A. Aliran Khawarij
1.Pengertian dan Pendapat Khawarij
Salah satu aliran yang tertua dalam islam adalah aliran Khawariij.
Khawarij ini berarti pada mulanya keluar, golongan yang meninggalkan paham pada
waktu itu. Nama khawarij diberikan pada golongan yang keluar dari jamaah Ali
diwaktu Ali menerima tahkim dari Muawiyah dalam pertempuran Shiffin. Mereka
dinamakan khawarij, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud
berjihad dijalan Allah. Mereka memakai dasar Surat An-nisa:100
Selanjutnya mereka mereka menyebut diri mereka syurah yang berasal dari
kata yasri (menjual), sebagaimana disebutkan dalma surat al-Baqarah:207
Maksudnya mereka adalah orang-orang yang bersedia mengorbankan diri untuk
Allah.
Nama lain yang diberikan Allah untuk mereka adalah haruyyah dari kata
harura suatu desa dekat Kuffah di Irak. Ditempat inilah mereka yang berjumlah
12.000 orang berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali. Disinilah mereka
memilih Abdullah Ibnu Wahab al-Rasydi menjadi imam mereka. Mereka dinamakan
juga Muhakkimah karena mereka selalu mempergunakan semboyan “ La hukma Illa
Lillah “, artinya : “ tiada hukum selain (hukum) dari Allah.[1]
Adapun pendapat-pendapat Khawarij adalah sebagai berikut :
a)
Dalam soal ketatanegaraan,
bertentangan dengan paham yang ada pada waktu itu yaitu Syiah berpendapat
kepala negara dari keturunan Ali, ahlu sunnah berpendapat dari golongan
Quraisy.
b)
Menurut mereka yang berhak menjadi
khlaifah siapa saja yang sanggup asal dia orang islam . khalifah dipilih secara
tegas.
c)
Khalifah yang dipilih terus
memegang jabatan selama bersifat adil dan menjalankan syariat islam.
d)
Mereka mengerjakan shalat,
berpuasa, berhaji dan ibadah yang lain serta menjauhkan yang dilarang adalah
suatu bagian dari iman.
Dalam
hal ini khaifah Abu Bakar dan Umar secara keseluruhan dapat diterima (tidak menyeleweng),
sedangkan Usman mereka menyeleweng mulai tahun ke tujuh pemerintahannya, dan
Ali mereka pandang menyeleweng sesudah peristiwa perdamaian. Sejak itulah Usman
dan Ali bagi mereka telah menjadi kafir, demikian pula halnya Muawiyah, Amru
bin Ash, Abu Musa al Asahri serta semua orang yang dianggap telah melanggar
islam.
2.Sekte-sekte Khawarij dan Ajarannya
Menurut Syahrastani mereka terpecah menjadi 18 sub sekte, dan menurut
Al-Bagdadi 20 sub sekte yang lebih banyak lagi.
a) Al-Muhakkimah.
Tokoh sekte Muhakkimah ini adalah Abdul bin Wahab al-Rasyidi. Muhakkimah
adalah golongan khawarij asli yang terdiri dari pengikut-pengikutnya Ali. Bagi
mereka Ali, Muawiyah, Amru bin Ash, Abu Musa al-Ashari dan orang-orang yang
menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir ini mereka luaskan
sehingga termasuk didalamnya orang-orang yang melakukan dosa besar.
b) Al-Azariqah.
Golongan yang dapat menyusun barisan barusetelah golongan Muhakkimah
hancur adalah golongan Azariqah. Nama ini diambil dari Nafi’ bin Azraq. Daerah
kekuasaan mereka tidak lagi memakai istilah kafir tetapi musryik (polytheis).
Selanjutnya yang dipandang musryik adalah :
·
Semua orang tidak sepaham
dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham tetapi tidak mau hirah ke
lingkungan mereka juga dipandang musryik.
·
Semua penduduk yang tidak
membantu mereka, apalagi yang menetang dipandang musryik karena mereka menyeru
kepada seruan Rasul, yang tidak mau menurut berarti menentang Rasul.
·
Para
pezina yang muhsin boleh tidak rajam karena nash hanya menyuruh cambuk saja
setiap pezina.
c) Al-Najdat.
Golongan khawarij yamamah dengan pengikut Nafi’ (Abu Hudaik, Rasyid Tawil
dan Atiyah Al Hanafi), Karena tidak setuju dengan pendapat Nafi’ tentang
menganggap musyrik orang yang tidak mau
hijrah dan halalnya dibunuhnya anak istri yang tidak sepaham dengan mereka.
Pengikut Najdat bin Amir Al Hanafi dan Abu Hudaid bersatu memilih Najdat
sebagai imam baru, Nafi’ dan pengikutnya dipandang kafir.
Pendapat Najdat:
·
Dosa besar menjadi kafir
dan kekal dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan mereka..
adapun pengikutnya yang berdosa memang akan disiksa tetapi bukan dineraka,
akhirnya masuk surga.[2]
·
Dosa keci menjadi besar
kalau dikerjakan terus menerus. [3]
·
Yang diwajibkan bagi orang
islam beriman kepada Allah, rasul, seluruh apa yang diwahhyukan. Haram membunuh
yang selain itu tidak perlu diketahui.
·
Dalam lapangan politik
adanya imam perlu jika maslahat menghendaki.
·
Paham taqiah bukan hanya
dalam bentuk ucapan tetapi juga dalam bentuk perbuatan.[4]
Pengikut Najdat tidak setuju dengan seluruh pendapat Najdat akhirnya
mereka pecah menjadi tiga golongan yaitu pengikut Abu hudaid berontak terhadap
Najdat, pengikut Atiyah ialah Abdul Karim bin Ajrat.
d) Al-Ajaridah
Adalah pengikut Abdul Karim Bin Ajrat salah seorang teman Atiyah Al
Hanafi. Mereka bersikap lunak karena menurut mereka:
·
Berhijrah bukan kewajiban
tetapi kebajikan
·
Harta yang boleh menjadi
rampasan hanyalah harta musuh yang telah
mati.
·
Anak kecil tidak bersalah,
tidak musyrik menurut orang tuanya.
·
Berpaham
Putitanisme(kesucian), mereka tidak mengakui surat yusuf dalam Al-Quran, karena menurut
mereka tidak mungkin kitab suci yang merupakan wahyu itu mengandung cerita
cinta.
Mereka juga terpecah kepada golongan-golongan kecil (berpaham Qadariah
Al-Hamziah, Al-Syuaibiyah dan Hazimiyah)yang menganut paham berlawanan.
e) Al-Sufriyah
Pemimpin mereka ialah Ziyad bin Al-Asfar dalam paham mereka sama dengan
golongan Azariqah. Oleh karena itu juga golongan ekstrim, yang membuat mereka
kurang ekstrim adalah:
·
Orang Sufriyah yang tidak
hijrah tidak dipandang kafir.
·
Mereka tidak berpendapat
anak-anak orang musyrik bole dibunuh. Tidak semua dosa besar menjad musyrik.
·
Dosa ada dua macam yang ada
hukumannya didunia dan yang tidak ada hukumannya didunia.
·
Daerah golongan yang tidak
sepaham bukan daerah yang harus diperangi, anak-anak tidak boleh jadi tawanan.
Jadi tidak semua kafir keluar dari islam. Disamping pendapat diatas
pendapatnya yang khas adalah taqiah hanya boleh denga perkataan, untuk keamanan
diri wanita islam boleh kawin dengan laki-laki kafir.
f) Al-Ibadiyah
Adalah golongan yang paling moderat. Namanya diambil dari Abdullah Ibnu
Ibad yang pada tahun 686 M memisahkan diri dar golongan Azariqoh. Ajarannya :
·
Yang tidak sepaham dengan
mereka bukan mukmin bukan musyrik tetapi kafir, boleh mengadakan hubungan.
·
Daerah yang tidak sepaham
bukan daerah kafir yang harus diperangi.
·
Pelaku dosa besar bukan
musyrik tetapi muwahid tetapi bukan mukmin melainkan kafir nikmah.
·
Yang boleh dirampas hanya
kuda dan senjata, emas dan perak harus dikembalikan.
Golongan khawarij yang ekstrim dan radikal telah hilang dalam sejarah hanya ajarannya masih
di anut. Sedangkan yang moderat(Ibadiyah) masih ada di Zanzibar, Afrika Utara, Amman Dan Arabiah
Selatan.
- Aliran Murji’ah
1.Sejarah Timbulnya
Aliran ini timbul pada akhir abad pertama hijrah di
Damaskus. Kaum Murji’ah pada mulanya ditimbulkan oleh persoalan politik
(khalifah) yang membawa perpecahan didalam umat islamsetelah usman bin Affan
mati terbunuh. Persoalan ini menyebabkan terjadinya peperangan antara Ali bin
Abi Thalib dengan Muawiyah yang terkenal dengan perang Siffin. Kaum khawarij yang
pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya
setelah tahkim. Penyokong-penyokong Ali yang tetap setia bertambah membelinya
yang akhirnya mereka merupakan satu golongan yang dikenal dengan Syi’ah. Syi’ah
dan Khawarij walaupun mereka dua golongan yan bertentang, tetapi mereka
sama-sama menentang kekuasaan Muawiyah. “Kalau khawarij menentang dinasti ini
karena memandang mereka menyeleweng dari ajaran islam, syi’ah menentang karena
memandang mereka merampas kekuasaan dari Ali dan keturunannya.
Pertentangan yang bermotifkan politik ini merembes ke
persoalan aqidah, persolan dosa, kafir atau tetap mukmin. Khawarij menyatakan
bahwa mereka yang terlibat dalam tahkim berdosa besar dihukum kafir. Syi’ah
menganggap Muawiyah menyeleweng (berdosa) karena merampas kekuasaan Ali. Bahkan
sebagian mereka juga mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Usman (Syi’ah ekstrim).
Dalam suasana pertentanga inilah yang munculnya Murji’ah sebagai golongan netral
(penengah) yang tidak mau turut dalam soal kafir mengkafirkan. Bagi mereka
sahabat-sahabat yangn bertentangan itu memrupakan orang-orang yang dapat
dipercayai dan tidak keluar dari ajaran yang benar. Oleh karena itu mereka
tidak mengeluarkan pendapat tentang
siapa yang salah dan benar dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari
perhitungan didepan Tuhan.
Akhirnya Murji’ah sebagai golongan politik yang netral
beralih kepersoalan aqidah. Masalah dosa yang memperdebatkan khawari juga
menjadi bahan pembahasan mereka. Kalau khawarij menghukum kafir, Murji’ah
menghukum mukmin.
2. Asal Usul Nama Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata arja’a. Ada
berbagai pendapat tentang asal usul nama Murji’ah sesuai dengan perbedaan
pengertian tentang kata arja’a:
a)
Arja’a berarti menunda. Dosa besar
yang dilakukan ditunda penyelesainnya kehari perhitungan kelak.
b)
Arja’a berarti membuat sesuatu
mengambil tempat dibelakang (mengemudiankan) maksudnya meletakkan amal
dibelakang iman dengan pengertian iman lebih penting dari amal.
c)
Arja’a berarti memberi pengharapan.
Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin dan tidak kekal
didalam neraka berarti memberi harapan kepada yang berbuat dosa untuk
memperoleh rahmat Allah.
3. Sekte-Sekte Murji’ah
Aliran Murji’ah
dapat dibagi dalam dua golongan yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim.
Golongan Moderat
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam
neraka, tetapi akan di hukum dineraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh
karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Tokoh yang termasuk dalam Murji’ah Moderat ini yaitu Al-Hasan bin
Muhammad bin Ali bin Abu Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli
hadist. Abu Hanifah memberi defenisi tentang iman sebagai berikut:” Iman adalah
pengetahuandan pengakuan tentang Tuhan tentang rasun-Nya dan tentang apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan
tidak dalam perincian; iman tidak
mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara manusia
dalam hal iman. Berkenaan dengan memasukan Abu hanifah kedalam Murji’ah ini
terdapat perbedaan pendapat Syahrastani mengatakan tidak mungkin Abu Hanifah
menganjuurkan meninggalkan amal. Sedangkan Ahmad Amin menyatakan memasukan Abu
Hanifah kedalam Murji’ah moderat tidak ada salahnya. Sedangkan Abu
Zahrahmengatakan janganlah memasukkan
imam-imam kedalam Murjji’ah.
Golongan ekstrim adalah pengikut-pengikut Jaham bin Sofwan
(Al-Jahamiyah). Golongan ini berpendapat bahwa orang islam yang percaya pada
Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir ,
karena iman dan kufur tempatnya adalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dar
tubuh manusia.
Yang termasuk
Murji’ah ekstrim adalah:
- Al-Salihah (pengikut Abu Hasan Al Salih). Iman adalah mengetahui Tuhan da Kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam artian mereka shalat,puasa bukanlah ibadat, karena dimaksud adalah iman kepadaNya mengetahui Tuhan.
- Al Yunusiah mengambil kesimpulan bahwa melakiukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidaklah merusak iman.
- Al Ubaidiyah ,” jika seseoran gmati dalam iman, dosa-dosa da perbuatan-perbuatan jahat yang adilakukannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
- Maqatil bin Sulaiaman,: perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak akan merusak iman seseorang dan sebaliknya perbuata baik tida akan merubah kedudukan seorang musrik.
- Al Kassaniah menyatakan bahwa” saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing, orang demikian tetap mukmin bukan kafir.
C.Qadariyah
1. Latar Belakang Qadariyah
Nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah
atau kemampuan untuk melakukan kehendaknya, bukan berasal dari pengertian bahwa
manusia terpaksa tunduk pada qadar atau ketentuan Tuhan. Dalam istilah
inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act. [6]
Kata Qadariyah berasal dari kata kerja qadara yang berarti memutuskan (to
decree or decide) atau juga berarti memiliki kekuatan atau kemampuan (to prosses
strength ability).
Dalam disipilin Ilmu kalam, istilah Qadariah dipakai untuk nama suatu paham yang memberikan penekanan kepada kebebasan
dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Paham Qadariyah dipelopori oleh, antara lain, Ma’bad Al Juhanidan Ghailan
al-Dimasqi. Keduanya dianggap pendiri paham ini . sungguhpun demikian, masih
belum diketahui secara pasti kapan sebetulnya paham ini muncul. Menurut Ibnu
Nabatajh, Al juhani dan Ghilan al Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang
Kristen yang masuk islam di Irak.[7]
2. Ajaran Qadariyah
Ajaran terpenting dari paham Qadariyah ialah dalam hal meletakkan posisi
manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah lakunya. Manusia diyakini
mempunyai kekuatan untukmelaksanakan kehendak itu. Tuhan bagi mereka tidak lagi
melakukan intervensi terhadap manusia.. kalau manusia ingin melakukan suatu
perbuatan, maka itu adlah atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Sebaliknya,
kalau ia ingin menjauhi perbuatan-perbuatan jahat, maka hal itu juga atas
kehendak dan kekuasaannya sendiri.
Kelompok Qadariyah juga percaya kepada taqdir. Akan tetapi taqdir bagi
mereka bukanlah bermakna “nasib” melainkan bermakna kemampuan, kekutan dan
kekuasaan. Artinya manusia memiliki kemampuan, kekutan atau kekuasaan dalam
menentukan pilihan dan perbuatannya. Kalaupun taqdi itu bermakna ketentuan, maka makna ketentuan bagi mereka
lebih tertuju kepada sunnatullah, yaitu hukum-hukum Tuhan yang diciptakannya,
dan hukum-hukumitu berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya. Alam
semesta beserta seluruh isinya tentulah berjalan menurut sunnatullah yang telah
ditetapkan oleh Allah.
Ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh paham Qadariyah tetapi juga
didasarkan kepada ayat-ayat al-quran. Ayat lain yang dijadikan rujukkan oleh
paham Qadariyah ialah surat
al-kahfi ayat 29, Fusshilat ayat 40, Ali Imaran ayat 164, dan al-Ra’d ayat 11.
Paham Qadariyah ini sepertinya tidak disukai oleh mayoritas islam,
terutama saat kemunculannya. Sebabnya antara lain karena paham ini amat
liberal. Hal itu amat bertentangan dengan kebiasaan umat islam kebanyakkan
terutama dikalangan bangsa Arab. Bahkan paham Qadariyah dianggap bertentangan
dengan ajaran islam, dan lebih tragis lagi, paham Qadariyah dicap sebagai
kepercayaan Majusi, al-Qadariyah majusun
hazihi al-umat.
Menurut Harun Nasution bangsa Arab saat itu sangat bersifat sederhana dan
jauh dari pengetahuan. Oleh sebab itu, mereka lebih cenderung pasrah dan
menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang
pasir yang gersang. Kondisi yang disebut terakhir , secara sosiologi amat
berpengaruh terhadap kebiasaan orang-orang Arab yang lebih mengandalkan
kekuasaan pisik ketimbang akal pikiran.
Disamping faktor perbedaan kecendrungan diatas, maka penolakkan terhadap
paham Qadariyah sepertinya juga dilator belakangi oleh faktor politis, terutama
dari kalangan penguasa Bani Umayyah . Dalam sejarah disebutkan bahwa kedua
tokoh pembawa paham Qadariyah pada akhirnya mengalami nasib yang sama yaitu
mati terbunuh oleh penguasa Bani Umayyah, Ma’bad Al Juhani mat terbunuh
ditangan Hajjad atas perintah khalifah Abd Malik Bin Marwan, sedangkan Ghilan
Al Dimasyqi dihukum mati oleh Hisyam bin Abdul Malik.
Sungguhpun paham Qadariyah mendapat kecaman dari mayoritas umat islam,
terutama dari kalangan penguasa, bahkan pendiri paham itu dilenyapkan dari
permukaan, namun ternyata hal ini tidaklah serta merta menjadikan paham
Qadariyah sirna dari peredara sejarah. Bahkan meskipun dari kalangan minoritas,
paham Qadariyah tetap hidup dan dinikmati
ajaran-ajaran Qadariyah dihidupkan terus oleh kelompok Mu’tazilah dan dibangkitkan kembalo oleh
kalangan para pembaharu islam dizaman modern.
D.Jabariah
1.Latar Belakang Aliran Jabariah
Nama jabariah berasal dari
kata jabara yang mengandung arti
“memaksa”. Dalam konteks pemikiran kalam, istilah jabariah kemudian diartikan
bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dihadapan Tuhan. Menurut
Syahrastani, Jabariah bermakna paham yang menafikanperbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Artinya manusia
tidaklah memiliki andil dalam melakukan perbuatannya, tetapi Tuhanlah yang
menentukan segala-galanya, dalam istilah inggris, paham ini disebut fatalism atau predestination.
Paham Jabariah dikembangakan pertama kali oleh al-Ja’ad bin Dirham dan
Jahm bin Safwan. Tokoh yang disebut terakhir sebelumnya adalah pendiri
al-Jahamiyah dari aliran Murji’ah. Disamping dua tokoh utama ini, ada lagi
tokoh yang cukup dikenal dari kalangan Jabariah, yaitu al-Husein ibn Mahmud
al-Najjar. Dua tokoh yang disebut pertama dikenal sebagai golongan jabariah
ekstrem, sedangkan tokoh yang disebut terakhir adalah dari golongan Jabariah
Moderat.
2.Ajaran Jabariah
Sebagai reaksi terhadap paham Qadariah, maka ajaran-ajaran paham Jabariah
lebih menonjolkan lemahnya manusia dihadapan Tuhan. Bagi paham Jabariah ,
manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan,
kemauan dan pilihan.
Paham Qadariyah ini melampaui batas sehingga mengatakan bahwa tidak
berdosa kalau berbuat kejahatan, karma yang berbuat itu pada hakikatnya Allah
pula. Sesatnya lagi mereka berpendapat bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula
yang mencuri, bila orang shalat Tuhan juga yang shalat. Jadi kalau orang yang
berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan kedalam neraka, maka Tuhan itu tidak
adil. Karena apapun yang diperbuat oleh manusia , kebaikkan atau keburukkan,
tidak satupun terlepas dari kodrat dan iradat-Nya.
Dalam segi-segi tertentu,
Jabariyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan
pendapat, misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka tidak kekal,
Allah tidak bisa dilihat diakhirat kelak, Al-Quran itu makhluk dan lain-lain.
Jaham bin Sofwan mati terbunuh oleh pasukan Bani Umayyah pada tahun 131H.
[1]Abu
Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam
Islam, (Jakarata : Logos,1996), cet. I, h.69
[2] Al
Syahrastani, Al Milal Wa Al-Nihal. (Bairuy: Dar AlFikri,tt) h. 124
[3] Bagdadi,
Al-Faraq bain Al-Firaq,( Kairo: Maktabah Subeih,tt ), h. 87
[4]
Al-Syahrastani, 0p-cit. h.124
[5] Harun
Nasution, op-cit, h.19
[6] Teologi
islam. H.31
[7] Amad
Amin, Fajr al-Islam, al-Nahdah, Kairo, h.255
Tidak ada komentar:
Posting Komentar