MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Selasa, 15 Mei 2012

CERPEN KESAKSIAN ALAM


Oleh: Methia Farina

Kala senja menemani kegundahanku. Aku menatap langit yang mulai merah dengan beriringnya terbenam matahari. Aku berkisah padamu tentang penuduhan yang bukanlah kesalahanku. Tahukah teman ada balasan terhadap apa yang diperbuat. Alam ini berproses. Alam ini menyaksikan. Alam ini merasakan. Alam ini memiliki kekuatan. Energi alam ini menyatu dengan diriku. Aku berlari secepat mungkin  melewati semak-semak. Malam sudah semakin larut–senja pergi menyapa malam.
Aku seperti mengenal perempuan itu. Beberapa hari ini dia selalu mengikutiku. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya yang menyentuh bahunya. Ditarik-tarik oleh angin senja. Samar-samar aku melihat wajahnya. Senja menghambat penglihatanku. Perempuan itu mendekat padaku. Malam itu tiada rembulan menerangi. Aku berjalan berdua dengan perempuan itu. Jalan mendaki kami lalui. Aku tidak mengerti mengapa dia beriringan denganku bahkan semakin dekat denganku. Aku mempercepat jalanku. Firasatku mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. perempuan itu mengejar langkahku.
“Abang! Boleh kenalan? Namaku Mira.”
Langkahku tiba-tiba surut. Aku berhenti menoleh padanya.
“Boleh, namaku Alfan.”
“Abang tinggal di mana? Bolehkah aku main ke rumah?”
Kakiku terus melangkah. Aku takut. Malam semakin pekat, sementara jalan mendaki ini tidak memiliki lampu jalanan. Hanya mata hatiku yang meraba-raba bumi yang aku pijaki. Lama aku tidak menjawab pertanyaan permpuan yang bernama Mira itu. Ada sesuatu mengganjal di hatiku. Aku juga tidak tahu. Apa itu.
“Sedikit lagi rumahku akan kelihatan. Tidak jauh dari pendakian ini.”
Perempuan itu memegang tanganku, erat. Aku terperanjat. Jantungku berdebar kencang.
“Apa ini! Lepaskan!”
Di belakangku telah berkumpul beberapa orang pemuda. Mereka memegang tanganku. Menyeretku.
“Ada apa ini? Apa yang kalian lakukan?”
“Jangan pura-pura tidak tahu, Alfan. Kamu bermaksud menodai gadis ini kan!”
“Apa kamu bilang, Rendi? Aku bukanlah seperti yang kamu tuduhkan. Jika aku melakukan itu apa buktinya?”
“Lihatlah! Gadis itu menangis, baju bagian depannya telah kau robek!”
Ya Tuhan. Apa yang telah terjadi. Apa maksud ini semua. Aku tidak melakukan apa-apa. Perempuan itu sendiri yang merobek bajunya. Tolonglah aku Tuhan. Mataku merah menahan amarah. Jelas-jelas aku tidak melakukan apa-apa.
“Ini fitnah! Tanyakan pada gadis itu. Aku tidak bersalah!”
“Diam...! Mana ada orang jahat mengaku jahat. Bodoh!”
Perempuan itu diam. Dia menunduk. Seolah dia benar. Berpura-pura menangis.
“Aku tahu Rendi, kau sangat benci padaku. Janganlah kau fitnah aku seberat ini. Orang tuaku tak akan sanggup mendengarnya.”
Rumahku telah dipenuhi oleh para tetua adat kampung. Aku berpura-pura pergi ke kamar mandi. Malam semakin pekat. Tidak ada bulan dan bintang. Langit di tutupi awan tebal. Hitam. Gelap.
Aku mempercepat langkahku. Di belakang rumahku ada jalan tembus ke tanjung bungo. Namun harus melewati pematangan sawah. Terjalnya lereng. Belukarnya semak-semak. Menyeberangi sungai. Kemudian melewati sawah lagi. Dulunya kampungku dengan kampung seberang tanjung bungo, di pisah oleh sungai kecil. Konon hendak disatukan. Namun entah apa yang terjadi sampai saat ini belum juga bersatu. Atau mungkin wilayah sungai yang semakin membesar sehingga sulit disatukan.
Sebenarnya aku tidak bisa melihat jalan. Entah kekuatan apa, mendorongku untuk melewati tantangan ini. Hewan buas yang sering berkeliaran malam. Tak menghentikanku untuk berlari sejauh mungkin dari rumah.
“Alfan dengan Mira harus dinikahkan malam ini juga!” Bentak salah seorang tetua kampung.
Di rumah hanya ada orang tuaku, dua orang kakakku dan empat orang adikku yang masih tergolong kecil-kecil. Mereka tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.
“Alfan tidak mungkin melakukan hal jijik semacam itu! Aku mengenal adikku. Dia adalah tulang punggung keluarga yang bertanggung jawab. Mustahil hal itu dilakukannya!” Sela kakak perempuanku yang begitu berani. Sementara kakak laki-laki dan orang tuaku tidak mampu untuk berkata-kata.
“Pokoknya dia harus dinikahkan dengan perempuan ini. Malam ini juga! Kalau tidak kampung kita akan menanggung malu.”
“Tidak bisa! Adikku telah difitnah orang. Dia tidak bersalah. Kenapa harus dinikahkan? Tidak masuk akal!”
“Di mana Alfan?”
“Dia pergi. Tuduhan kalian semua tidak ada bukti yang jelas. Tanyakakan pada perempuan itu apa sebenarnya telah ia lakukan terhadap dirinya sendiri!”
“Wah, terbuktikan dia bersalah. Kalau dia memang benar, tidak mungkin dia akan lari.” Rendi mengejek Rona, kakak Alfan.
“Jangan anggap kami ini bodoh. Aku tahu siapa kamu Rendi. Ingatlah! Alam akan murka padamu!”
Malam itu seakan membelah langit. Petir berteriak mengguncang keheningan malam. Rona berpikir. Ini semua adalah rekayasa Rendi. Rendi telah lama iri dan benci pada Alfan. Alfan lebih gagah dari padanya. Wajah Alfan yang kemiripan orang bule. Ototnya yang kekar. Matanya coklat pirang. Tingginya yang menambah kegagahannya. Banyak wanita yang naksir padanya. Namun Alfan tidak mudah tertarik dengan wanita.
Mira tidur di rumah Rona semalam. Tidak memungkinkan baginya untuk pulang ke rumahnya. Memang benar, sepandai-pandainya orang menfitnah. Kebenaran pasti terwujud. Alfan selamat dari tuduhan itu. Rona telah menyelamatkannya. Rona tahu bahwa adiknya tidak bersalah. Perdebatan semalam dengan para tetua adat kampung, tidak menyurutkan nyalinya. Apalah arti tetua kampung saat ini. Mengetahui yang benar dan salah saja mereka tidak bisa melihat.
***
Satu tahun telah berlalu. Nada sumbing yang dilontarkan pada Alfan lenyap. Alfan telah mendapatkan bidadari yang diimpikannya. Dia bahagia hidup dengan perempuan yang dipilihnya.
Alfan dikaruniai seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Delapan Tahun ia menjalani bahtera rumah tangga. Kesulitan kehidupan, di hadapinya dengan kesabaran.
Tak sengaja ia mendengar berita. Rendi tega menodai adik istrinya. Alam membuktikan kesaksiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar