- PENGERTIAN
1. Pengertian I’jaz Al-Quran
Pengertian I’jaz menurut bahasa
Untuk mendapatkan makna i’jaz al-Quran, yang merupakan kata majemuk yang
dalam bahasa Arab dinamakan tarkib idhofi, terlebih dahulu kita harus memahami
makna i’jaz secara etimologi. I’jaz adalah isim mashdar dari
‘ajaza-yu’jizu-i’jazan yang mempunyai arti “ketidakberdayaan atau keluputan”
(naqid al-hazm). Dikatakan : a’jazani al-amru, artinya: “perkara itu luput
dariku”. Makna leksikal kedua adalaha “membuat tidak mampi”, seperti dalam
contoh a’jaza akhoohu “dia telah membuat saudaranya tidak mampi” manakala dia
telah menetapkan ketidakmampuan saudaranya itu dalam suatu hal. Kata i’jaz juga
berarti “terwujudnya ketidakmampuan”, seperti dalam contoh: a’jaztu zaidan “aku
mendapati Zaid tidak mampu”.[1]
Pengertian I’jaz menurut istilah
Penampakan kebenaran pengklaiman kerasulan nabi Muhammad SAW dalam
ketidakmampuan orang Arab untu menandingi mukjizat nabi yang abadi, yaitu
al-Quran.[2]
Perbuatan seseorang pengklaim bahwa ia menjalankan fungsi ilahiyah dengan cara
melanggar ketentuan hokum alam dan membuat orang lain tidak mampu melakukannya
dan bersaksi akan kebenaran klaimnya.[3]
Jadi I'jaz al-Qur'an adalah ilmu Al-Qur'an yang membahas kekuatan susunan
lafal dan kandungan Al-Qur'an, hingga dapat mengalahkan ahli-ahli bahasa Arab
dan ahli-ahli lain.[4]
. Tujuan I’jazul Qur’an
Dari pengertian yang telah diuraikan di atas, dapatlah diketahui bahwa
tujuan i’jazul Qur’an itu banyak, di antaranya yaitu :
1) Membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw yang membawa mukjizat kitab
Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi dan Rasul Allah. Beliau diutus
untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT kepada umat manusia dan untuk
mencanangkan tantangan supaya menandingi al-Qur’an kepada mereka yang ingkar.
2) Membuktikan bahwa kitab al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah
SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad saw. Sebab
pada kenyataannya mereka tidak bisa membuat tandingan seperti al-Qur’an
sehingga jelaslah bahwa al-Qur’an itu bukan buatan manusia.
3) Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghahnya bahasa manusia,
karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang
mampu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti al-Qur’an, yang telah
ditantangkan kepada mereka dalam berbagai tingkat dan bagian al-Qur’an.
4) Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak
sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya. Mereka ingkar tidak mau beriman
dan sombong tidak mau menerima kitab suci itu.
2. Pengertian Mukjizat
Mukjizat secara etimologi diderivasi dari kata I’jaz
yang berarti lemah atau tidak mampu. I’jaz merupakan mashdar (abstract noun)
dari kata a’jaza yang berarti berbeda dan mengungguli. Mukjizat dalam istilah
(terma) para ulama adalah suatu hal yang luar biasa yang disertai tantangan dan
tidak dapat ditandingi.
Dengan makna yang sama, Quraish Shihab menjabarkan
mukjizat sebagai istilah yang terambil dari kata أعجز yang berarti melemahkan
atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya yang melemahkan disebut mu’jiz dan bila
kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam
lawan, maka ia dinamakan معجزة. Tambahan ta’ marbuthah (ة) pada akhir kata itu
mengandung makna mubalaghah (superlatif). Menurut Subhi al Shalih dan Muhammad
Ali Ash Shabuni, I’jaz berarti lemah atau tidak mampu kepada yang lain. Ahmad
von Denffer mengartikan I’jaz sebagai “yang melemahkan, yang meniadakan kekuatan,
yang tak tertirukan, yang mustahil”.
Sebagaimana telah disebut pada pendahuluan, terma mukjizat
biasanya ditemukan dalam kisah para nabi sebagai sebuah anugerah yang diberikan
oleh Allah SWT kepada mereka untuk membuktikan kenabiannya dan mengalahkan para
pengingkarnya. Biasanya anugerah itu menyangkut peristiwa yang luar biasa yang
tidak dimiliki oleh orang lain di masa itu. Oleh sebab itu sangat umum dikenal
pengertian mukjizat sebagaimana didefinisikan Manna’ al Qaththan dengan;
والمعجزة: أمر خارق للعادة مقرون بالتحدي سالم عن المعارضة
Mukjizat: Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, serta tidak akan dapat ditandingi,
atau defenisi dari Quraish Shihab:
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu”
Mukjizat sebagai kejadian luar biasa tidak dapat terjadi pada sembarang orang. Secara historis, mukjizat selalu menemukan momentnya sendiri berdasarkan kehendak Allah SWT. Quraish Shihab mengemukakan beberapa unsur yang menyertai mukjizat, yaitu:
1.Hal atau peristiwa yang luar biasa;
2.terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi;
3.mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian;
والمعجزة: أمر خارق للعادة مقرون بالتحدي سالم عن المعارضة
Mukjizat: Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, serta tidak akan dapat ditandingi,
atau defenisi dari Quraish Shihab:
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu”
Mukjizat sebagai kejadian luar biasa tidak dapat terjadi pada sembarang orang. Secara historis, mukjizat selalu menemukan momentnya sendiri berdasarkan kehendak Allah SWT. Quraish Shihab mengemukakan beberapa unsur yang menyertai mukjizat, yaitu:
1.Hal atau peristiwa yang luar biasa;
2.terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi;
3.mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian;
4.tantangan itu tidak mampu atau gagal dilayani.
- Macam-Macam Mukjizat
Secara umum mukjizat dapat digolongkan menjadi dua klasifikasi, yaitu:
Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah)
Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi
fisik yang mengisyaratkan adanya kesaktian seorang nabi. Secara umum dapat
diambil contoh adalah mukjizat nabi Musa dapat membelah lautan, mukjizat nabi
Daud dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain.
Bahkan secara umum bila melihat komentar Imam Jalaludin as-Suyuthi, dimana
beliau berpendapat bahwa kebanyakan maukjizat yang ditanpakkan Allah pada diri
para nabi yang diutus kepada bani Israil adalah mukjizat jenis fisik. Beliau
menambahkan hal itu dikarenakan atas lemah dan keterbelakangan tingkat
intelegensi bani Israil.[5]
Mukjizat Rasional (‘aqliyah)
Mukjizat ini tentunya sesuai dengan namanya lebih banyak ditopang oleh
kemampuan intelektual yang rasional. Dalam kasus al-Quran sebagai mukjizat nabi
Muhammad atas umatnya dapat dilihat dari segi keajaiban ilmiah yang rasional
dan oleh karena itulah mukjizat al-Quran ini bias abadi sampai hari Qiamat.
Jalaludin as-Suyuthi kembali berkomentar, bahwa sebab yang melatarbelakangi
diberikannya mukjizat rasional atas umat nabi Muhammad adalah keberadaan mereka
yang sudah relative matang dibidang intelektual. Beliau menambahkan, oleh
karena itu al-Quran adalam meukjizat rasional, maka sisi i’jaznya hanya bias
diketahui dengan kemampuan intelektual, lain halnya dengan mukjizat fisik yang
bias diketahui dengan instrument indrawi. Meskipun al-Quran diklasifikasian
sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan mukjizat-mukjizat
fisik yang telah dianugrahkan Allah kepadanya utnuk memperkuat dakwahnya.
Segi-segi
kemukjizatan al-Quran
1. Segi bahasa dan susunan redaksinya
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran
telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada
didunia ini, baik sebelum dan seudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa
(balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang
lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam
menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam
bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal
mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bias dicapai orang lain seperti
kemahiran dalam berpuaisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan
dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun
begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.
Dari sini bias disimpulkan bahwa setiap perbuatan yang tidak mampu oleh
seorang pun, sementara sarana-sarana yang diperlukan secara berlimpah, sedang
motivasi juga kuat, maka itu menandakan adanya ketidak mampuan dikerjakannya
pekerjaan itu. Dan apabila hal itu telah terbukti, serta kita tahu bangsa Arab
telah ditantang al-Quran namun tak mampu menjawabnya, meskipun mereka sangat
ingin melakukannya dan memilki sarana yangkuat untuk itu. Maka tahulah kita
bahwa tantangan itu merupakan tantangan yang tidak mampu mereka layani.
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan
mereka jago dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan
al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap
mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila
sebuah pekerjaan tidak bias dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya
tentunya semakin jauh lagi kemustahilan itu bias dilakukan oleh mereka yang
tidak ahli dibidangnya.
Berkaitan dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan bangsa Arab
untuk menyainngi al-Quran para ulama banyak memberikan komentar yang
mengisyaratkan adanya perbedaan tentang ihwal ketidakmampuan itu bias terjadi.
Secara umum pendapat ulama dalam masalah sebab terjadinya fenomena
ketidakmampuan orang Arab untuk menandingi al-Quran ada dua pendapat, yaitu:
- Muncul dari factor i’jaz yang terkait dan inheren dalam al-Quran
- Muncul dari luar al-Quran dengan adanya kesengajaan Allah untuk melemahkan orang Arab secara intelektual (sharfah)
2. Segi isyarat ilmiah
Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyyah adalah dorongan serta
stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya
sendiri dan alam semesta yang mengitarinya. Al-Quran memberikan ruangan
sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya
tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif.
Pada khirnya teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran ilmiahnya
akan selalu koheheren dengan al-Quran. Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil,
argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah
yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa
luar sekarang ini. Diantaranya adalah :
- “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30). Dalam ayat ini terdapat isyarat ilmiah tentang sejarah tata surya dan asal mulanya yang padu, kemudian terpisah-pisahnya benda-benda langit (planet-planet), sebagian dari yang lain secara gradual. Begitu juga di dalamnya terdapat isyarat tentang asal-usul kehidupan yaitu dari air.
- “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22) ayat ini meberikan isyarat tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu juga tentang pembuahan serbuk bunga tumbuh-tumbuhan.
- “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” (QS. Al-Zalzalah: 6) adanyan pemeliharaan dan pengabadian segala macam perbuatan manusia di dunia. Dan jika ini dapat dilakukan manusia, maka pastilah itu jauh lebih mudah bagi Allah
- “Bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS. Al-Qiyamah: 4) dianatara kepelikan penciptaan manusia adalah sidik jarinya. Ayat ini menyebtkan kenyataan ilmiah bahwa tidak ada jari-jari tangan seorang manusia yang bersidik jari yang sama dengan manusia yang lainnya
3. Segi pemberitaan yang ghaib
Surat-surat dalam al-Quran mencakup banyak berita tentang hal ghaib.
Kapabilitas al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang hal-hal yang
ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya sebgai kitab
mukjizat. Akan tetapi pemberian informasi akan segala hal yang ghaib tidak
memonopoli seuruh aspek kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Diantara contohnya
adalah:
- Keghaiban masa lampau. Al-Quran sangat jelas dan fasih seklai dalam menjelaskan cerita masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata yang langsung mengikuti jalannya cerita. Dan tidak ada satupun dari kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti kebenarannya. Diantaranya adalah: Kisah nabi Musa: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?”[62] Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil”.(QS. Al-baqarah: 67) Kisah Fir’aun : 4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka[1111]. Sesungguhnya Fir’aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qoshosh: 4)
- Keghaiban masa sekarang. Terbukanya niat busuk orang munafik di masa rasulullah. 204. Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.(QS. Al-Baqoroh: 204)
- Keghaiban masa yang akan dating. Ghulibatir ruum. Fii adnal ‘ardhii wahum min ba’di ghalibiin sayaghlibun fi bid’i sinin (QS. Ar-Rum 2-4)
4. Segi petunjuk penetapan hokum syara’
Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari
penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya
syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi
kehidupan, yang dibawa al-Quran utnuk mengatur kehidupan amanusia yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia. Antara lain contohnya :
- Keadilan. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-nahl: 90)
- Mencegah pertumpahan darah. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[411], atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya[412]. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[413] sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
- Pertahanan untuk menghancurkan fitnah dan agresi. “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)
- Bentuk-Bentuk I’Jaz Al-Quran
Ijaz al-Qur’an dalam melemahkan manusia
untuk mendatangkan sepadan dengan al-Qur’an terdiri dari aspek lafziah
(morfologis), maknawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis), semuanya
bersandarkan (interchangeable) dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk
menandinginya.
Ijaz al-Quran bersifat zaty (essensial), bukan bersifat relatif
(idhafy) dan bukan karena sesuatu yang keluar darinya dan juga bersifat universal
sesuai dengan universalitas al-Qur’an.
Berikut ini bentuk-bentuk Ijaz al-Qur’an
yang telah dapat dicapai oleh akal manusia dan telah diungkapkan para ulama,
yaitu :
1. Keharmonisan
uslub bahasanya, keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya, maknanya,
hukumnya dan teorinya.
Betapa menakjubkan rangkaian al-Qur’an
dan betapa indah susunannya. Tidak ada kontradiksi dan perbedaan di dalamnya,
padahal al-Qur’an membeberkan banyak segi yang dikandungnya, seperti kisah dan
nasehat, argumentasi, hikmah dan hukum, tuntutan dan peringatan, janji dan
ancaman, kabar gembira dan berita duka serta akhlak mulia dan sebagainya.
Abdurrazaq Nawfal dalam al-Ijaz al-Adaby
li al-Qur’an al-Karim mengemukakan tentang keharmonisan dan keseimbangan ushlub
bahasa al-Qur’an sebagai berikut :
2. Keseimbangan
antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya, seperti :
- Al-hayah
(hidup) dan al-mawt (mati) masing-masing
sebanyak 145 kali.
- Al-Naf’u
(manfaat) dan al-madharrah (madarat) masing-masing sebanyak 50 kali.
- Al-har
(panas) dan al-bard (dingin) masing-masing sebanyak 4 kali.
- Al-rahbah
(takut) dan al-raghbah (harap) masing-masing sebanyak 8 kali.
- Al-shaif (musim panas) dan al-syita (musim
dingin) masing-masing sebanyak 1 kali.
3. Keseimbangan antara jumlah bilangan
kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya, seperti :
- Al-harts
dan al-zira’ah (membajak/ bertani) masing-masing sebanyak 14 kali.
- Al-ushb dan al-dhurur (membanggakan
diri/angkuh) masing-masing sebanyak 27 kali.
- Al-aql dan
al-nur (akal/cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali.
- Al-jahr dan
al-alaniyah (nyata) masing-masing sebanyak 16 kali.
- Al-Qur’an,
al-wahyu dan al-islam masing-masing sebanyak 70 kali.
4. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata
dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya, seperti :
- Al-infaq
(infak) dengan al-ridha (kerelaan)
masing-masing sebanyak 73 kali.
- Al-bukhl
(kikir) dengan al-hasarah (penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali.
- Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan
al-nar/al-ahraq (neraka/pembakaran) masing-masing sebanyak 154 kali.
- Al-zakat (zakat/penyucian) dengan
al-barakah (kebajikan yang banyak) masing-masing sebanyak 32 kali.
- Al-fahisyah
(kekejian) dengan al-ghadab (murka) masing-masing sebanyak 26 kali.
5. Keseimbangan
antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya, seperti :
- Al-israf (pemborosan) denan al-sur’ah (ketergesa-gesaan)
masing-masing sebanyak 23 kali.
- Al-mauidzah
(nasihat) dengan al-lisan (lidah) masing-masing sebanyak 25 kali.
- Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang)
masing-masing sebanyak 6 kali.
- Al-salam (kedamaian) dan al-thayyibat
(kebajikan) masing-masing sebanyak 60 kali.
6. Disamping
keseimbangan-keseimbangan tersebut ditemukan juga keseimbangan khusus , yaitu :
- Kata yaum (hari) dalam bentuk tunggal
sejumlah 365 kali sebanyak bilangan hari dalam setahun. Sedangkan kata hari
yang menunjuk kepada bentuk plural
(ayyam) atau dua (yaumain) jumlah keseluruhannya hanya 30 kali sama
dengan jumlah hari dalam sebulan. Di sisi lain kata yang berarti bulan (syahr)
hanya terdapat 12 kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
- Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit ada
tujuh. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula yaitu dalam al-Baqarah
: 29, al-Isra : 44, al-Mu’minun : 86, Fushilat : 12, al-Thalaq : 12, al-Mulk :
3 dan Nuh : 15. Selain itu penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi
dalam 6 hari dinyatakan pula dalam 7 ayat.
- Kata-kata yang menunjuk kepada utusan
Allah , baik rasul, nabi, basyir dan nazir keseluruhannya berjumlah 518 kali
seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita
tersebut yakni 518 kali.
Al-Qur’an diungkapkan dengan gaya bahasa dan uslub
bermacam-macam dengan pokok bahasan yang bermacam-macam pula yaitu bidang
aqidah, akhlaq dan pembentukan hukum Islam (syar’iyyah tasyri’iyyah), yang satu
sama lainnya tidak terdapat kontradiksi dan pertentangan. Allah swt. telah
memberi petunjuknya dalam Q.S. al-Nisa : 82 sebagai berikut :
Artinya : Maka apakah mereka tidak
memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah
tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.
Berdasarkan ayat di atas, seandainya
kita temukan ada ayat al-Qur’an yang lahirnya kontradiktif antara satu ayat
dengan ayat lainnya, maka setelah diadakan pembahasan dan penelitian, tampaklah
keserasian dan keharmonisannya, tidak ada kontradiksi di dalamnya. Seandainya
al-Qur’an itu datang selain dari Allah, niscaya akan didapatkan kontradiksi
yang banyak di dalamnya.
7. Persesuaian
ayat-ayat al-Qur’an menurut teori-teori
yang telah diungkapkan oleh ilmu
pengetahuan dan isyarat-isyarat ilmiahnya.
Semua persoalan atau kaidah ilmu
pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan merupakan manipestasi dari
pemikiran valid yang dianjurkan al-Qur’an tidak ada kontradiksi sedikitpun
dengannya. Ilmu pengetahuan telah maju dan telah banyak melahirkan kemajuan
yang spektakuler yang tidak ada pertentangan dengan al-Qur’an. Ini merupakan
ijaz al-Qur’an.
Al-Qur’an menjadikan pemikiran lurus dan perhatian tepat terhadap alam dan segala apa yang ada
di dalamnya sebagai sarana terbesar agar makin mantap dan kuat nilai keimanan
kepada Allah swt.
Al-Qur’an mendorong manusia agar
memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di bumi[9], memikirkan
dirinya sendiri, bumi yang ditempatinya dan alam yang mengitarinya[10],
al-Qur’an membangkitkan kesadaran ilmiah pada setiap diri manusia untuk
memikirkan, memahami dan menggunakan akal[11], Allah mengumpulkan ilmu falak,
botani, geologi dan zoologi sebagai pendorong rasa takut kepada Allah.
Demikianlah ijaz al-Qur’an secara ilmiah
terletak pada dorongannya kepada umat manusia untuk berfikir disamping
membukakan kepada mereka pintu-pintu pengetahuan dan mengajak masuk ke dalamnya
dan menerima segala ilmu pengetahuan yang baru yang mantap dan stabil.
Disamping hal-hal di atas, di dalam
al-Qur’an terdapat isyarat-isyarat ilmiah
yang diungkapkan dalam kontek hidayah, misalnya :
1. Perkawinan tumbuh-tumbuhan itu ada yang zati yaitu tumbuh-tumbuhan yang
bunganya mengandung organ jantan dan betina (putik dan benang sari) dan ada
yang khalti yaitu tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya terpisah dari organ
betina seperti pohon kurma, sehingga perkawinannya melalui pemindahan dan
sarana pemindahannya adalah angin. Penjelasan ini terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Hijr : 22 :
Artinya : Dan Kami telah meniupkan angin
untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan).
2. Oksigen sangat penting bagi pernafasan
manusia dan oksigen tiu berkurang pada lapisan-lapisan udara yang tinggi.
Semakin tinggi manusia berada di lapisan udara, maka ia akan merasakan sesak
dada dan sulit bernafas. Firman Allah dalam al-Qur’an urat al-An’am : 125 :
Artinya : Dan barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seakan-akan ia sedang mendaki ke langit
3. Langit dan bumi dulunya berasal dari
satu gumpalan (kesatuan kosmos) kemudian terjadi ledakan dahsyat (big bang)
yang membuatnya terpecah-pecah menjadi beberapa planet dan kehidupan
membutuhkan air. Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Anbiya : 30?
Artinya : Tidakkah orang-orang kafir
melihat bahwa langit dan bumi itu dulunya merupakan satu yang padu kemudian
kami pisahkan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air,
maka mengapakah mereka tidak beriman.
Demikian pula
diisyaratkan bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya, sedangkan cahaya
bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)[13]. Jenis kelamin anak adalah
hasil sperma pria sedangkan wanita sekedar mengandung karena mereka hanya
bagaikan ladang dan banyak lagi isyarat-isyarat ilmiah yang disebutkan al-Quran
yang tidak penulis paparkan dalam
makalah singkat ini.
Isyarat-isyarat
ilmiah dan yang serupa dengannya yang terdapat dalam al-Qur’an itu datang dalam
kontek petunjuk Ilahi (hidayah ilahiyah) dan akal manusia boleh mengkaji dan
memikirkannya.
3. Pemberitaan-pemberitaan ghaib yakni
memberitahukan hal-hal kejadian yang tidak diketahui kecuali oleh Allah swt.
Yang Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib.
Al-Qur’an telah
memberitakan mengenai terjadinya kejadian-kejadian pada masa yang akan datang
yang tidak diketahui yang tak seorangpun mengetahui hal itu, seperti Firman
Allah dalam al-Qur’an surat
al-Rum : 1-4 :
Artinya : Alif lam
mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri terdekat dan mereka sudah
dikalahkan akan menang dalam beberapa tahun lagi.
Al-Qur’an telah
menceriterakan bangsa-bangsa terdahulu yang tidak meninggalkan bekas ataupun
tanda (prasasti) yang mengandung beritanya. Hal ini adalah bukti bahwa
al-Qur’an di sisi Allah yang tidak tersembunyi untuk masa sekarang, masa lampau
dan masa yang akan datang. Allah swt. memberi petunjuk dalam Q.S. Hud : 49 :
Artinya : Itu adalah
diantara berita-berita penting tentang yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu
(Muhammad), kamu tidak pernah mengetahuinya dan tidak ( pula) kaummu sebelum
ini.
Dalam hal ini seperti
kisah Fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi
Musa as. dan kaumnya dan tenggelam di laut merah, tetapi badan Fir’aun
diselamatkan sebagaimana diberitakan dalam Q.S. Yunus : 92
Artinya : Maka pada
hari ini Kami selamatkan badanmu agar kamu menjadi pelajaran bagi orang-orang
yang datang sesudahmu.
Tidak seorangpun mengetahui hal tersebut, karena hal itu
terjadi sekitar 1200 tahun sebelum masehi. Pada awal abad ke 19 tepatnya pada
tahun 1896, ahli purbakala Loret menemukan di lembah raja-raja Luxor Mesir,
satu mumi yang dari data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir’aun yang
bernama Maniptah yang pernah mengejar Nabi Musa as. Selain itu pada tanggal 8
Juli 1908 Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka
pembalut-pembalut mumi Fir’aun tersebut. Apa yang ditemukan adalah jasad utuh
seperti yang diberitakan al-Qur’an. Setiap orang yang berkunjung ke Museum
Kairo akan dapat melihat jasad Fir’aun
tersebut[16].
4. Kefashahan lafaz al-Qur’an,
Kebalaghahan bahasanya dan Kekuatan Pengaruhnya.
Di dalam al-Qur’an
tidak terdapat lafaz yang tidak enak untuk didengar (tidak memenuhi sasaran)
atau tanafur (kekacauan susunan). Ungkapan gaya bahasanya yang relevan dengan situasi
dan kondiisi telah mencapai ukuran balaghah (sastra) yang tertinggi. Hal ini
akan lebih jelas dan terasa bagi orang yang memiliki dzauq Arabi (daya rasa
bahasa Arab) dalam beberapa kata tasybih (kata-kata yang relatif) di dalam
al-Qur’an, beberapa kalam matsal (kalimat ungkapan), beberapa hujjah
(argumentasi), mujadalah (dialog-dialog) dan dalam menetapkan pedoman-pedoman
yang benar atau di dalam menghinakan orang yang berbuat bathil dan dalam
mengungkapkan tiap-tiap makna (amanat) dan tujuan yang dimaksudkan.
Adapun kekuatan
pengaruhnya terhadap jiwa sekaligus penguasaannya secara maknawi (spiritual)
terhadap jiwa dan hati, bisa dijiwai oleh setiap orang yang meresapi, yang
mempunyai ketajaman daya tangkap mata hati.
Bagi kita cukup
dengan bukti bahwa al-Qur’an tidak membosankan pendengaran dan selalu up to
date.
. Dr. Abd. Rozzaq
Naufal, dalam kitab Al-I’jazu al-Adadi Lil Qur’anil Karim menerangkan bahwa
i’jazil Qur’an itu ada 4 macam, adalah sebagai berikut:
1) Al-I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan
segi sastra balaghahnya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu sastra
Arab.
2) Al-I’jazut Tasyri’i yaitu
kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa
penetapan hukum-hukum syari’at Islam.
3) Al-I’jazul Ilmu yaitu kemukjizatan
segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di
kalangan umat Islam.
4) Al-I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan
segi quantity / matematis, statistik yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan
teknologi sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Abi alFadl Jalaludin Muhammad, Lisan al-Arab, juz V, Dar el-Fikr,
Libanon
Hamzah, Muchotob (2003). Studi
Al-Qur'an Komprehensif. Yogyakarta: Gama
Media ISBN 979-95526-1-3
Manna Khalil Qattan, Mabahis Fi ulum al-Qur’an (Muzakir, pen.), Jakarta : Lentera Nusantara,1992..
Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqon fi ulumi al-Quran, juz II, Muassasah al-kutub
as-Saqofiyah, Mesir
M. Abdul Adzim az-Zarqoni, Manahilul Irfan fi Ulumil Quran, Juz III, Dar el-Kutub al-Ilmiyah, Beirut
.
[1]
Abi alFadl Jalaludin Muhammad, Lisan
al-Arab, juz V, hal. 369-370
[2] Manna’
al-Qathan, Mabahis fi Ulumil al-Quran,
hal. 258-259
[3] Imam
al-Khu’I, al-Bayan, juz I hal. 34
[4] Hamzah,
Muchotob (2003). Studi Al-Qur'an
Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media ISBN
979-95526-1-3
[5] Jalaludin
as-Suyuthi, al-Itqon, juz II, hal 311. lihat juga Muhammad bin Alwi al-Maliki, Zubdatul Itqan fi ulumil Quran, hal.
311
Tidak ada komentar:
Posting Komentar