MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Selasa, 15 Mei 2012

MASALAH I'RAB


A.    Pengertian I’rab
I’rab adalah perubahan akhir kata, baik harakat maupun huruf yang berfungsi untuk menunjukkan kedudukan kata itu sendiri dalam suatu kalimat.
Mahfudh Ichsan al-Winai mengemukakan bahwa yang dinamakan i’rab ialah berubahnya harakat di akhir kalimat, sebab berbedanya amil yang masuk pada kalimat itu. Ada yang dalam lafalnya dan ada dalam apa yang diperkirakan.[1] Sedangkan menurut ulama nahwu, i’rab adalah : إعرابهم تغيير آخر الكلم تقديرا أو لفظا لعامل علم (berubahnya kalimat, baik dalam kira-kira atau dalam lafalnya karena adanya amil).[2]
Jadi, i’rab penekanannya adalah pada perubahan akhir kata dengan sebab masuknya amil-amil (bermacam-macam faktor) yang ikut mempengaruhinya.

B.     Masalah I’rab
Seluruh ahli Nahwu Arab, kecuali Abu Ali Muhammad bin al-Mustanir yang dikenal dengan nama Quthrub (w. 206 H), berpandangan bahwa harkat-harkat i’rab menunjukkan berbagai macam makna berbeda, yang mempengaruhi kata-kata benda (isim), seperti kasus subjektif (fail), objektif (maf’ul), genitif (idhafah) dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal ini Abu al-Qasim al-Zujaji dalam kitab al-Idhah Fi ‘Ilal al-I’rab menyatakan: “Jika seseorang berkata kepadamu bahwa I’rab sudah inklusif dalam kalam lalu apa yang membuat l’rab itu harus dan perlu? Maka kita menjawab bahwa ketika isim dimasuki oleh makna, di mana ia menjadi pelaku, atau menjadi objek, atau menjadi mudhaf atau mudhaf ileih, namun bentuk dan struktur katanya tidak memilki dalil-dalil yang menunjukkan pada makna-makna itu (melainkan seragam saja), maka harkat-harkat I’rab yang ada padanya itulah yang menunjukkan makna tersebut. Kita mengatakan ضرب زيدٌ أمرا (Zaid memukul Amr), maka harkat rafa’ pada Zaydun menunjukkan bahwa dialah yang melakukan aksi pukul itu, sementara harkat nashab pada Amran menunjukkan bahwa aksi pukul itu mengenai dirinya, demikian pula makna-makna yang lain. Harkat-harkat menjadi dalil bagi makna-makna tersebut.”
Dalam kitab yang lain, yaitu kitab al-Jumal, al-Zujaji menulis: “Pada dasarnya i’rab itu adalah untuk isim (kata benda), sedangkan mabni untuk fiil dan huruf. I’rab masuk ke dalam isim untuk membedakan antara fail dan maf’ul, antara mudhaf dan mudhaf ileih. Makna-makna itu hanya masuk ke dalam isim dan tidak kepada fiil dan huruf.”
Sementara Ibnu Faris, dalam kitab al-Shahibi Fi Fiqh al-Lughah, menyatakan: “I’rab itu untuk membedakan makna, dan untuk menentukan maksud si pembicara. Seandainya seseorang mengucapkan: ما أحسن زيد tanpa memberikan I’rab (dalam hal ini harkat), maka kita tidak bisa mengetahui apa yang dia maksud. Namun jika dia mengatakan ما أحسن زيداً (Betapa baiknya si Zaid) yang menunjukkan makna ta’ajjub, atau mengucapkan ما أحسنَ زيدٌ (Zaid tidak berlaku baik) yang menunjukkan khabar nafiy, atau mengatakan ما أحسنُ زيدٍ (Apa yang paling baik pada diri si Zaid?) yang menunjukkan suatu pertanyaan, maka kita akan mengetahui makna yang dimaksud oleh si pembicara (I’rab menjelaskan makna).
Pandangan Ibnu Faris ini benar adanya. Kalimat berikut menunjukkan bahwa pengaruh I’rab sangat menentukan makna. Jika tidak ada I’rab maka ia akan memiliki kemungkinan beberapa makna: أكرم الناسُ محمداً- أكرم الناسَ محمدٌ- أكرم الناسِ محمدٌ- أَكْرِمِ الناسَ محمدُ!
Sementara itu, Quthrub sendirinya, berpandangan bahwa harkat-harkat ini didatangkan untuk mempercepat ucapan (li al-sur’ah fi al-kalam), dan untuk menjaga jangan sampai terjadi pertemuan dua huruf yang mati (takhallush min iltiqa al-sakinayn) ketika berbicara secara bersambung. Lebih jelas Quthrub menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang Arab melakukan I’rab dalam ucapannya, oleh karena isim, ketika dalam keadaan waqaf (berhenti) lazimnya disukunkan, seandainya mereka mewashal (sambung kata) juga dengan sukun, maka pasti mereka akan melazimkan sukun dalam keadaan waqaf (berhenti) dan washal (bersambung). Ketika mereka melakukan washal dan memungkinkan untuk memberikan harkat di akhir setiap kata, maka mereka menjadikan harkat itu sebagai pengganti sukun, agar ucapan mereka menjadi lebih berimbang. Bukankah kita melihat orang-orang Arab membangun struktur kalimat mereka dengan satu huruf berharkat dan satu huruf mati (sakin), dua huruf berharkat dan satu huruf sakin, dan tidak pernah mereka menggabungkan antara dua huruf sakin di tengah-tengah sebuah kata, karena dalam pertemuan dua huruf mati itu mereka akan lambat mengucapkan kata, sedangkan jika mengharkatkannya maka mereka akan cepat mengucapkannya, oleh karena itulah mereka menjadikan harkat sebagai ganti dari sukun ketika berbicara secara bersambung (washal)”.
Itulah pendapat Quthrub. Tidak pernah ada seorangpun yang berpendapat seperti itu sebelumnya. Dan sejauh ini tidak ada seorangpun yang mengikuti pendapatnya kecuali satu orang, yaitu Prof. Dr. Ibrahim Anis dalam bukunya yang sangat bagus Min Asrar al-Lughah.
Sebelum mendiskusikan secara lebih rinci pandangan Prof. Dr. Ibrahim Anis, ada baiknya di sini kita ingat bahwa di-rafa’-kannya fa’il, di-nashab-kannya maf’ul, di-jar-kannya mudhaf ileih, adalah fakta-fakta yang sudah diterima demikian adanya, yang tidak seorangpun ulama nahwu masa klasik yang meragukannya. Oleh karena itu dalam menjawab pandang Quthrub, mereka mengatakan: “Seandainya dia (Quthrub) benar-benar berpegang terhadap pendapatnya, tentu dia membolehkan untuk meng-khafadh-kan fa’il pada satu ketika, dan me-rafa’-kan serta me-nashab-kannya pada ketika yang lain; juga membolehkan untuk me-nashab-kan mudhaf ileih, karena tujuannya hanyalah harkat yang mengantikan sukun agar suatu ucapan menjadi lebih berimbang. Dengan demikian harkat apapun yang diletakkan sifatnya pilihan. Ini tentu merupakan sesuatu yang rusak dalam bahasa, dan keluar dari pakem-pakem gramatikal yang telah ditentukan oleh bangsa Arab”.
Sementara Dr. Ibrahim Anis dalam ulasannya tentang masalah i’rab ini menjelaskan bahwa para ahli nahwu memiliki dominasi yang sangat kuat terhadap para penyair dan sastrawan. Mereka tidak menemukan lawan yang sepadan kecuali pada sedikit orang, salah satu di antara yang sedikit itu adalah Ibnu Madha al-Qurthubi, yang menulis sebuah kitab yang berisi sanggahan terhadap alasan-alasan (I’rab) para ahli nahwu. Yang kedua, menurut Ibrahim Anis, adalah usaha yang dilakukan oleh Ibrahim Mustafa dalam kitabnya Ihya al-Nahwu, yang merupakan sebuah usaha edukatif untuk memudahkan kaidah-kaidah i’rab bagi para generasi muda.
Dari kajian yang dilakukan Prof. Dr. Ibrahim Anis, kita dapat menyimpulkan teorinya sebagai berikut:
1. Harkat I’rab tidak memiliki madlul (maksud). Harkat-harkat i’rab tidak menunjukkan bahwa sesuatu isim itu sebagai fail (pelaku), maf’ul (objek), idhafah, atau lainnya.
2. Harkat-harkat ini tidak lebih dari sekedar harkat belaka yang kebanyakan dibutuhkan untuk menyambung kata-kata satu sama lain. Artinya harkat tersebut diperlukan untuk menghindari bertemunya dua huruf sakin ketika terjadi penyambungan kalam. Makna fail, maf’ul, idhafah, dan lainnya sama sekali tidak dipahami dari harkat-harkat ini, namun dari kedudukan masing-masing dalam suatu struktur kalimat Arab.
3. Ada dua faktor yang campur tangan dalam menentukan harkat penghindar bertemunya dua huruf sakin, yaitu: a) preferensi satu huruf terhadap harkat tertentu seperti preferensi huruf halaq terhadap harkat fathah; dan b) kecenderungan untuk menyamakan harkat yang berdekatan, atau yang disebut dengan harmoni vokal (vowel harmony).
4. Ketika para ahli nahwu klasik mendengar harkat-harkat ini mereka salah menafsirkannya dengan mengatakan bahwa ia adalah tanda dari kasus subjek, objek, dlsb., padahal ia hanya harkat biasa, tidak lebih hanya untuk menyambung kata.
5. Ketika para ahli nahwu meyakini bahwa harkat-harkat ini adalah harkat-harkat i’rab, mereka pun kemudian mengharkatkan akhir kata-kata yang sebenarnya tidak perlu untuk diharkatkan untuk menyesuaikan kaidah-kaidah mereka. Maka mereka misalnya mengatakan: الرجلُ قائم dengan mengharkat dhammahkan huruf lam pada kata rajul, padahal sesungguhnya cukup mengatakan الرجلْ قائم, dengan mensukunkan huruf lam, karena tidak ditemukan darurat apapun yang mengharuskannya untuk diberi harkat.
6. Kata-kata yang dii’rab dengan huruf, merupakan salah satu bentuk irab yang khusus untuk kabilah (suku) tertentu, sementara bentuk-bentuk lain merupakan kekhususan kabilah-kabilah lain, namun para ahli nahwu menggabung semua bentuk ini dan mengkhususkan setiap bentuk di antaranya dengan satu keadaan i’rab tertentu. Misalnya ada kabilah Arab yang yang mengucapkan mutsanna dengan ya dalam semua keadaan, lalu ya ini berkembang dan berubah menjadi alif pada semua keadaan oleh sebagian kabilah. Para ulama nahwu ini tidak memahami rahasia ini dan kemudian mengabungkan kedua bentuk, dengan mengkhususkan yang pertama untuk nashab dan jar, dan mengkhususkan yang kedua untuk keadaan rafa’.
Itulah teori Prof. Dr. Ibrahim Anis dalam menfasirkan I’rab pada bahasa Arab fusha. Sebelum mendiskusikan teori beliau–dan menjelaskan bahwa I’rab seperti diterangkan oleh para ahli nahwu adalah merupakan karakteristik bahasa-bahasa semitik–perlu disampaikan bahwa teorinya ini tidak diterima oleh para peneliti manapun, bahkan memantik penolakan dari salah seorang di antara mereka, yaitu Dr. Mahdi Makhzumi dalam bukunya Madrasah al-Kufah Wa Manhajuha Fi Dirasah al-Lughah Wa al-Nahwu. Di antara kritikan tajam Dr. Mahdi al-Makhzumi adalah bahwa teori Prof. Dr. Anis Ibrahim tidak dapat menafsirkan perbedaan-perbedaan dialek-dialek Arab dalam masalah waqaf. Misalnya dialek Azad al-Sarraah yang jika waqaf pada kata rafa’ mereka mengucapkan dhammahnya dan memanjangkannya, sehingga tampak sebagai wawu. Jika mereka melakukan waqaf pada kata yang dikasrahkan mereka memanjangkan kasrahnya sehingga tampak seperti ya. Pada kalimat Hal Jaa’a Khalidun? Dan Hal Mararta bi Khalidin? Mereka akan membacanya Hal Jaa’a Khaliduu dan Hal Mararta bi Khalidii? ketika mereka melakukan waqaf. Dalam hal ini Dr. Mahdi al-Makhzumi menyatakan: “Jika harkat-harkat tersebut bukan merupakan tanda dari makna-makna yang dimaksudkan ol eh seorang pembicara, melainkan hanya sekedar harkat belaka yang dibutuhkan dalam banyak kesempatan untuk menyambung kata-kata satu sama lain, maka bagaimana kita menafsirkan waqaf pada dialek yang memanjangkan harkat? Dan mengapa huruf dal dirafakan, dinashabkan dan dijarkan pada ketiga keadaan? Mengapa tidak dikasrahkan saja agar harkatnya sesuai (harmonis) dengan harkat kasrah yang ada pada huruf lam?
Apa yang dipaparkan oleh Dr. Mahdi al-Makhzumi adalah sedikit di antara yang mematahkan teori Prof. Dr. Ibrahim Anis. Sebenarnya jika mau diteliti lebih jauh bahasa-bahasa Semitik lain akan terbukti bahwa orisinalitas I’rab memang ada pada bahasa semitik ini dan termasuk bahasa Arab. Insya Allah pada bagian akhir seri tulisan ini masalah tersebut akan dipaparkan.
Di kalangan orientalis, sebelum Prof. Dr. Anis Ibrahim, ada juga yang meragukan bahasa Arab fushah, dan karakter terpentingnya yaitu i’rab. Di antaranya adalah Karl Vollers yang berpendapat bahwa nas asli Alquran sebenarnya ditulis dengan salah satu dialek suku Arab yang berkembang di Hijaz, yang dalam dialek ini dan juga dialek-dialek lainnya tidak mengenal akhiran-akhiran yang dinamakan dengan i’rab
Orientalis lain yang juga meragu-ragukan bahasa Arab fusha adalah Paul E. Kahle yang menuangkannya pada salah satu pasal bukunya Dier Kairoer Genisa (Harta Karun Kairo). Pasal itu berjudul Teks Arab Alquran. Di sini ia menulis: “Kodifikasi Alquran dilakukan beberapa tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad, tepatnya pada tahun 632 M, yang kemudian hasil paling akhirnya ada pada masa khalifah Utsman bin Affan (633-655M). Di sini muncul problem: bagaimana teks ini dibaca dan lafalkan? Nabi Muhammad dilahirkan–sebagaimana kebanyakan orang pada saat itu–dari sebuah suku Arabia (Quraisy). Dan bahasa Arab yang digunakan oleh suku itu adalah bahasa dari kaum terpelajar Mekah. Teks Alquran yang tidak memiliki syakal dan tanda apapun, secara jelas merefleksikan bahasa Arab yang dipakai di Mekah. Orang Arab telah terbiasa menganggap bahasa Badawi sebagai model pengucapan yang benar, sehingga dengan bahasa inilah mereka menyusun syair Arab jahili, dan setiap orang Arab bangga terhadap hal ini…pada saat itu, di pusat-pusat kota Islam seperti Kufah, Basrah, Madinah, dan Mekah, mulai muncul suatu kajian yang intens terhadap syair-syair badawi. Mereka yang memiliki perhatian terhadap bahasa Arab badawi ini pergi ke tetangga-tetangga mereja para penduduk badawi dan sebisa mungkin mengumpulkan syair-syair, dan hikayat-hikayat yang terkait dengan mereka (badawi) yang kebanyakan adalah cerita-cerita tentang peperangan kecil. Hikayat-hikayat ini dikumpulkan dalam satu judul Ayaam al-Arab. Materi-materi yang dikumpulkan dengan cara seperti ini lalu menjadi dasar bagi bahasa Arab model yang diciptakan oleh para ahli nahwu, lalu bahasa Alquran mengikuti polanya. Namun demikian mengapa penulisan mshaf Alquran mengalami perubahan, bahkan menciptakan sebuah “cara” sendiri di mana banyak tanda yang berbeda ditambahkan ke dalam teks Alquran untuk menjamin ketepatan bacaan”.
Kahle juga menyatakan bahwa kitab-kitab qira’at secara umum tidak menyebutkan sedikitpun tentang aktifitas awal para qurra. Kitab-kitab itu menurut Kahle telah hilang atau diabaikan, kecuali satu kabar yang baru belakangan ditemukan di mana ada penjelasan tentang perkembangan tanda-tanda kebahasaan (i’rab) tersebut.
Diduga, dalam penelusurannya tentang perkembangan tanda-tanda itu, Kahle mengutip al-Farra yang ia temukan dalam satu kumpulan manuskrip di perpustakaan Chester – Beatty nomor 507. Di situ ada keterangan: “al-Farra berkata: “kami melihat ahli qira’ah yang mengetahui Alquran dan sunnah, dan termasuk ahli fasahah (memiliki kefasihan berbahasa), bersepakat bahwa Alquran diturunkan dalam bahasa yang paling fasih. Pada saat itu muncul kritik dari kelompok-kelompok yang mengetahui syair Arab dan sejarahnya. Mereka yang terakhir ini berpendapat bahwa Alquran itu memiliki kemulian dan kelebihan hanya karena Allah memerintahkan untuk mengagungkannya. Sementara jika kita menengok kefasihan, maka kita akan menemukannya ada dalam bahasa Badawi. Di sini mereka berbeda pendapat tentang siapa yang paling fasih di kalangan suku badawi Arab. Penduduk Kufah berpendapat bahwa yang paling fasih adalah Bani Asad karena kedekatan mereka dengannya. Sementara penduduk Basrah berpendapat bahwa fasahah ada di Bani Tamim bagian atas yaitu kelompok ‘Akl, dan Bani Qayis bagian bawah yaitu kelompok ‘Aqil. Penduduk Madinah lain lagi, menurut mereka yang paling fasih adalah Bani Gathfan. Sedangkan penduduk Mekah mengatakan bahwa yang paling fasih adalah Bani Kinanah dan Bani Tsaqif. Kami ingin menjawab mereka dengan mengetengahkan bukti-bukti bahwa dialek Quraisy adalah dialek yang paling unggul dibandingkan dialek-dialek lain…. Suatu ketika Umar mendengar seseorang membaca عتى حين dengan maksud حتى حين. Umar lalu berkata kepada orang itu: “Siapa yang mengajarkan bacaan itu kepadamu?” “Abdullah bin Mas’ud”, jawabnya. Umar lalu menulis surat kepada Abdullah bin Mas’ud demikian: “Sesungguhnya Alquran diturunkan dengan dialek Quraisy dan bukan dengan dialek Huzail, maka ajarkanlah manusia bacaan Alquran dengan dialek Quraisy, dan jangan ajarkan mereka dengan dialek Huzail.” Abu Bakar juga pernah berkata: “Sesungguhnya I’rab Alquran lebih aku sukai dari pada menghafal sebagian ayatnya.” Ibnu Mas’ud berkata: “Perbaguslah bacaan Alquran kalian, hiasilah dengan suara yang merdu, i’rablah karena Alquran itu bahasa Arab, karena Allah suka Alquran itu dii’rab.”
Kahle mengomentari kata “i’rab” pada ucapan Abu Bakar demikian: “i’rab adalah harkat-harkat yang ada di akhir kata-kata bahasa Arab sesuai dengan kaidah-kaidah gramatikal Arab fusha.” Dari situ Kahle berkesimpulan bahwa “penekanan untuk membaca Alquran dengan menggunakan i’rab tampak tidak masuk akal, kecuali bahwa Alquran itu pada kenyataannya dibaca tanpa i’rab, dan kemudian dikehendaki agar Alquran dibaca dengan i’rab yang pada masa-masa belakangan dianggap sebagai fenomena kebenaran berbahasa.”
Kahle salah dalam kesimpulannya ini, oleh karena i’rab dalam pengertian istilah tidak dikenal pada masa Abu Bakar dan Ibnu Mas’ud. Makna kata “i’rab Alquran” dalam hadits konteks itu adalah kejelasan dalam membaca Alquran.
Jika Vollers dan Kahle adalah dua orientalis dengan pandangan negatif terhadap bahasa Arab Fusha dan masalah i’rab, maka ada cukup banyak orientalis lain yang mendukung orisinalitas i’rab dalam bahasa Arab seperti Theodore Noldeke. Dalam satu tulisannya berjudul “Beberapa Catatan Tentang Bahasa Arab Klasik” Noeldeke menulis: “Tidak masuk akal jika Muhammad menggunakan dalam Alquran, suatu bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa yang berkembang pada saat itu di Mekah. Juga tidak masuk akal jika Muhammad begitu memiliki perhatian terhadap i’rab sementara kaumnya tidak menggunakan i’rab ini dalam bahasa mereka”. Pada kesempatan lain ia menulis: “Sangat salah jika ada ada orang yang meyakini bahwa bahasa Arab yang berkembang pada masa Nabi Muhammad tidak mengenal i’rab; karena ulama-ulama pada masa Harun al-Rasyid menemukan i’rab dengan sangat rinci di kalangan badawi”. Johan Fuck berpendapat: “Bahasa Arab fusha senantiasa menjaga perubahan i’rab yang merupakan salah satu ciri kebahasaan paling tua, di mana bahasa-bahasa semitik lain—kecuali Babilonia kuno—telah kehilangannya”. Sementara G. Bergstrasser menyatakan: “i’rab asli dari bahasa semitik, yang diikuti oleh bahasa Akadia, Etiopia, dan kita temukan juga pengaruhnya pada bahasa-bahasa lain”.
Seperti dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini bahwa Prof. Dr. Ibrahim Anis memiliki teori berbeda tentang i’rab dengan kebanyakan ulama nahwu lain. Yang pertama berpandangan bahwa i’rab tidak memiliki makna, sementara yang kedua sebaliknya, i’rab menentukan makna seperti fail, maf’ul, idhafah, dlsb. I’rab bukan semata harkat tanpa makna yang berfungsi menyambung kata-kata seperti dituduhkan Prof. Anis. Argumentasi para ulama nahwu tentang hal ini adalah sebagai berikut:
Argumentasi pertama, bahwa keberadaan i’rab benar-benar nyata di sebagian bahasa semitik kuno, seperti Akadia yang mencakup dua bahasa lain yaitu Babilonia dan Asyuria pada masa-masa klasik keduanya. Dalam tulisan Hukum Hamurabi (1792-1750 SM) yang tertulis dalam bahasa Babilonia kuno terdapat i’rab, sama persis seperti dalam bahasa Arab fusha: fail dirafa’kan, dan maf’ul dinashabkan. Tanda rafa’nya dhammah, tanda nashabnya fathah, dan tanda jarnya kasrah, sama persis seperti dalam bahasa Arab fusha. Pada paragraf pertama hukum Hamurabi kita menemukan kalimat berikut: “šummâ awēlum awēlam ubbirma”, yang dalam bahasa Arabnya adalah: إذا اتهم إنسان إنسانا (jika seorang manusia menuduh manusia lain…) , dalam hal ini kata “awēlum” pertama artinya إنسان dalam keadaan sebagai pelaku (fail) dirafa’kan dengan dhammah, sementara huruf mim di akhirnya itu, dalam bahasa Akadia, sepadan dengan tanwin dalam bahasa Arab. Dan kata “awēlam” yang kedua dalam posisi objek (maful), dinashabkan dengan fathah.
Pada paragraf kelima kita menemukan kalimat: “šummâ dayânum dinam iddin” yang dalam bahasa Arabnya adalah: إذا حكم قاض حكما (Jika seorang hakim memutuskan suatu hukum…), dalam hal ini kata “dayânum” berarti قاض sebagai pelaku (fail) dirafa’kan dengan dhammah; dan kata “dinam” berarti حكما dalam sebagai maf’ul (objek) dinashabkan dengan fathah.
Pada paragraf 195 hukum Hamurabi ini kita menemukan kalimat: “šummâ maru abâšu imtahas” yang dalam bahasa Arabnya adalah: إذا ضرب إبن أباه (Jika seorang anak memukul bapaknya…). Di sini kita lihat kata “abâšu” artinya adalah “أباه sebagai maful (objek) yang dinashabkan dengan alif karena ia termasuk isim yang lima (الأسماء الخمسة), persis seperti dalam bahasa Arab.
Tidak sebatas itu saja, bahkan isim mutsana dan jamak muzakar juga mirip dalam i’rab; dalam bahasa Arab isim mutsanna dirafa’kan dengan alif, sementara dinashabkan dan dijarkan dengan ya, yang kemudian berubah menjadi suara kasrah yang dipanjangkan sambil di-imalah (penyuaraan ke suara “e”). Dalam bahasa Akadia misalnya, kita menemukan kata “īnān” dengan makna عينان dalam keadaan rafa’, dan “īnēn” untuk keadaan nashab dan jar. Untuk jamak muzakkar dirafa’kan dengan wawu, dan dinashabkan dan dijarkan dengan ya. Maka dalam bahasa Akadia kata “šarrū” yang berarti raja, dalam keadaan rada’, dan “šarri” untuk keadaan nashab dan jar.
Argumentasi kedua, adalah bahwa Alquran yang sampai kepada kita secara mutawatir, melalui periwayatan oral yang sangat dipercaya dari satu genarasi ke genarasi lain, juga (datang kepada kita) dalam keadaan memiliki i’rab. Kita tidak yakin ada orang yang mempunyai dugaan bahwa Nabi tidak mengharkatkan akhir kata-kata dalam bacaannya atas Alquran, kecuali dalam kondisi darurat, misalnya karena pertemuan dua huruf mati.
Argumentasi ketiga, rasam Alquran yang sampai kepada kita secara mutawatir juga menegaskan adanya i’rab dalam bahasa Arab fusha, dan itu sama sekali bukan karangan para ulama nahwu. Jika tidak demikian bagaimana kita menafsirkan adanya alif pada khat Utsmani pada sebuah kata yang ada dalam keadaan dinashabkan dengan tanwin? Jika kita misalnya mengambil ayat: وما الله بغافل dan ولا تحسبن الله غافلا sulit bagi kita memahami rahasia mengapa huruf lam pada kata غافل yang pertama diharkatkan dengan kasrah, sementara pada ayat kedua dengan fathah, sekiranya persoalan itu tidak lebih dari sekedar harmoni musik (insijam musiqiy).
Hal ini juga yang dipahami oleh Dr. Abdul Wahid Wafi ketika ia mengatakan: “Sesungguhnya dalam rasam mushaf Utsmani—meskipun tidak memiliki syakal dan tanda—mematahkan mazhab yang menegasikan i’rab. Ini karena dalam mushaf Utsmani banyak tanda-tanda i’rab dengan huruf (seperti: المؤمنون dan المؤمنين) dan tanda i’rab manshub tanwin (رسولا، شهيدا، بصيرا) dlsb. Tidak disangsikan lagi bahwa mushaf Utsmani dikodifikasi jauh dari masa ulama Kufah dan Basrah, yang menurut mazhab anti i’rab sebagai para pencipta kaidah-kaidah i’rab tersebut.”
Argumentasi keempat adalah banyaknya riwayat yang menunjukkan bahwa i’rab itu sudah dikenal pada masa awal Islam. Mereka yang menjaganya akan dianggap cerdas, sementara mereka yang mengabaikannya akan dicap sebagai orang yang tidak fasih. Meskipun kita meragukan keabsahan sebagian riwayat ini, namun secara umum kita melihat bukti nyata tentang adanya i’rab dalam ucapan dan tulisan bangsa Arab masa silam, sebelum para ulama nahwu mengeluarkan teori-teori gramatikal mereka kepada masyarakat.[3]
Suatu riwayat menceritakanbahwa sekretaris Abu Musa al-Asy’ari menulis surat untuk Umar bin Khattab berbunyi: من أبو مسى yang seharusnya adalah من أبي موسى. Umar kemudian menulis balasan kepada Abu Musa: “سلام الله عليك، فاضرب كاتبك سوطا واحدا وأخر عطاءه سنة (Semoga keselamatan selalu Allah berikan kepadamu. Hukum cabuk satu kali sekretarismu itu, dan tunda gajinya selama satu tahun)
Riwayat lain menceritakan bahwa Abu Aswa al-Duali menghadap Ziyad, Gubernur Bashrah, lalu berkata: “Aku melihat orang Arab sudah banyak berbaur dengan non-Arab yang mengakibatkan bahasa mereka rusak. Apakah engkau izinkan aku untuk menuliskan kaidah-kaidah bahasa Arab agar mereka dapat memperbaiki kembali bahasanya?” Ziyad menjawab: “Tidak perlu”. Beberapa hari setelah itu seorang rakyat mengadu di hadapan Ziyad: “أصلح الله الأمير، توفى أبانا وترك بنونا yang seharusnya adalah توفي أبونا وترك بنينا. Mendengar ini Ziyad lalu memanggil Abu Aswad dan memerintahkannya untuk menuliskan kaidah.
Itulah dua contoh riwayat yang menunjukkan bahwa i’rab adalah sesuatu yang melekat dalam bahasa Arab. Ia bukan sekedar harkat tanpa makna, melainkan ada makna-makna yang ditunjuk oleh harkat –harkat i’rab itu.[4]


[1] M.Mahfudh Ichsan al-Winai, Konsep Kitab Kuning (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995, cet ke- 1), h. 91.
[2] Ahmad Faisal N.S.J., Ilmu Nahwu (Surabaya: Bintang Terang, 1999, cet ke-2), h. 8.
[3] Ramdhan Abd al-Tawwab, Fushul Fi Fiqh al-Arabiyah(Maktabah al-Khanji bil Qahirah: An-Nasyir, cet ke-3), h. 371-386.            
[4] de_Faqihuddin's BLOG.html.



DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Tawwab, Ramdhan. Fushul Fi Fiqh al-Arabiyah. Maktabah al-Khanji bil Qahirah: An-Nasyir.
Faisal N.S.J., Ahmad. 1999. Ilmu Nahwu. Surabaya: Bintang Terang.
Ichsan al-Winai, M.Mahfudh. 1995. Konsep Kitab Kuning. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
            de_Faqihuddin's BLOG.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar