MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Selasa, 15 Mei 2012

CERPEN JIWA PERMATA

Oleh: Methia Farina

Memandang pohon di sudut rumahku. Pagi ini masih diselimuti kabut. Langit biru di tutupi awan, seolah-olah matahari malu menampakkan dirinya. Pagi ini entah mengapa aku begitu enggan menikmati makanan di hadapanku. Ada sosok wajah yang mengganggu pikiranku. Tahukah kawan. Wajah yang amat mengganggu pikiranku. Karena aku sering terganggu dengan wajah itu. Aku amat merindukannya. Wajah yang telah menjadikan aku seperti aku yang aku inginkan.
Ibu, itulah yang mengangkat jiwaku ke pelabuhan cita-citaku. Masih belum genap dua tahun pusara itu kelihatan awal aku melihat wajahnya. Masih meraba tanganku di pusara itu. Ingatanku masih seperti awal aku dilahirkan. Senyum yang anggun, wajah yang selalu memancarkan cahaya. Membidik jiwaku menjadi pemberani dan santun.
Satu kalimat saja sudah berarti bagiku. Mengapa aku begitu kehilangan kalimat itu. Menyadari kalimat itu yang aku butuhkan. Namun terhempas dan terputuskan oleh masa yang sudah mulai menua.
Ifham, adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang terkasih padaku. Masih melekat diingatanku masa-masa aku mencari cinta. Bagiku itulah masa di mana aku menemukan cinta dan kasih sayang.
***
“If, maafkan kakek, seharusnya kakek mengatakan ini dari awal engkau di titipkan di sini.”
“Memangnya ada apa, Kek!”
“Sekarang umurmu hampir 22 tahun. Sudah seharusnya kakek angkat bicara.”
Ifham, semakin heran akan perkataan kakeknya. Berbagai pertanyaan timbul dalam pikirannya. Dengan seksama dan teliti, ia dengarkan kakeknya bercerita.
“Kamu kenal dengan  Munah?”
“Ooo, Bibi Munah. Aku kenal sekali, Kek! Beliaulah yang membesarkan dan merawat aku dari kecil, Kek!”
Tanpa curiga, Ifham dengan bangga menceritakan kepada kakeknya. Walaupun baru beberapa bulan ia tinggal bersama kakeknya. Dia sangat akrab sekali, seperti seorang ayah dan anak.
“Apa saja yang kamu ketahui tentang Munah?”
“Bibi Munah amat penyayang kepadaku, Kek! Aku merasakan ada jiwa keibuan dalam diri Bibi Munah.”
Ifham berhenti bicara, ia merasakan kehilangan sosok yang selama ini dicari-carinya. Ibu, adalah pujangga hatinya. Namun ia tidak mengetahui ibunya sejak kecil. Awal dari kelahirannya ia tinggal dengan ayahnya.
“If, sebenarnya Munah itu adalah ibumu. Ayahmu sengaja tidak memberitahumu. Karena itu adalah permintaan ibumu.”
Tubuh Ifham bergemetar hebat. Matanya memerah, entah sedih, marah, kecewa, ia juga tidak tahu. Yang jelas hari itu adalah hari yang merobah hidupnya. Keringat dinginnya meluncur begitu saja, lidahnya terasa kaku. Entah perkataan apa yang hendak diucapkannya.
***
Aku bertanya pada matahari, bulan, dedaunan. Di manakah ibuku berada. Aku terhenyak, menyandarkan punggung pada dinding-dinding bambu tempat Bi Munah. Ke mana lagi aku mencari ibuku. Kenapa Bi Munah tidak memberitahuku yang sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Ifham melarikan pikirannya saat ia diasuh oleh Munah. Dulu ia juga heran dengan bibinya. Bibinya begitu akrab dengannya. Seakan ia berada di pangkuan ibunya.
Senja mulai menampakkan dirinya. Mega merah mulai bermunculan. Awan sedikit demi sedikit mulai hilang terangnya. Ifham masih bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa bibinya merahasiakan identitasnya. Dan kenapa pada saat ia membutuhkan bibinya, bibinya menghilang begitu saja. Tidak tahu rimbanya entah ke mana.
“Kek, beritahulah aku, apa sebenarnya yang terjadi? Aku tidak bisa memecahkan misteri ini sendirian.”
Mata Ifham sayu memandang wajah kakeknya. Garis-garis yang melekat di pipi kakeknya terlihat dalam dan melengkung. Rambut putih itu berusaha mencari-cari kata yang tepat untuk cucunya.
“Begini cucuku, masa itu adalah masa yang berat bagi ibumu. Serentetan cobaan tak henti  mengejar ibumu. Setelah kelahiranmu, ibumu menderita HIV, yang menular melalui makanan.”
Ifham tak kuasa menahan tangisnya. Ibunya begitu menderita. Tak terbayang olehnya, begitu beratnya cobaan itu. Sambil menahan isak tangisnya, ia mencoba bersuara.
“Kenapa ibu bisa terkena penyakit itu, Kek?”
“Hmm, ada orang yang tidak bertanggung jawab, menularkan virusnya lewat makanan dan minuman.”
“Sungguh biadabnya orang itu, Kek! Aku ingin melaporkan kepada pihak yang berwajib!”
“Ibumu sudah mengikhlaskan pelakunya. Ibumu selalu tersenyum menerimanya, Cucuku!
Jelas saja ibu melarang aku mendekatinya dan memegang tangannya. Ia selalu menatapku dari jauh. Apabila aku terluka, ibu hanya diam memandangku. Diam-diam ibu menyembunyikan air matanya. Hati seorang ibu manakah yang tidak sedih dan terluka melihat anaknya dalam kesakitan. Aku  masih ingat ibu memasak untukku. Masakan ibu begitu enak. Ingin aku mengulangi hari dengan ibu. Ibu engkaulah permata jiwakku dan jiwamu ibarat permata yang bersinar.
Hati siapa yang tidak sedih. Berpura-pura dalam ketidaktahuan. Berpura-pura ceria disemua wajah. Menyimpan identitas demi kebaikan seorang anak. Seorang anak adalah pelita hati orang tua. Pelipur lara dan kedukaan.
“Kek, di mana aku bisa menemukan ibu?”
“Ibumu sekarang berada di rumah sakit Ibnu Sina Padang.”
***
Langkahku terasa berat. Begitu lama terasa sampai di rumah sakit. Jantungku berdegub kencang. Seolah bertemu sang kekasih. Ya, ibuku adalah kekasih hatiku. Kata pujian dan doa tak pernah henti dalam hati dan ucapanku.
Ternyata langkah kakiku begitu lambat. Dan waktu begitu cepat berlalu. Aku hanya melihat pusara ibu. Tuhanku, apa arti semua ini. Kenapa dan kenapa? Tuhan , aku ingin merasakan tangan yang penuh kasih sayang itu. Merangkul tubuhnya yang harum. Mencium tangannya dan tidur bersamanya.
Tuhan, ternyata Engkau lebih menyayangi ibuku. Pencarianku selama ini terhenti, dan itu Engkau yang menghentikannya, Tuhan. Biarkan aku menangis saat ini. Detik ini aku ingin tidur dan berharap bertemu dengan ibuku.
Dalam tidurku, aku masih memanggil nama ibu. Ibu yang belum sempat aku peluk seumur hidupku. Begitu lama dan panjang derita ibu. Tuhan, Engkau Maha Mengetahui waktu yang terbaik. Aku bersyukur pada-Mu Tuhan, atas terbuka kunci dari segala pertanyaanku. Dan Engkau memanggilnya di saat aku sangat membutuhkannya. Aku tahu Tuhan dan aku pasrahkan hanya pada-Mu sepenuhnya. Ini pasti adalah terbaik untukku. Dan kehendak-Mulah yang Maha terbaik.
Masih aku ingat cerita lama. Begitu memukul jantungku. Segala jawaban atas pertanyaanku sebenarnya ada pada diriku. Waktu, terima kasih aku padamu. Tanpa waktu aku tak lahir dan tak melihat wajah ibu. Itulah wajah yang sselama ini aku cari.
Kembali tiupan angin menyentuh kulitku. Aku merasakan kesejukan. Apa itukah ibu? Menyapaku di sudut ruangan penuh makna ini. Semoga. ***Padang (11 Desember 2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar