Oleh: Methia Farina
Kala senja menemani kegundahanku. Aku menatap
langit yang mulai merah dengan beriringnya terbenam matahari. Aku berkisah
padamu tentang penuduhan yang bukanlah kesalahanku. Tahukah teman ada balasan
terhadap apa yang diperbuat. Alam ini berproses. Alam ini menyaksikan. Alam ini
merasakan. Alam ini memiliki kekuatan. Energi alam ini menyatu dengan diriku.
Aku berlari secepat mungkin melewati
semak-semak. Malam sudah semakin larut–senja pergi menyapa malam.
Aku seperti mengenal perempuan itu. Beberapa
hari ini dia selalu mengikutiku. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya yang
menyentuh bahunya. Ditarik-tarik oleh angin senja. Samar-samar aku melihat wajahnya.
Senja menghambat penglihatanku. Perempuan itu mendekat padaku. Malam itu tiada
rembulan menerangi. Aku berjalan berdua dengan perempuan itu. Jalan mendaki
kami lalui. Aku tidak mengerti mengapa dia beriringan denganku bahkan semakin
dekat denganku. Aku mempercepat jalanku. Firasatku mengatakan sesuatu yang
buruk akan terjadi. perempuan itu mengejar langkahku.
“Abang! Boleh kenalan? Namaku Mira.”
Langkahku tiba-tiba surut. Aku
berhenti menoleh padanya.
“Boleh, namaku Alfan.”
“Abang tinggal di mana? Bolehkah aku
main ke rumah?”
Kakiku terus melangkah. Aku takut.
Malam semakin pekat, sementara jalan mendaki ini tidak memiliki lampu jalanan.
Hanya mata hatiku yang meraba-raba bumi yang aku pijaki. Lama aku tidak
menjawab pertanyaan permpuan yang bernama Mira itu. Ada sesuatu mengganjal di
hatiku. Aku juga tidak tahu. Apa itu.
“Sedikit lagi rumahku akan
kelihatan. Tidak jauh dari pendakian ini.”
Perempuan itu memegang tanganku,
erat. Aku terperanjat. Jantungku berdebar kencang.
“Apa ini! Lepaskan!”
Di belakangku telah berkumpul
beberapa orang pemuda. Mereka memegang tanganku. Menyeretku.
“Ada apa ini? Apa yang kalian
lakukan?”
“Jangan pura-pura tidak tahu, Alfan.
Kamu bermaksud menodai gadis ini kan!”
“Apa kamu bilang, Rendi? Aku
bukanlah seperti yang kamu tuduhkan. Jika aku melakukan itu apa buktinya?”
“Lihatlah! Gadis itu menangis, baju
bagian depannya telah kau robek!”
Ya Tuhan. Apa yang telah terjadi.
Apa maksud ini semua. Aku tidak melakukan apa-apa. Perempuan itu sendiri yang
merobek bajunya. Tolonglah aku Tuhan. Mataku merah menahan amarah. Jelas-jelas
aku tidak melakukan apa-apa.
“Ini fitnah! Tanyakan pada gadis
itu. Aku tidak bersalah!”
“Diam...! Mana ada orang jahat
mengaku jahat. Bodoh!”
Perempuan itu diam. Dia menunduk.
Seolah dia benar. Berpura-pura menangis.
“Aku tahu Rendi, kau sangat benci
padaku. Janganlah kau fitnah aku seberat ini. Orang tuaku tak akan sanggup
mendengarnya.”
Rumahku telah dipenuhi oleh para
tetua adat kampung. Aku berpura-pura pergi ke kamar mandi. Malam semakin pekat.
Tidak ada bulan dan bintang. Langit di tutupi awan tebal. Hitam. Gelap.
Aku mempercepat langkahku. Di
belakang rumahku ada jalan tembus ke tanjung bungo. Namun harus melewati
pematangan sawah. Terjalnya lereng. Belukarnya semak-semak. Menyeberangi
sungai. Kemudian melewati sawah lagi. Dulunya kampungku dengan kampung seberang
tanjung bungo, di pisah oleh sungai kecil. Konon hendak disatukan. Namun entah
apa yang terjadi sampai saat ini belum juga bersatu. Atau mungkin wilayah
sungai yang semakin membesar sehingga sulit disatukan.
Sebenarnya aku tidak bisa melihat
jalan. Entah kekuatan apa, mendorongku untuk melewati tantangan ini. Hewan buas
yang sering berkeliaran malam. Tak menghentikanku untuk berlari sejauh mungkin
dari rumah.
“Alfan dengan Mira harus dinikahkan
malam ini juga!” Bentak salah seorang tetua kampung.
Di rumah hanya ada orang tuaku, dua
orang kakakku dan empat orang adikku yang masih tergolong kecil-kecil. Mereka
tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.
“Alfan tidak mungkin melakukan hal
jijik semacam itu! Aku mengenal adikku. Dia adalah tulang punggung keluarga
yang bertanggung jawab. Mustahil hal itu dilakukannya!” Sela kakak perempuanku
yang begitu berani. Sementara kakak laki-laki dan orang tuaku tidak mampu untuk
berkata-kata.
“Pokoknya dia harus dinikahkan
dengan perempuan ini. Malam ini juga! Kalau tidak kampung kita akan menanggung
malu.”
“Tidak bisa! Adikku telah difitnah
orang. Dia tidak bersalah. Kenapa harus dinikahkan? Tidak masuk akal!”
“Di mana Alfan?”
“Dia pergi. Tuduhan kalian semua
tidak ada bukti yang jelas. Tanyakakan pada perempuan itu apa sebenarnya telah
ia lakukan terhadap dirinya sendiri!”
“Wah, terbuktikan dia bersalah.
Kalau dia memang benar, tidak mungkin dia akan lari.” Rendi mengejek Rona,
kakak Alfan.
“Jangan anggap kami ini bodoh. Aku
tahu siapa kamu Rendi. Ingatlah! Alam akan murka padamu!”
Malam itu seakan membelah langit.
Petir berteriak mengguncang keheningan malam. Rona berpikir. Ini semua adalah
rekayasa Rendi. Rendi telah lama iri dan benci pada Alfan. Alfan lebih gagah
dari padanya. Wajah Alfan yang kemiripan orang bule. Ototnya yang kekar.
Matanya coklat pirang. Tingginya yang menambah kegagahannya. Banyak wanita yang
naksir padanya. Namun Alfan tidak mudah tertarik dengan wanita.
Mira tidur di rumah Rona semalam. Tidak
memungkinkan baginya untuk pulang ke rumahnya. Memang benar, sepandai-pandainya
orang menfitnah. Kebenaran pasti terwujud. Alfan selamat dari tuduhan itu. Rona
telah menyelamatkannya. Rona tahu bahwa adiknya tidak bersalah. Perdebatan
semalam dengan para tetua adat kampung, tidak menyurutkan nyalinya. Apalah arti
tetua kampung saat ini. Mengetahui yang benar dan salah saja mereka tidak bisa
melihat.
***
Satu tahun telah berlalu. Nada
sumbing yang dilontarkan pada Alfan lenyap. Alfan telah mendapatkan bidadari
yang diimpikannya. Dia bahagia hidup dengan perempuan yang dipilihnya.
Alfan dikaruniai seorang anak
laki-laki dan dua orang anak perempuan. Delapan Tahun ia menjalani bahtera
rumah tangga. Kesulitan kehidupan, di hadapinya dengan kesabaran.
Tak sengaja ia mendengar berita.
Rendi tega menodai adik istrinya. Alam membuktikan kesaksiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar