A. Pengertian I’rab
I’rab adalah perubahan
akhir kata, baik harakat maupun huruf yang berfungsi untuk menunjukkan
kedudukan kata itu sendiri dalam suatu kalimat.
Mahfudh Ichsan al-Winai mengemukakan
bahwa yang dinamakan i’rab ialah berubahnya harakat di akhir
kalimat, sebab berbedanya amil yang masuk pada kalimat itu. Ada yang
dalam lafalnya dan ada dalam apa yang diperkirakan.[1] Sedangkan menurut ulama nahwu, i’rab adalah
: إعرابهم تغيير آخر الكلم
تقديرا أو لفظا لعامل علم
(berubahnya kalimat, baik dalam kira-kira atau dalam lafalnya karena adanya
amil).[2]
Jadi, i’rab penekanannya adalah
pada perubahan akhir kata dengan sebab masuknya amil-amil (bermacam-macam
faktor) yang ikut mempengaruhinya.
B. Masalah I’rab
Seluruh ahli Nahwu Arab, kecuali Abu Ali Muhammad bin al-Mustanir yang
dikenal dengan nama Quthrub (w. 206 H), berpandangan bahwa harkat-harkat i’rab
menunjukkan berbagai macam makna berbeda, yang mempengaruhi kata-kata benda
(isim), seperti kasus subjektif (fail), objektif (maf’ul), genitif (idhafah)
dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal ini Abu al-Qasim al-Zujaji dalam
kitab al-Idhah Fi ‘Ilal al-I’rab menyatakan: “Jika seseorang berkata kepadamu bahwa
I’rab sudah inklusif dalam kalam lalu apa yang membuat l’rab itu harus dan
perlu? Maka kita menjawab bahwa ketika isim dimasuki oleh makna, di mana ia
menjadi pelaku, atau menjadi objek, atau menjadi mudhaf atau mudhaf ileih,
namun bentuk dan struktur katanya tidak memilki dalil-dalil yang menunjukkan
pada makna-makna itu (melainkan seragam saja), maka harkat-harkat I’rab yang
ada padanya itulah yang menunjukkan makna tersebut. Kita mengatakan ضرب زيدٌ أمرا (Zaid memukul Amr), maka harkat
rafa’ pada Zaydun menunjukkan bahwa dialah yang melakukan aksi pukul itu,
sementara harkat nashab pada Amran menunjukkan bahwa aksi pukul itu mengenai
dirinya, demikian pula makna-makna yang lain. Harkat-harkat menjadi dalil bagi
makna-makna tersebut.”
Dalam kitab yang lain, yaitu kitab al-Jumal, al-Zujaji menulis: “Pada
dasarnya i’rab itu adalah untuk isim (kata benda), sedangkan mabni untuk fiil
dan huruf. I’rab masuk ke dalam isim untuk membedakan antara fail dan maf’ul,
antara mudhaf dan mudhaf ileih. Makna-makna itu hanya masuk ke dalam isim dan
tidak kepada fiil dan huruf.”
Sementara Ibnu Faris, dalam kitab al-Shahibi Fi Fiqh al-Lughah, menyatakan:
“I’rab itu untuk membedakan makna, dan untuk menentukan maksud si pembicara.
Seandainya seseorang mengucapkan: ما أحسن زيد tanpa memberikan I’rab (dalam hal
ini harkat), maka kita tidak bisa mengetahui apa yang dia maksud. Namun jika
dia mengatakan ما أحسن زيداً (Betapa baiknya si Zaid) yang menunjukkan makna
ta’ajjub, atau mengucapkan ما أحسنَ زيدٌ (Zaid tidak berlaku baik) yang menunjukkan khabar
nafiy, atau mengatakan ما أحسنُ زيدٍ (Apa yang paling baik pada diri si Zaid?) yang
menunjukkan suatu pertanyaan, maka kita akan mengetahui makna yang dimaksud
oleh si pembicara (I’rab menjelaskan makna).
Pandangan Ibnu Faris ini benar adanya. Kalimat berikut menunjukkan bahwa
pengaruh I’rab sangat menentukan makna. Jika tidak ada I’rab maka ia akan
memiliki kemungkinan beberapa makna: أكرم الناسُ محمداً- أكرم الناسَ محمدٌ- أكرم الناسِ محمدٌ- أَكْرِمِ الناسَ محمدُ!
Sementara itu, Quthrub sendirinya, berpandangan bahwa harkat-harkat ini
didatangkan untuk mempercepat ucapan (li al-sur’ah fi al-kalam), dan untuk
menjaga jangan sampai terjadi pertemuan dua huruf yang mati (takhallush min
iltiqa al-sakinayn) ketika berbicara secara bersambung. Lebih jelas Quthrub
menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang Arab melakukan I’rab dalam ucapannya,
oleh karena isim, ketika dalam keadaan waqaf (berhenti) lazimnya disukunkan,
seandainya mereka mewashal (sambung kata) juga dengan sukun, maka pasti mereka
akan melazimkan sukun dalam keadaan waqaf (berhenti) dan washal (bersambung).
Ketika mereka melakukan washal dan memungkinkan untuk memberikan harkat di
akhir setiap kata, maka mereka menjadikan harkat itu sebagai pengganti sukun,
agar ucapan mereka menjadi lebih berimbang. Bukankah kita melihat orang-orang
Arab membangun struktur kalimat mereka dengan satu huruf berharkat dan satu
huruf mati (sakin), dua huruf berharkat dan satu huruf sakin, dan tidak pernah
mereka menggabungkan antara dua huruf sakin di tengah-tengah sebuah kata,
karena dalam pertemuan dua huruf mati itu mereka akan lambat mengucapkan kata,
sedangkan jika mengharkatkannya maka mereka akan cepat mengucapkannya, oleh
karena itulah mereka menjadikan harkat sebagai ganti dari sukun ketika
berbicara secara bersambung (washal)”.
Itulah pendapat Quthrub. Tidak pernah ada seorangpun yang berpendapat
seperti itu sebelumnya. Dan sejauh ini tidak ada seorangpun yang mengikuti
pendapatnya kecuali satu orang, yaitu Prof. Dr. Ibrahim Anis dalam bukunya yang
sangat bagus Min Asrar al-Lughah.
Sebelum mendiskusikan secara lebih rinci pandangan Prof. Dr. Ibrahim Anis,
ada baiknya di sini kita ingat bahwa di-rafa’-kannya fa’il, di-nashab-kannya
maf’ul, di-jar-kannya mudhaf ileih, adalah fakta-fakta yang sudah diterima
demikian adanya, yang tidak seorangpun ulama nahwu masa klasik yang
meragukannya. Oleh karena itu dalam menjawab pandang Quthrub, mereka
mengatakan: “Seandainya dia (Quthrub) benar-benar berpegang terhadap
pendapatnya, tentu dia membolehkan untuk meng-khafadh-kan fa’il pada satu
ketika, dan me-rafa’-kan serta me-nashab-kannya pada ketika yang lain; juga
membolehkan untuk me-nashab-kan mudhaf ileih, karena tujuannya hanyalah harkat
yang mengantikan sukun agar suatu ucapan menjadi lebih berimbang. Dengan
demikian harkat apapun yang diletakkan sifatnya pilihan. Ini tentu merupakan
sesuatu yang rusak dalam bahasa, dan keluar dari pakem-pakem gramatikal yang
telah ditentukan oleh bangsa Arab”.
Sementara Dr. Ibrahim Anis dalam ulasannya tentang masalah i’rab ini
menjelaskan bahwa para ahli nahwu memiliki dominasi yang sangat kuat terhadap
para penyair dan sastrawan. Mereka tidak menemukan lawan yang sepadan kecuali
pada sedikit orang, salah satu di antara yang sedikit itu adalah Ibnu Madha
al-Qurthubi, yang menulis sebuah kitab yang berisi sanggahan terhadap
alasan-alasan (I’rab) para ahli nahwu. Yang kedua, menurut Ibrahim Anis, adalah
usaha yang dilakukan oleh Ibrahim Mustafa dalam kitabnya Ihya al-Nahwu, yang
merupakan sebuah usaha edukatif untuk memudahkan kaidah-kaidah i’rab bagi para
generasi muda.
Dari kajian yang dilakukan Prof. Dr. Ibrahim Anis, kita dapat menyimpulkan
teorinya sebagai berikut:
1. Harkat I’rab tidak memiliki madlul (maksud). Harkat-harkat i’rab tidak
menunjukkan bahwa sesuatu isim itu sebagai fail (pelaku), maf’ul (objek),
idhafah, atau lainnya.
2. Harkat-harkat ini tidak lebih dari sekedar harkat belaka yang kebanyakan
dibutuhkan untuk menyambung kata-kata satu sama lain. Artinya harkat tersebut
diperlukan untuk menghindari bertemunya dua huruf sakin ketika terjadi
penyambungan kalam. Makna fail, maf’ul, idhafah, dan lainnya sama sekali tidak
dipahami dari harkat-harkat ini, namun dari kedudukan masing-masing dalam suatu
struktur kalimat Arab.
3. Ada dua faktor yang campur tangan dalam menentukan harkat penghindar
bertemunya dua huruf sakin, yaitu: a) preferensi satu huruf terhadap harkat
tertentu seperti preferensi huruf halaq terhadap harkat fathah; dan b)
kecenderungan untuk menyamakan harkat yang berdekatan, atau yang disebut dengan
harmoni vokal (vowel harmony).
4. Ketika para ahli nahwu klasik mendengar harkat-harkat ini mereka salah
menafsirkannya dengan mengatakan bahwa ia adalah tanda dari kasus subjek,
objek, dlsb., padahal ia hanya harkat biasa, tidak lebih hanya untuk menyambung
kata.
5. Ketika para ahli nahwu meyakini bahwa harkat-harkat ini adalah
harkat-harkat i’rab, mereka pun kemudian mengharkatkan akhir kata-kata yang
sebenarnya tidak perlu untuk diharkatkan untuk menyesuaikan kaidah-kaidah
mereka. Maka mereka misalnya mengatakan: الرجلُ قائم dengan mengharkat dhammahkan huruf
lam pada kata rajul, padahal sesungguhnya cukup mengatakan الرجلْ قائم, dengan mensukunkan huruf lam,
karena tidak ditemukan darurat apapun yang mengharuskannya untuk diberi harkat.
6. Kata-kata yang dii’rab dengan huruf, merupakan salah satu bentuk irab
yang khusus untuk kabilah (suku) tertentu, sementara bentuk-bentuk lain
merupakan kekhususan kabilah-kabilah lain, namun para ahli nahwu menggabung
semua bentuk ini dan mengkhususkan setiap bentuk di antaranya dengan satu
keadaan i’rab tertentu. Misalnya ada kabilah Arab yang yang mengucapkan
mutsanna dengan ya dalam semua keadaan, lalu ya ini berkembang dan berubah
menjadi alif pada semua keadaan oleh sebagian kabilah. Para ulama nahwu ini tidak
memahami rahasia ini dan kemudian mengabungkan kedua bentuk, dengan
mengkhususkan yang pertama untuk nashab dan jar, dan mengkhususkan yang kedua
untuk keadaan rafa’.
Itulah teori Prof. Dr. Ibrahim Anis dalam menfasirkan I’rab pada bahasa
Arab fusha. Sebelum mendiskusikan teori beliau–dan menjelaskan bahwa I’rab
seperti diterangkan oleh para ahli nahwu adalah merupakan karakteristik
bahasa-bahasa semitik–perlu disampaikan bahwa teorinya ini tidak diterima oleh
para peneliti manapun, bahkan memantik penolakan dari salah seorang di antara
mereka, yaitu Dr. Mahdi Makhzumi dalam bukunya Madrasah al-Kufah Wa Manhajuha
Fi Dirasah al-Lughah Wa al-Nahwu. Di antara kritikan tajam Dr. Mahdi
al-Makhzumi adalah bahwa teori Prof. Dr. Anis Ibrahim tidak dapat menafsirkan
perbedaan-perbedaan dialek-dialek Arab dalam masalah waqaf. Misalnya dialek
Azad al-Sarraah yang jika waqaf pada kata rafa’ mereka mengucapkan dhammahnya
dan memanjangkannya, sehingga tampak sebagai wawu. Jika mereka melakukan waqaf
pada kata yang dikasrahkan mereka memanjangkan kasrahnya sehingga tampak
seperti ya. Pada kalimat Hal Jaa’a Khalidun? Dan Hal Mararta bi Khalidin?
Mereka akan membacanya Hal Jaa’a Khaliduu dan Hal Mararta bi Khalidii? ketika
mereka melakukan waqaf. Dalam hal ini Dr. Mahdi al-Makhzumi menyatakan: “Jika
harkat-harkat tersebut bukan merupakan tanda dari makna-makna yang dimaksudkan
ol eh seorang pembicara, melainkan hanya sekedar harkat belaka yang dibutuhkan
dalam banyak kesempatan untuk menyambung kata-kata satu sama lain, maka
bagaimana kita menafsirkan waqaf pada dialek yang memanjangkan harkat? Dan
mengapa huruf dal dirafakan, dinashabkan dan dijarkan pada ketiga keadaan?
Mengapa tidak dikasrahkan saja agar harkatnya sesuai (harmonis) dengan harkat
kasrah yang ada pada huruf lam?
Apa yang dipaparkan oleh Dr. Mahdi al-Makhzumi adalah sedikit di antara
yang mematahkan teori Prof. Dr. Ibrahim Anis. Sebenarnya jika mau diteliti
lebih jauh bahasa-bahasa Semitik lain akan terbukti bahwa orisinalitas I’rab
memang ada pada bahasa semitik ini dan termasuk bahasa Arab. Insya Allah pada
bagian akhir seri tulisan ini masalah tersebut akan dipaparkan.
Di kalangan orientalis, sebelum Prof. Dr. Anis Ibrahim, ada juga yang
meragukan bahasa Arab fushah, dan karakter terpentingnya yaitu i’rab. Di
antaranya adalah Karl Vollers yang berpendapat bahwa nas asli Alquran
sebenarnya ditulis dengan salah satu dialek suku Arab yang berkembang di Hijaz,
yang dalam dialek ini dan juga dialek-dialek lainnya tidak mengenal
akhiran-akhiran yang dinamakan dengan i’rab
Orientalis lain yang juga meragu-ragukan bahasa Arab fusha adalah Paul E.
Kahle yang menuangkannya pada salah satu pasal bukunya Dier Kairoer Genisa
(Harta Karun Kairo). Pasal itu berjudul Teks Arab Alquran. Di sini ia menulis:
“Kodifikasi Alquran dilakukan beberapa tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad,
tepatnya pada tahun 632 M, yang kemudian hasil paling akhirnya ada pada masa
khalifah Utsman bin Affan (633-655M). Di sini muncul problem: bagaimana teks
ini dibaca dan lafalkan? Nabi Muhammad dilahirkan–sebagaimana kebanyakan orang
pada saat itu–dari sebuah suku Arabia (Quraisy). Dan bahasa Arab yang digunakan
oleh suku itu adalah bahasa dari kaum terpelajar Mekah. Teks Alquran yang tidak
memiliki syakal dan tanda apapun, secara jelas merefleksikan bahasa Arab yang
dipakai di Mekah. Orang Arab telah terbiasa menganggap bahasa Badawi sebagai
model pengucapan yang benar, sehingga dengan bahasa inilah mereka menyusun
syair Arab jahili, dan setiap orang Arab bangga terhadap hal ini…pada saat itu,
di pusat-pusat kota Islam seperti Kufah, Basrah, Madinah, dan Mekah, mulai
muncul suatu kajian yang intens terhadap syair-syair badawi. Mereka yang
memiliki perhatian terhadap bahasa Arab badawi ini pergi ke tetangga-tetangga
mereja para penduduk badawi dan sebisa mungkin mengumpulkan syair-syair, dan
hikayat-hikayat yang terkait dengan mereka (badawi) yang kebanyakan adalah
cerita-cerita tentang peperangan kecil. Hikayat-hikayat ini dikumpulkan dalam
satu judul Ayaam al-Arab. Materi-materi yang dikumpulkan dengan cara seperti ini
lalu menjadi dasar bagi bahasa Arab model yang diciptakan oleh para ahli nahwu,
lalu bahasa Alquran mengikuti polanya. Namun demikian mengapa penulisan mshaf
Alquran mengalami perubahan, bahkan menciptakan sebuah “cara” sendiri di mana
banyak tanda yang berbeda ditambahkan ke dalam teks Alquran untuk menjamin
ketepatan bacaan”.
Kahle juga menyatakan bahwa kitab-kitab qira’at secara umum tidak
menyebutkan sedikitpun tentang aktifitas awal para qurra. Kitab-kitab itu
menurut Kahle telah hilang atau diabaikan, kecuali satu kabar yang baru
belakangan ditemukan di mana ada penjelasan tentang perkembangan tanda-tanda
kebahasaan (i’rab) tersebut.
Diduga, dalam penelusurannya tentang perkembangan tanda-tanda itu, Kahle
mengutip al-Farra yang ia temukan dalam satu kumpulan manuskrip di perpustakaan
Chester – Beatty nomor 507. Di situ ada keterangan: “al-Farra berkata: “kami
melihat ahli qira’ah yang mengetahui Alquran dan sunnah, dan termasuk ahli
fasahah (memiliki kefasihan berbahasa), bersepakat bahwa Alquran diturunkan
dalam bahasa yang paling fasih. Pada saat itu muncul kritik dari
kelompok-kelompok yang mengetahui syair Arab dan sejarahnya. Mereka yang
terakhir ini berpendapat bahwa Alquran itu memiliki kemulian dan kelebihan
hanya karena Allah memerintahkan untuk mengagungkannya. Sementara jika kita
menengok kefasihan, maka kita akan menemukannya ada dalam bahasa Badawi. Di
sini mereka berbeda pendapat tentang siapa yang paling fasih di kalangan suku
badawi Arab. Penduduk Kufah berpendapat bahwa yang paling fasih adalah Bani
Asad karena kedekatan mereka dengannya. Sementara penduduk Basrah berpendapat
bahwa fasahah ada di Bani Tamim bagian atas yaitu kelompok ‘Akl, dan Bani Qayis
bagian bawah yaitu kelompok ‘Aqil. Penduduk Madinah lain lagi, menurut mereka
yang paling fasih adalah Bani Gathfan. Sedangkan penduduk Mekah mengatakan
bahwa yang paling fasih adalah Bani Kinanah dan Bani Tsaqif. Kami ingin
menjawab mereka dengan mengetengahkan bukti-bukti bahwa dialek Quraisy adalah
dialek yang paling unggul dibandingkan dialek-dialek lain…. Suatu ketika Umar
mendengar seseorang membaca عتى حين dengan maksud حتى حين. Umar lalu berkata kepada orang
itu: “Siapa yang mengajarkan bacaan itu kepadamu?” “Abdullah bin Mas’ud”,
jawabnya. Umar lalu menulis surat kepada Abdullah bin Mas’ud demikian:
“Sesungguhnya Alquran diturunkan dengan dialek Quraisy dan bukan dengan dialek
Huzail, maka ajarkanlah manusia bacaan Alquran dengan dialek Quraisy, dan
jangan ajarkan mereka dengan dialek Huzail.” Abu Bakar juga pernah berkata:
“Sesungguhnya I’rab Alquran lebih aku sukai dari pada menghafal sebagian
ayatnya.” Ibnu Mas’ud berkata: “Perbaguslah bacaan Alquran kalian, hiasilah
dengan suara yang merdu, i’rablah karena Alquran itu bahasa Arab, karena Allah
suka Alquran itu dii’rab.”
Kahle mengomentari kata “i’rab” pada ucapan Abu Bakar demikian: “i’rab
adalah harkat-harkat yang ada di akhir kata-kata bahasa Arab sesuai dengan
kaidah-kaidah gramatikal Arab fusha.” Dari situ Kahle berkesimpulan bahwa
“penekanan untuk membaca Alquran dengan menggunakan i’rab tampak tidak masuk
akal, kecuali bahwa Alquran itu pada kenyataannya dibaca tanpa i’rab, dan
kemudian dikehendaki agar Alquran dibaca dengan i’rab yang pada masa-masa
belakangan dianggap sebagai fenomena kebenaran berbahasa.”
Kahle salah dalam kesimpulannya ini, oleh karena i’rab dalam pengertian
istilah tidak dikenal pada masa Abu Bakar dan Ibnu Mas’ud. Makna kata “i’rab
Alquran” dalam hadits konteks itu adalah kejelasan dalam membaca Alquran.
Jika Vollers dan Kahle adalah dua orientalis dengan pandangan negatif
terhadap bahasa Arab Fusha dan masalah i’rab, maka ada cukup banyak orientalis
lain yang mendukung orisinalitas i’rab dalam bahasa Arab seperti Theodore Noldeke.
Dalam satu tulisannya berjudul “Beberapa Catatan Tentang Bahasa Arab Klasik”
Noeldeke menulis: “Tidak masuk akal jika Muhammad menggunakan dalam Alquran,
suatu bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa yang berkembang pada saat itu di
Mekah. Juga tidak masuk akal jika Muhammad begitu memiliki perhatian terhadap
i’rab sementara kaumnya tidak menggunakan i’rab ini dalam bahasa mereka”. Pada
kesempatan lain ia menulis: “Sangat salah jika ada ada orang yang meyakini
bahwa bahasa Arab yang berkembang pada masa Nabi Muhammad tidak mengenal i’rab;
karena ulama-ulama pada masa Harun al-Rasyid menemukan i’rab dengan sangat
rinci di kalangan badawi”. Johan Fuck berpendapat: “Bahasa Arab fusha
senantiasa menjaga perubahan i’rab yang merupakan salah satu ciri kebahasaan
paling tua, di mana bahasa-bahasa semitik lain—kecuali Babilonia kuno—telah
kehilangannya”. Sementara G. Bergstrasser menyatakan: “i’rab asli dari bahasa
semitik, yang diikuti oleh bahasa Akadia, Etiopia, dan kita temukan juga
pengaruhnya pada bahasa-bahasa lain”.
Seperti dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini bahwa Prof. Dr. Ibrahim
Anis memiliki teori berbeda tentang i’rab dengan kebanyakan ulama nahwu lain.
Yang pertama berpandangan bahwa i’rab tidak memiliki makna, sementara yang
kedua sebaliknya, i’rab menentukan makna seperti fail, maf’ul, idhafah, dlsb.
I’rab bukan semata harkat tanpa makna yang berfungsi menyambung kata-kata
seperti dituduhkan Prof. Anis. Argumentasi para ulama nahwu tentang hal ini
adalah sebagai berikut:
Argumentasi pertama, bahwa keberadaan i’rab benar-benar nyata di
sebagian bahasa semitik kuno, seperti Akadia yang mencakup dua bahasa lain
yaitu Babilonia dan Asyuria pada masa-masa klasik keduanya. Dalam tulisan Hukum
Hamurabi (1792-1750 SM) yang tertulis dalam bahasa Babilonia kuno terdapat
i’rab, sama persis seperti dalam bahasa Arab fusha: fail dirafa’kan, dan maf’ul
dinashabkan. Tanda rafa’nya dhammah, tanda nashabnya fathah, dan tanda jarnya
kasrah, sama persis seperti dalam bahasa Arab fusha. Pada paragraf pertama
hukum Hamurabi kita menemukan kalimat berikut: “šummâ awēlum awēlam ubbirma”,
yang dalam bahasa Arabnya adalah: إذا اتهم إنسان إنسانا (jika seorang manusia
menuduh manusia lain…) , dalam hal ini kata “awēlum” pertama artinya إنسان dalam keadaan sebagai pelaku (fail)
dirafa’kan dengan dhammah, sementara huruf mim di akhirnya itu, dalam bahasa
Akadia, sepadan dengan tanwin dalam bahasa Arab. Dan kata “awēlam” yang kedua
dalam posisi objek (maful), dinashabkan dengan fathah.
Pada paragraf kelima kita menemukan kalimat: “šummâ dayânum dinam iddin”
yang dalam bahasa Arabnya adalah: إذا حكم قاض حكما (Jika seorang hakim memutuskan
suatu hukum…), dalam hal ini kata “dayânum” berarti قاض sebagai pelaku (fail) dirafa’kan
dengan dhammah; dan kata “dinam” berarti حكما dalam sebagai maf’ul (objek) dinashabkan
dengan fathah.
Pada paragraf 195 hukum Hamurabi ini kita menemukan kalimat: “šummâ maru
abâšu imtahas” yang dalam bahasa Arabnya adalah: إذا ضرب إبن أباه (Jika seorang anak memukul
bapaknya…). Di sini kita lihat kata “abâšu” artinya adalah “أباه” sebagai maful (objek) yang dinashabkan dengan
alif karena ia termasuk isim yang lima (الأسماء الخمسة), persis seperti dalam bahasa Arab.
Tidak sebatas itu saja, bahkan isim mutsana dan jamak muzakar juga mirip
dalam i’rab; dalam bahasa Arab isim mutsanna dirafa’kan dengan alif, sementara
dinashabkan dan dijarkan dengan ya, yang kemudian berubah menjadi suara kasrah
yang dipanjangkan sambil di-imalah (penyuaraan ke suara “e”). Dalam bahasa
Akadia misalnya, kita menemukan kata “īnān” dengan makna عينان dalam keadaan rafa’, dan “īnēn”
untuk keadaan nashab dan jar. Untuk jamak muzakkar dirafa’kan dengan wawu, dan
dinashabkan dan dijarkan dengan ya. Maka dalam bahasa Akadia kata “šarrū” yang
berarti raja, dalam keadaan rada’, dan “šarri” untuk keadaan nashab dan jar.
Argumentasi kedua, adalah bahwa Alquran yang sampai kepada kita
secara mutawatir, melalui periwayatan oral yang sangat dipercaya dari satu
genarasi ke genarasi lain, juga (datang kepada kita) dalam keadaan memiliki
i’rab. Kita tidak yakin ada orang yang mempunyai dugaan bahwa Nabi tidak
mengharkatkan akhir kata-kata dalam bacaannya atas Alquran, kecuali dalam
kondisi darurat, misalnya karena pertemuan dua huruf mati.
Argumentasi ketiga, rasam Alquran yang sampai kepada kita secara
mutawatir juga menegaskan adanya i’rab dalam bahasa Arab fusha, dan itu sama
sekali bukan karangan para ulama nahwu. Jika tidak demikian bagaimana kita
menafsirkan adanya alif pada khat Utsmani pada sebuah kata yang ada dalam
keadaan dinashabkan dengan tanwin? Jika kita misalnya mengambil ayat: وما الله بغافل dan ولا تحسبن الله غافلا sulit bagi kita memahami
rahasia mengapa huruf lam pada kata غافل yang pertama diharkatkan dengan
kasrah, sementara pada ayat kedua dengan fathah, sekiranya persoalan itu tidak
lebih dari sekedar harmoni musik (insijam musiqiy).
Hal ini juga yang dipahami oleh Dr. Abdul Wahid Wafi ketika ia mengatakan:
“Sesungguhnya dalam rasam mushaf Utsmani—meskipun tidak memiliki syakal dan
tanda—mematahkan mazhab yang menegasikan i’rab. Ini karena dalam mushaf Utsmani
banyak tanda-tanda i’rab dengan huruf (seperti: المؤمنون dan المؤمنين) dan tanda i’rab manshub tanwin (رسولا، شهيدا، بصيرا) dlsb. Tidak disangsikan
lagi bahwa mushaf Utsmani dikodifikasi jauh dari masa ulama Kufah dan Basrah,
yang menurut mazhab anti i’rab sebagai para pencipta kaidah-kaidah i’rab
tersebut.”
Argumentasi keempat adalah banyaknya riwayat yang menunjukkan bahwa
i’rab itu sudah dikenal pada masa awal Islam. Mereka yang menjaganya akan
dianggap cerdas, sementara mereka yang mengabaikannya akan dicap sebagai orang
yang tidak fasih. Meskipun kita meragukan keabsahan sebagian riwayat ini, namun
secara umum kita melihat bukti nyata tentang adanya i’rab dalam ucapan dan
tulisan bangsa Arab masa silam, sebelum para ulama nahwu mengeluarkan
teori-teori gramatikal mereka kepada masyarakat.[3]
Suatu riwayat menceritakanbahwa sekretaris Abu Musa al-Asy’ari menulis
surat untuk Umar bin Khattab berbunyi: من أبو مسى yang seharusnya adalah من أبي موسى. Umar kemudian menulis balasan
kepada Abu Musa: “سلام الله عليك،
فاضرب كاتبك سوطا واحدا وأخر عطاءه سنة” (Semoga keselamatan selalu Allah berikan
kepadamu. Hukum cabuk satu kali sekretarismu itu, dan tunda gajinya selama satu
tahun)
Riwayat lain menceritakan bahwa Abu Aswa al-Duali menghadap Ziyad, Gubernur
Bashrah, lalu berkata: “Aku melihat orang Arab sudah banyak berbaur dengan
non-Arab yang mengakibatkan bahasa mereka rusak. Apakah engkau izinkan aku
untuk menuliskan kaidah-kaidah bahasa Arab agar mereka dapat memperbaiki
kembali bahasanya?” Ziyad menjawab: “Tidak perlu”. Beberapa hari setelah itu
seorang rakyat mengadu di hadapan Ziyad: “أصلح الله الأمير، توفى أبانا وترك بنونا” yang seharusnya adalah توفي أبونا وترك بنينا”. Mendengar ini Ziyad lalu memanggil Abu Aswad
dan memerintahkannya untuk menuliskan kaidah.
Itulah dua contoh riwayat yang menunjukkan bahwa i’rab adalah sesuatu yang
melekat dalam bahasa Arab. Ia bukan sekedar harkat tanpa makna, melainkan ada
makna-makna yang ditunjuk oleh harkat –harkat i’rab itu.[4]
[1] M.Mahfudh Ichsan al-Winai, Konsep Kitab Kuning (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 1995, cet ke- 1), h. 91.
[3] Ramdhan Abd al-Tawwab, Fushul Fi Fiqh al-Arabiyah(Maktabah al-Khanji bil Qahirah: An-Nasyir,
cet ke-3), h. 371-386.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Tawwab, Ramdhan. Fushul Fi Fiqh
al-Arabiyah. Maktabah al-Khanji bil Qahirah: An-Nasyir.
Faisal N.S.J., Ahmad. 1999. Ilmu Nahwu.
Surabaya: Bintang Terang.
Ichsan al-Winai, M.Mahfudh. 1995. Konsep
Kitab Kuning. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
de_Faqihuddin's
BLOG.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar