami.
Saat itulah aku mengenal Bariqah. Dia selalu menjadi supporter setiaku. Aku mengakui, di kala itu. Umurku dan umurnya berjarak lima tahun. Aku, lima tahun lebih tua darinya. Saat itu umurnya Sembilan belas tahun.
Seperti dengan perempuan sebaya dengannya. Yang masih suka bermain-main. Aku tidak begitu mencemaskannya jika ia berada dekat dengan orang lain.
Adi tetanggaku sekaligus temanku seperjuangan dalam mencari uang. Aku belajar banyak dengannya. Mulai dari cara mengambil batu, cara memecahkan batu, memasukkannya ke dalam gerondong, memutar mesin dan memasaknya dengan air keras, sehingga jadilah berbentuk kuningan yang menyilaukan yaitu emas. Semuanya aku belajar darinya.  Suatu kali Adi berkata padaku, tentang istriku.
“Juhaidi, istrimu sangat baik. Aku senang melihatnya. Kamu sungguh beruntung.”
Apa aku tidak salah dengar. Adi membicarakan istriku di hadapanku.
“Terima kasih.”
Aku segera pergi dari hadapannya. Sungguh ia tidak mempunyai malu. Membicarakan istriku di hadapanku sendiri. Walaupun yang dibicarakan tentang kebaikan istriku. Aku tidak suka itu.
***
Semenjak peristiwa itu aku tidak mau dekat dan pergi ke gunuang Malintang dengan Adi. Hatiku mulai terusik. Fikiranku menjadi tidak tenang.
Kulihat ibu berjalan menuju rumahku. Langkah kakinya begitu cepat, tidak mengenal batu dan kerikil di hadapannya. Langkah kaki ibu membuat semua mata yang berada di tempat tinggalku menatap tubuh rentanya.
“Juhaidi! Di mana istrimu?”
“Bariqah, ke pasar, Bu!”
“Kamu yakin?”
“Tadi, ia bilang begitu, Bu. Ada apa, Bu? Apakah telah terjadi sesuatu padanya?”
“Ibu lihat Bariqah, berboncengan dengan Adi. Tepat di depan mata ibu. Tangannya memegang pinggang Adi.”
Mulutku ternganga. Lidahku kaku. Mataku memerah. Nafasku sesak. Inikah kehendaknya memaksaku untuk tinggal berdekatan dengan Adi. Inikah caranya untuk merusak hubunganku dengan Adi. Aku tersandarkan di sudut dinding yang berlobang. Aku tak bisa berkata lagi. Habis sudah semuanya.
“Sabar, Nak! Engkau harus menyelami istrimu lebih dalam. Mungkin karena ia masih belum terbiasa dengan posisinya sebagai istri.”
“Akan aku ceraikan dia, Bu! Dia menusukku secara halus dan perlahan  menikamku dari belakang.”
“Kendalikan emosimu, Nak! Jangan termakan amarah. Amarah bisa saja membakar rumahmu dan tiada bersisa kecuali abunya.”
Aku kalap. Marah. Kuambil foto pernikahan itu. Aku sobek menjadi berbagai bagian. Pilu. Sakit.
Suara azan sampai di telingaku. Aku tersadarkan dari amarah. Aku dirikan shalat Ashar. Sejuk hatiku, begitu halus dan terasa ayat-ayat-Nya kubaca. Aku menundukkan kepalaku sejenak. Berfikir untuk positif dan baik.
Pintu dapur berbunyi. Kucari sumber suara itu. Terlihat sandal Bariqah di luar pintu. Ia sudah pulang bisikku.
Telepon genggamku berdering. Bariqah! Kenapa ia mengirim pesan padaku. Padahal aku dan ia berada dalam satu rumah, saat ini.  “Bang, air apa yang ada di dalam botol itu?” Air? Masya Allah! Itu air keras, yang aku gunakan untuk memasak emas. Segera kularikan tubuhku ke dapur. Terlihat Bariqah tidak berdaya lagi. Tubuhnya terkulai lemas. Bibirnya hitam, lidahnya hitam. Terbakar oleh air keras.
Belum beberapa menit. Bariqah telah pergi untuk selamanya. Meninggalkanku untuk selamanya. Nasi telah menjadi bubur. Niat hatiku ingin memaafkannya, tak tersampaikan. Mungkin karena foto pernikahannya telah pecah dan berhampuran seperti kepingan uang recehan.
Kenapa engkau tega berbuat seperti ini padaku, Bariqah. Tidakkah engkau kasihan melihatku mengharapkan  bayang-bayangmu menemaniku. Aku begitu mencintaimu. Meskipun engkau telah membuat kesalahan. Aku tetap mencintaimu dan memaafkanmu. Tapi sebegitu gelapnyakah pikiranmu. Sehingga engkau kehilangan arah.
Bariqah! Aku akan kembali mengumpulkan kepingan-kepingan foto pernikahan kita. Akan kubuat seperti sedia kala. Akan kususun menjadi sempurna. Walaupun tak seutuh awal kita bertemu. Biarlah kepingan ini menjadi saksi bahwa aku benar-benar mencintaimu. Bariqah. Lihatlah Bariqah, kepingan kertas ini telah berhasil kususun. Engkau begitu cantik dengan kerudungmu.
***
Semua orang desa membicarakan kematian istriku. Telingaku sudah pekak mendengar suara sumbing masyarakat. Setiap aku berjalan. Telinga ini harus kututup rapat-rapat.  Begitulah di desaku. Kejadian tragis selalu menjadi sorotan utama.
Pernah terdengar berita. Adi menfitnah diriku bahwa akulah yang membunuh istriku sendiri. Hatiku sudah pilu ditambah lagi kepiluan yang lain. Ya, sahabatku sendiri yang telah mengkhianati dan menfitnah diriku. Saat itu ibuku jatuh sakit.
Aku tinggal disebuah ruangan yang tak berjendela. Rumah tahanan temapatku menetap saat ini. Argumenku tidak cukup meyakinkan hakim, bahwa aku tidak bersalah. Mendengar  keterangan aku  divonis hukuman 20 tahun penjara. Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Mak Minah, tetangga ibuku yang mengabariku. Ibuku terkejut dan langsung pingsan.
Tubuhku lumpuh. Hatiku luka, dalam. Istri, pelipur laraku. Ibu, pelita hatiku. Telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Dua orang yang menulis cerita dalam hatiku. Pergi. Siapa lagi yang akan menulis di hatiku. Semakin berat beban yang aku pikul. Di manakah Tuhan? Kenapa Dia tidak membantuku? Aku menjerit dalam kesakitan.
Aku merasakan sesuatu yang aneh dalam tubuhku. Tanganku sangat sulit untuk digerakan. Kaki juga. Apa yang terjadi padaku?
***
Aku dirawat di rumah sakit. Aku dibebaskan, karena penyakit stroke yang aku derita. Dua minggu di rumah sakit. Terdengar berita bahwa Adi masuk penjara. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Ah, aku tidak mau menyebut namanya lagi. Akan kuhapus namanya, walaupun ia adalah sahabatku.
***
Memikirkanmu membuat tubuhku lumpuh total. Stroke. Ya, aku terserang stroke. Sepuluh  tahun aku di atas kursi roda ini. Memandang kepingan yang tak bersuara.  Memikirkamu, apakah engkau baik-baik saja di alam sana? Hanya seuntai doa untukmu. Agar engkau tenang. Hanya itu yang bisa kulakukan untukmu.***(Padang, 2011) (Terbit di Koran Haluan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar