Hujan
semakin deras. Memekakkan telingaku. Aku mencoba menghitung hujan. Kuulurkan
tanganku dari pintu jendela. Air, basah mengelilingi jemari tanganku. Aku memandang
bukit barisan dari ke jauhan. Hujan menghalangi pandanganku. Kenapa harus ada
hujan. Basah, basah hatiku. Hujan membuatku pilu.
Kursi
roda ini selalu menemaniku dikala hujan. Percikan air yang melantun di
jendelaku terkenang masa yang memilukan.
Bariqah,
namamu melekat di ingatanku. Sepuluh tahun sudah kursi ini menemaniku. Masih
adakah engkau melihatku. Duduk memikirkanmu yang telah lama diam di alam sana.
Menangis sendiri. Adakah engkau melihatku Bariqah? Hatiku menyentakkan pilu.
Engkau pergi dengan laki-laki lain.
***
“Bang,
kita tinggal di sini saja ya? Agar Abang tidak susah mendaki Gunuang
Malintang.”
“Kita
tinggal dengan ibu saja, Dek! Lagian ibu juga sendiri. Pasti ibu senang kita
bersamanya. Jangan fikirkan Abang.”
“Di
sini enak Bang, udaranya sejuk. Dan Dek senang kita bertetanggaan dengan Bang
Adi.”
“Kalau
itu kehendak, Dek. Abang menurut saja.”
“Terima
kasih, Abang begitu baik.”
Istriku
seorang yang cantik. Dia periang. Wajahnya seperti bulan yang bercahaya. Sesuai
dengan namanya Bariqah, pancaran cahaya. Dagunya yang berbelah semakin menambah sinar wajahnya.
Rambutnya lurus, hitam. Alisnya yang melengkung seperti ujung sabit. Saat aku menjadi
suaminya. Aku menyuruhnya memakai
kerudung atau selendang penutup kepala. Ia patuh pada perkataanku.
Aku
heran terhadap Bariqah. Ia rela menjadi istriku. Mungkin karena wajahku yang
tampan. Postur tubuhku yang ideal, tidak terlalu tinggi. Tubuhku yang berotot. Memang
di desaku Padang Bubus, akulah orang yang diandalkan. Aku diminta untuk melatih
anak pramuka tingkat Sekolah Dasar. Dan juga mengikuti setiap perlombaan bola
voli antar desa. Bahkan perlombaan sepak bola antar kecamatan. Tidak pernah
desa kami mendapat kekalahan. Menang selalu berada di pihak kami.
Saat
itulah aku mengenal Bariqah. Dia selalu menjadi supporter setiaku. Aku
mengakui, di kala itu. Umurku dan umurnya berjarak lima tahun. Aku, lima tahun
lebih tua darinya. Saat itu umurnya Sembilan belas tahun.
Seperti
dengan perempuan sebaya dengannya. Yang masih suka bermain-main. Aku tidak
begitu mencemaskannya jika ia berada dekat dengan orang lain.
Adi
tetanggaku sekaligus temanku seperjuangan dalam mencari uang. Aku belajar
banyak dengannya. Mulai dari cara mengambil batu, cara memecahkan batu,
memasukkannya ke dalam gerondong, memutar mesin dan memasaknya dengan air
keras, sehingga jadilah berbentuk kuningan yang menyilaukan yaitu emas. Semuanya
aku belajar darinya. Suatu kali Adi
berkata padaku, tentang istriku.
“Juhaidi,
istrimu sangat baik. Aku senang melihatnya. Kamu sungguh beruntung.”
Apa
aku tidak salah dengar. Adi membicarakan istriku di hadapanku.
“Terima
kasih.”
Aku
segera pergi dari hadapannya. Sungguh ia tidak mempunyai malu. Membicarakan
istriku di hadapanku sendiri. Walaupun yang dibicarakan tentang kebaikan
istriku. Aku tidak suka itu.
***
Semenjak
peristiwa itu aku tidak mau dekat dan pergi ke gunuang Malintang dengan Adi. Hatiku
mulai terusik. Fikiranku menjadi tidak tenang.
Kulihat
ibu berjalan menuju rumahku. Langkah kakinya begitu cepat, tidak mengenal batu
dan kerikil di hadapannya. Langkah kaki ibu membuat semua mata yang berada di
tempat tinggalku menatap tubuh rentanya.
“Juhaidi!
Di mana istrimu?”
“Bariqah,
ke pasar, Bu!”
“Kamu
yakin?”
“Tadi,
ia bilang begitu, Bu. Ada apa, Bu? Apakah telah terjadi sesuatu padanya?”
“Ibu
lihat Bariqah, berboncengan dengan Adi. Tepat di depan mata ibu. Tangannya
memegang pinggang Adi.”
Mulutku
ternganga. Lidahku kaku. Mataku memerah. Nafasku sesak. Inikah kehendaknya
memaksaku untuk tinggal berdekatan dengan Adi. Inikah caranya untuk merusak
hubunganku dengan Adi. Aku tersandarkan di sudut dinding yang berlobang. Aku
tak bisa berkata lagi. Habis sudah semuanya.
“Sabar,
Nak! Engkau harus menyelami istrimu lebih dalam. Mungkin karena ia masih belum
terbiasa dengan posisinya sebagai istri.”
“Akan
aku ceraikan dia, Bu! Dia menusukku secara halus dan perlahan menikamku dari belakang.”
“Kendalikan
emosimu, Nak! Jangan termakan amarah. Amarah bisa saja membakar rumahmu dan
tiada bersisa kecuali abunya.”
Aku
kalap. Marah. Kuambil foto pernikahan itu. Aku sobek menjadi berbagai bagian.
Pilu. Sakit.
Suara
azan sampai di telingaku. Aku tersadarkan dari amarah. Aku dirikan shalat
Ashar. Sejuk hatiku, begitu halus dan terasa ayat-ayat-Nya kubaca. Aku
menundukkan kepalaku sejenak. Berfikir untuk positif dan baik.
Pintu
dapur berbunyi. Kucari sumber suara itu. Terlihat sandal Bariqah di luar pintu.
Ia sudah pulang bisikku.
Telepon
genggamku berdering. Bariqah! Kenapa ia mengirim pesan padaku. Padahal aku dan
ia berada dalam satu rumah, saat ini. “Bang, air apa yang ada di dalam botol itu?”
Air? Masya Allah! Itu air keras, yang aku gunakan untuk memasak emas. Segera
kularikan tubuhku ke dapur. Terlihat Bariqah tidak berdaya lagi. Tubuhnya
terkulai lemas. Bibirnya hitam, lidahnya hitam. Terbakar oleh air keras.
Belum
beberapa menit. Bariqah telah pergi untuk selamanya. Meninggalkanku untuk
selamanya. Nasi telah menjadi bubur. Niat hatiku ingin memaafkannya, tak
tersampaikan. Mungkin karena foto pernikahannya telah pecah dan berhampuran
seperti kepingan uang recehan.
Kenapa
engkau tega berbuat seperti ini padaku, Bariqah. Tidakkah engkau kasihan
melihatku mengharapkan bayang-bayangmu
menemaniku. Aku begitu mencintaimu. Meskipun engkau telah membuat kesalahan. Aku
tetap mencintaimu dan memaafkanmu. Tapi sebegitu gelapnyakah pikiranmu.
Sehingga engkau kehilangan arah.
Bariqah!
Aku akan kembali mengumpulkan kepingan-kepingan foto pernikahan kita. Akan
kubuat seperti sedia kala. Akan kususun menjadi sempurna. Walaupun tak seutuh
awal kita bertemu. Biarlah kepingan ini menjadi saksi bahwa aku benar-benar mencintaimu.
Bariqah. Lihatlah Bariqah, kepingan kertas ini telah berhasil kususun. Engkau
begitu cantik dengan kerudungmu.
***
Semua
orang desa membicarakan kematian istriku. Telingaku sudah pekak mendengar suara
sumbing masyarakat. Setiap aku berjalan. Telinga ini harus kututup rapat-rapat.
Begitulah di desaku. Kejadian tragis
selalu menjadi sorotan utama.
Pernah
terdengar berita. Adi menfitnah diriku bahwa akulah yang membunuh istriku
sendiri. Hatiku sudah pilu ditambah lagi kepiluan yang lain. Ya, sahabatku
sendiri yang telah mengkhianati dan menfitnah diriku. Saat itu ibuku jatuh
sakit.
Aku
tinggal disebuah ruangan yang tak berjendela. Rumah tahanan temapatku menetap
saat ini. Argumenku tidak cukup meyakinkan hakim, bahwa aku tidak bersalah. Mendengar
keterangan aku divonis hukuman 20 tahun penjara. Ibu
menghembuskan nafas terakhirnya. Mak Minah, tetangga ibuku yang mengabariku.
Ibuku terkejut dan langsung pingsan.
Tubuhku
lumpuh. Hatiku luka, dalam. Istri, pelipur laraku. Ibu, pelita hatiku. Telah pergi
meninggalkanku untuk selamanya. Dua orang yang menulis cerita dalam hatiku.
Pergi. Siapa lagi yang akan menulis di hatiku. Semakin berat beban yang aku
pikul. Di manakah Tuhan? Kenapa Dia tidak membantuku? Aku menjerit dalam
kesakitan.
Aku
merasakan sesuatu yang aneh dalam tubuhku. Tanganku sangat sulit untuk
digerakan. Kaki juga. Apa yang terjadi padaku?
***
Aku
dirawat di rumah sakit. Aku dibebaskan, karena penyakit stroke yang aku
derita. Dua minggu di rumah sakit. Terdengar berita bahwa Adi masuk penjara.
Aku tidak tahu apa penyebabnya. Ah, aku tidak mau menyebut namanya lagi. Akan
kuhapus namanya, walaupun ia adalah sahabatku.
***
Memikirkanmu
membuat tubuhku lumpuh total. Stroke. Ya, aku terserang stroke.
Sepuluh tahun aku di atas kursi roda ini.
Memandang kepingan yang tak bersuara. Memikirkamu, apakah engkau baik-baik saja di
alam sana? Hanya seuntai doa untukmu. Agar engkau tenang. Hanya itu yang bisa
kulakukan untukmu.***(Padang, 2011) (Terbit di Koran Haluan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar