Oleh: Methia Farina
Memandang pohon di sudut rumahku. Pagi ini masih diselimuti
kabut. Langit biru di tutupi awan,
seolah-olah matahari malu menampakkan dirinya. Pagi ini entah mengapa aku
begitu enggan menikmati makanan di hadapanku. Ada sosok wajah yang mengganggu
pikiranku. Tahukah kawan. Wajah yang amat mengganggu pikiranku. Karena aku
sering terganggu dengan wajah itu. Aku amat merindukannya. Wajah yang telah
menjadikan aku seperti aku yang aku inginkan.
Ibu, itulah yang mengangkat jiwaku ke pelabuhan
cita-citaku. Masih belum genap dua tahun pusara itu kelihatan awal aku melihat
wajahnya. Masih meraba tanganku di pusara itu. Ingatanku masih seperti awal aku
dilahirkan. Senyum yang anggun, wajah yang selalu memancarkan cahaya. Membidik
jiwaku menjadi pemberani dan santun.
Satu kalimat saja sudah berarti bagiku. Mengapa aku
begitu kehilangan kalimat itu. Menyadari kalimat itu yang aku butuhkan. Namun
terhempas dan terputuskan oleh masa yang sudah mulai menua.
Ifham, adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang
terkasih padaku. Masih melekat diingatanku masa-masa aku mencari cinta. Bagiku
itulah masa di mana aku menemukan cinta dan kasih sayang.
***
“If, maafkan kakek, seharusnya kakek mengatakan ini
dari awal engkau di titipkan di sini.”
“Memangnya ada apa, Kek!”
“Sekarang umurmu hampir 22 tahun. Sudah seharusnya
kakek angkat bicara.”
Ifham, semakin heran akan perkataan kakeknya. Berbagai
pertanyaan timbul dalam pikirannya. Dengan seksama dan teliti, ia dengarkan
kakeknya bercerita.
“Kamu kenal dengan
Munah?”
“Ooo, Bibi Munah. Aku kenal sekali, Kek! Beliaulah yang
membesarkan dan merawat aku dari kecil, Kek!”
Tanpa curiga, Ifham dengan bangga menceritakan kepada
kakeknya. Walaupun baru beberapa bulan ia tinggal bersama kakeknya. Dia sangat
akrab sekali, seperti seorang ayah dan anak.
“Apa saja yang kamu ketahui tentang Munah?”
“Bibi Munah amat penyayang kepadaku, Kek! Aku merasakan ada
jiwa keibuan dalam diri Bibi Munah.”
Ifham berhenti bicara, ia merasakan kehilangan sosok
yang selama ini dicari-carinya. Ibu, adalah pujangga hatinya. Namun ia tidak
mengetahui ibunya sejak kecil. Awal dari kelahirannya ia tinggal dengan
ayahnya.
“If, sebenarnya Munah itu adalah ibumu. Ayahmu sengaja
tidak memberitahumu. Karena itu adalah permintaan ibumu.”
Tubuh Ifham bergemetar hebat. Matanya memerah, entah
sedih, marah, kecewa, ia juga tidak tahu. Yang jelas hari itu adalah hari yang
merobah hidupnya. Keringat dinginnya meluncur begitu saja, lidahnya terasa
kaku. Entah perkataan apa yang hendak diucapkannya.
***
Aku bertanya pada matahari, bulan, dedaunan. Di
manakah ibuku berada. Aku terhenyak, menyandarkan punggung pada dinding-dinding
bambu tempat Bi Munah. Ke mana lagi aku mencari ibuku. Kenapa Bi Munah tidak
memberitahuku yang sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Ifham melarikan
pikirannya saat ia diasuh oleh Munah. Dulu ia juga heran dengan bibinya.
Bibinya begitu akrab dengannya. Seakan ia berada di pangkuan ibunya.
Senja mulai menampakkan dirinya. Mega merah mulai
bermunculan. Awan sedikit demi sedikit mulai hilang terangnya. Ifham masih
bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa bibinya merahasiakan identitasnya. Dan
kenapa pada saat ia membutuhkan bibinya, bibinya menghilang begitu saja. Tidak
tahu rimbanya entah ke mana.
“Kek, beritahulah aku, apa sebenarnya yang terjadi?
Aku tidak bisa memecahkan misteri ini sendirian.”
Mata Ifham sayu memandang wajah kakeknya. Garis-garis
yang melekat di pipi kakeknya terlihat dalam dan melengkung. Rambut putih itu
berusaha mencari-cari kata yang tepat untuk cucunya.
“Begini cucuku, masa itu adalah masa yang berat bagi ibumu. Serentetan
cobaan tak henti mengejar ibumu. Setelah
kelahiranmu, ibumu menderita HIV,
yang menular melalui makanan.”
Ifham tak kuasa menahan tangisnya. Ibunya begitu
menderita. Tak terbayang olehnya, begitu beratnya cobaan itu. Sambil menahan
isak tangisnya, ia mencoba bersuara.
“Kenapa ibu bisa terkena penyakit itu, Kek?”
“Hmm, ada orang yang tidak bertanggung jawab,
menularkan virusnya lewat makanan dan minuman.”
“Sungguh biadabnya orang itu, Kek! Aku ingin
melaporkan kepada pihak yang berwajib!”
“Ibumu sudah mengikhlaskan pelakunya. Ibumu selalu
tersenyum menerimanya, Cucuku!”
Jelas saja ibu melarang aku mendekatinya dan memegang
tangannya. Ia selalu menatapku dari jauh. Apabila aku terluka, ibu hanya diam
memandangku. Diam-diam ibu menyembunyikan air matanya. Hati seorang ibu manakah
yang tidak sedih dan terluka melihat anaknya dalam kesakitan. Aku masih ingat ibu memasak untukku. Masakan ibu
begitu enak. Ingin aku mengulangi hari dengan ibu. Ibu engkaulah permata
jiwakku dan jiwamu ibarat
permata yang bersinar.
Hati siapa yang tidak sedih. Berpura-pura dalam
ketidaktahuan. Berpura-pura ceria
disemua wajah. Menyimpan identitas demi
kebaikan seorang anak. Seorang anak adalah pelita hati orang tua. Pelipur lara
dan kedukaan.
“Kek, di mana aku bisa menemukan ibu?”
“Ibumu sekarang berada di rumah sakit Ibnu Sina
Padang.”
***
Langkahku terasa berat. Begitu lama terasa sampai di
rumah sakit. Jantungku berdegub kencang. Seolah bertemu sang kekasih. Ya, ibuku
adalah kekasih hatiku. Kata pujian dan doa tak pernah henti dalam hati dan
ucapanku.
Ternyata langkah kakiku begitu lambat. Dan waktu
begitu cepat berlalu. Aku hanya melihat pusara ibu. Tuhanku, apa arti semua
ini. Kenapa dan kenapa? Tuhan , aku ingin merasakan tangan yang penuh kasih
sayang itu. Merangkul tubuhnya yang harum. Mencium tangannya dan tidur
bersamanya.
Tuhan, ternyata Engkau lebih menyayangi ibuku. Pencarianku
selama ini terhenti, dan itu Engkau yang menghentikannya, Tuhan. Biarkan aku
menangis saat ini. Detik ini aku ingin tidur dan berharap bertemu dengan ibuku.
Dalam tidurku, aku masih memanggil nama ibu. Ibu yang
belum sempat aku peluk seumur hidupku. Begitu lama dan panjang derita ibu.
Tuhan, Engkau Maha Mengetahui waktu yang terbaik. Aku bersyukur pada-Mu Tuhan,
atas terbuka kunci dari segala pertanyaanku. Dan Engkau memanggilnya di saat
aku sangat membutuhkannya. Aku tahu Tuhan dan aku pasrahkan hanya pada-Mu
sepenuhnya. Ini pasti adalah terbaik untukku. Dan kehendak-Mulah yang Maha
terbaik.
Masih aku ingat cerita lama. Begitu memukul jantungku.
Segala jawaban atas pertanyaanku sebenarnya ada pada diriku. Waktu, terima
kasih aku padamu. Tanpa waktu aku tak lahir dan tak melihat wajah ibu. Itulah
wajah yang sselama ini aku cari.
Kembali tiupan angin menyentuh kulitku. Aku merasakan
kesejukan. Apa itukah ibu? Menyapaku di sudut ruangan
penuh makna ini. Semoga. ***Padang (11 Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar