MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Kamis, 07 Juni 2012

KONSEP PROFESI DALAM PENDIDIKAN



Konsep profesi dalam pendidikan pada dasarnya sama seperti yang berlaku dalam profesi-profesi lain. Perbedaannya terletak pada asumsi-asumsi yang melandasinya tentang manusia dan cara memberlakukan manusia sebagai subjek profesi ini. Profesi pendidikan lebih melihat manusia dari segi positfnya.
1. PERBEDAAN JABATAN PROFESI GURU DAN PROFESI LAIN
1.1. Pengertian Profesi Guru
Profesi sebagai kata benda berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Profesional sebagai kata sifat berarti memerlukan kepandaian khusus untuk melaksanakannya. Secara etimologi, profesi berasal dari istilah bahasa Inggris profession atau bahasa Latin profecus yang artinya mengakui, pengakuan, menyatakan mampu atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu (Sudarwan Danin, 2002:20). Mengutip pendapat Ornstein dan Levine,  Soetjipto (2004;15) mengemukakan bahwa profesi adalah memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai (tidak semua orang dapat melakukannya) dan memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang. Selanjutnya Nana Sudjana (Uzer Usman, 2001:14) pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas tentang pengertian profesional maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa profesi adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya.[1]
Secara rinci Imran Manan (1989) menyatakan, profesi adalah kedudukan atau jabatan yang memerlukan ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus yang di peroleh sebagian lewat pendidikan atau perkuliahan yang bersifat teoritis dan disertai dengan praktek, diuji dengan sejenis bentuk ujian baik universitas atau lembaga yang diberi hak untuk itu dan memberikan kepada orang-orang yang memilikinya (sertifikat, lisence, brevet) suatu kewenangan tertentu dalam hubungannya dengan kliennya.
Dalam arti yang lebih luas Oemar Hamalik (2002) menyatakan, profesi itu pada hakekatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor  20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan dalam pasal 39 ayat 1 bahwa guru adalah: “Tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakkukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik  pada perguruan tinggi.
Berdasarkan sejumlah sumber itu dapat disimpulkan bahwa seorang guru bukan hanya sekedar pemberi ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya di depan kelas. Akan tetapi, ia merupakan seorang tenaga professional yang dapat menjadikan murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan masalah yang di hadapi. Dengan demikian, seorang guru hendaklah bercita-cita tinggi, berpendidikan luas, berkepribadian kuat dang tegar serta berperikemanusiaan yang mendalam.[2]
Sumargi profesi guru adalah profesi khusus _ luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bu-kan semata-mata segi materinya belaka
Makagiansar, M. 1996 profesi guru adalah orang yang Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu
Nasanius, Y. 1998 mengatakan profesi guru yaitu kemampuan yang tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemashalakatkatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik.
Galbreath, J. 1999 profesi guru adalah orang yang bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdakan anak didik.
Pencanangan guru sebagai sebuah profesi dapat dikatakan merupakan upaya pengakuan pemerintah atas jasa dan kerja keras mereka. Pengakuan ini menyejajarkan profesi guru seperti dokter, pengacara, dan berbagai profesi lain. Apakah dengan pengakuan ini dengan sendirinya kesejahteraan segera meningkat? Tentu saja tidak serta-merta demikian, jika pemerintah kemudian tidak menindaklanjuti dengan berbagai kebijakan yang mengarah kepada proses penyejahteraan guru.
Peristiwa ini mencerminkan betapa beratnya pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan guru dari sekadar okupasional menjadi sebuah profesi. Dari sisi kebijakan dalam soal pendidikan, tidaklah kondusif untuk mengantarkan guru untuk profesional. Dari segi kultur mendidik, itu menunjukkan para guru pun tidak mampu tertib mendengarkan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Jika gurunya saja demikian, bagaimana mungkin mereka mampu menertibkan murid-muridnya di kelas?
Saat disebut "pemerintah daerah" berkaitan dengan "kesejahteraan", mereka pun kembali gaduh. Ini mengundang tanda tanya besar, ada apa dengan "pemda" dan para guru? Apakah guru tidak percaya lagi terhadap pemda yang akan dijadikan pilar untuk menyejahterakan mereka? Berbagai hal di atas menimbulkan pertanyaan, apakah bisa guru-guru kita profesional. Tapi apa pun yang terjadi, memang guru harus diperjuangkan untuk profesional.[3]
1.2. Syarat-syarat Profesi Keguruan
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I pada tahuan 1988 (Made Pidarta, 2000:266) menentukan syarat-syarat suatu pekerjaan profesional sebagai berikut :
(1) atas dasar panggilan hidup yang dilakukan sepenuh waktu serta untuk jangka waktu yang lama (2) telah memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus, (3) dilakukan menurut teori, prinsip, prosedur, dan anggaan-anggapan dasar yang sudah baku sebagai pedoman dalam melayani klien, (4) sebagai pengabdian kepada masyarakat, bukan mencari keuntungan finansial,  (5) memiliki kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif dalam melayani klien, (6) dilakukan secara otonom yang bisa diuji oleh rekan-rekan seprofesi, (7) mempunyai kode etik yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, dan (8) pekerjaan yang dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan
Muchlas Samani dkk (2003:3-4) mengemukakan syarat-syarat profesi meliputi: (1) memiliki fungsi yang signifikan dalam kehidupan masyarakat dimana profesi berada, (2) memerlukan keahlian dan keterampilan tertentu yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat awam pada umumnya, (3) keahlian yang diperlukan dikembangkan berdasarkan disiplin ilmu yang jelas dan sistematik, (4) memerlukan pendidikan atau pelatihan yang panjang, sebelum seseorang mampu memangku profesi tersebut, (5) memiliki otonomi dalam membuat keputusan yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya, (6) memiliki kode etik jabatan yang menjelaskan bagaimana profesi itu harus dilaksanakan oleh orang-orang yang memegangnya, (7) memiliki organisasi profesi yang merupakan tempat pemegang profesi berasosiasi dan mengembangkan profesi tersebut.
Bila kita bandingkan persyaratan yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut, dapatlah disimpulkan pernyataannya hampir sama dan saling melengkapi. Dengan demikian bahwa persyaratan profesi yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.   Pilihan terhadap jabatan itu didasari oleh motivasi yang kuat dan merupakan panggilan hidup orang bersangkutan
2.    Telah memiliki ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus yang bersifat dinamis dan terus berkembang
3.    Ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut diatas diperoleh melalui studi dalam jangka waktu lama
4.   Punya otonomi dalam bertindak ketika melayani klien
5.   Mengabdi kepada masyarakat atau berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial semata
6.   Tidak mengadvertensikan keahliannya untuk mendapatkan klien
7.   Menjadi anggota organisi profesi
8.   Organisasi tersebut menentukan persyaratan penerimaan anggota, memmbina profesi anggota, mengawasi prilaku anggota, memberi sanksi, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota.
9.   Memiliki kode etik profesi
10. Punya kekuatan dan status yang tinggi sebagai eksper yang diakui oleh masyarakat
11. Berhak mendapat imbalan yang layak
Jika syarat tersebut diatas dijadikan acuan, sepertinya tidak semua   jenis    pekerjaan atau jabatan dapat dikategorikan sebagai profesi[4]
Khusus untuk jabatan guru, sebenarnya juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya National Education Sociation (NEA) (1948) menyarankan kriteria berikut:
1)      Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
2)      Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3)      Jabatan yang memerlukan persiapan professional yang lama (banndingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka)
4)      Jabatan yang memerlukan ‘latihan dalam jabatan’ yang berkesinambung.
5)      Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
6)      Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
7)      Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
8)      Jabatan yang mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat.[5]
1.3. Perbedaan Profesi Guru dan Profesi Lainnya
Guru merupakan profesi utama, sedangkan profesi lain merupakan profesi yang ada dan terakhir karena seorang guru.
Guru mengalihkan ilmunya dalam arti teori dan metodologi perkembangannya kepada peserta didik dan masyarakat luas, sedangakan profesi lain, seperti dokter gigi, apoteker, hakim dan lainnya hanya memanfaatkan pengetahuannya untuk kesejahteraan masyarakat tanpa mengajarkannya.[6]
Mengajar bukan hanya menyapaikan materi pelajaran saja, akan tetapi merupakan pekerjaan yang bertujuan dan bersifat kompleks. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, diperlukan sejumlah keterampilan khusus yang didasarkan pada konsep dan ilmu pengetahuan yang spesifik. Artinya, setiap keputusan dalam melaksanakan aktivitas mengajar bukanlah didasarkan kepada  suatu pertimbangan-pertimbangan subjektif atau tugas yang dilakukan sekehendak hati, tetapi didasarkan kepada suatu pertimbangan berdasarkan keilmuan tertentu, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Guru bertugas mengantarkan siswa ke arah tujuan yang diinginkan, akan tetapi hasil pekerjaan guru seperti mengembangkan bakat dan minat serta potensi yang dimiliki seseorang, termasuk mengembangakan bakat tertentu memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga hasilnya baru dapat dilihat setelah waktu yang lama. Oleh karena itu, kegagalan guru dalam membelajarkan siswa, berarti kegagalan membentuk satu generasi manusia. Namun kinerja profesi non keguruan, seperti dokter biasanya dapat dilihat dalam waktu yang singkat.[7]
Menjadi guru tidak cukup hanya dengan memahami materi yang akan disampaikan (what to teach), tetapi juga dipelukan kemampuan dan keterampilan mendesain strategi pembelajaran yang tepat (how to teach). Kemampuan-kemampuan semacam itu diperoleh dari suatu lembaga pendidikan khusus, yaitu lembaga pendidikan keguruan.

2. PROFESIONALISASI JABATAN GURU DAN PERLUNYA         PROFESIONALISASI DALAM PENDIDIKAN
2.1. Pengertian Profesionalisasi
Adapun profesionalisasi dimaknai sebagai suatu proses untuk menjadikan suatu pekerjaan memperoleh status profesional. Sudarwan Danim (2002:23) menyatakan bahwa: “profesionalisasi adalah suatu proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai criteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesi itu.”
Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Aktualisasi dari profesionalisasi itu antara lain dengan melakukan penelitian, diskusi antar anggota profesi, penelitian dan pengembangan, melakukan uji coba, mengikuti forum-forum ilmiah, studi mandiri dari berbagai sumber media, studi lanjutan, studi banding, observasi praktikal, dan langkah-langkah lain yang dituntut oleh persyaratan profesi masing-masing.
Kehadiran suatu profesi itu pada dasarnya merupakan suatu fenomena sosial atau kemasyarakatan. Hal ini berarti bahwa keberadaan suatu profei d masyarakat bukan diakui dan diyakini oleh para pengemban profesinya itu semata , justru dakui dan dirsakan manfaat dan kepentingan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Pengakuan (recognition) terhadap suatu profesi itu pada dasarnya secara implisit mengimplikasikannya adanya penghargaan, meskipun tidak selalu berarti financial melainkan dapat mengandung status sosial.
Tidak mengherankan karenanya, banyak dari warga masyarakat , terutama dari golongan menengah , yang memandang bahwa menjadi seorang profesioanal itu merupakan dambaan yang menjanjikan .
2.2. Perlunya Profesionalisasi Dalam Pendidikan
Menurut Peter Jarvis (1992:28); Sudarwan Danim (2002:23); dan Nina Syam (2002:13) terdapat tujuh tahapan menuju status professional yang dapat penulis resumekan sebagai berikut: Pertama, penentuan spesialisasi bidang pekerjaan sesuai dengan pengetahuan khusus dan keterampilan untuk menerapkan pengetahuan khusus tersebut yang dimiliki oleh seseorang; Kedua,  penentuan tenaga ahli yang memenuhi persayaratan untuk menjalankan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya; Ketiga, penentuan pedoman kerja sebagai landasan kerja yang disebut juga sebagai standar perilaku tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya atau kehaliannya. Pedoman kerja tersebut disebut juga sebagai etika kerja; keempat, peningkatan kreativitas kerja sebagai usaha untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik bagi profesi itu sendiri maupun bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanannya; Kelima, penentun tanggung jawab kerja bagi professional di dalam menjalankan pekerjaannya; Keenam, pembentukan organisasi kerja untuk mengatur tenaga kerja yang terdapat dalam organisasi tersebut; Ketujuh, memberi-kan pelayanan yang ketat dan penilaian dari masyarakat pengguna jasa profesi untuk menentukan pelayanan kerja sebagai pelayanan yang profesional.[8]
Made Pidarta (1997 : 265) menyatakan bahwa tidak diakuinya keprofesionalan para guru dan dosen, didasarkan atas kenyataan yang dilihat masyarakat bahwa (1) banyak sekali guru maupun dosen yang tidak memberi keputusan kepada mereka, dan (2) menurut pendapat masyarakat, pekerjaan mendidik dapat dilakukan oleh siapa saja.
Profesi pendidik merupakan suatu bidang yang memerlukan profesionalisme dalam menjalankannya. Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan diperlukan para pendidik yang profesional yang ditopang dengan pengelola kependidikan yang profesional pula dan perlu kebersamaan dalam menjalankannya. Hambatan dalam mewujudkan profesionalisme ini berupa masih berjalannya sistem orde baru yang tidak kondusif, penuh KKN dan moral yang rendah dari sebagian tenaga pendidik. Pencapaian profesionalisme pendidikan memerlukan tahapan-tahapan, perlu aplikasi bidang lain yang bersesuaian untuk kemajuan pendidikan dan pembinaan moral yang melibatkan pendidikan agama.[9]
Dalam pendidikan guru adalah seorang pendidik, pembimbing, pelatih dan pemimpin yang dapat menciptakan iklim belajar yang menarik, member rasa aman, nyaman dan kondusif dalam kelas.
Keberadaan di tengah-tengah siswa dapat mencairkan suasana kebekuan, kekakuan dan kejenuhan belajar yang terasa berat diterima oleh para siswa. Kondisi seperti itu tentunya memerlukan keterampilan dari seorang guru dan tidak semua orang melakukannya. Menyadari hal itu bahwasanya perofesionalisasi guru dalam pendidikan sangat diperlukan. Guru yang professional merupakan factor penentu proses pendidikan yang bermutu. Untuk dapat menjadi guru professional mereka harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualkan diri. Pemberian prioritas yang sangat rendah pada pembangunan pendidikan selama beberapa puluh tahun terakhir telah berdampak buruk yang sangat luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.[10]
Sebab-sebab diperlukannya profesionalisasi dalam pendidikan adalah:[11]
a)      Agar pendidikan bisa berjalan dengan efektif dan efesien. Pendidikan akan terlaksana dengan baik apabila dalam suatu lembaga pendidikan menempatkan guru pada keahlian yang dimilikinya sehingga pendidikan dapat berjalan dengan efektif dan efesien.
b)      Agar visi misi pendidikan berhasil.
c)      Dengan adanya profesionalisasi dalam pendidikan dapat memberikan inisiatif, kreatif dalam mengadakan konsep baru untuk memperbaharui pendidikan supaya tidak keterbelakang dari segi pendidikan.
d)     Dengan adanya profesionalisasi dalam pendidikan dapat meningkatkakn kemampuan para peserta didik, karena dengan adanya pendidik yang professional, yang berkompeten dalam bidang sehingga ia lebih menguasai apa yang akan diberikan kepada peserta didik.

3.CIRI-CIRI PROFESI KEGURUAN
Menurut Rochman Natawidjaja mengemukakan beberapa criteria sebagai ciri suatu profesi, yaitu :
1.      Ada standar untuk kerja yang baku dan jelas.
2.      Ada lembaga pendidikan khusu yang menghasilkan pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang memadai yang bertanggung jawab tenatng pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi itu.
3.      Ada etika dank kode etik yang mengatur perilaku para pelakunya dalam memperlakukan kliennya.
4.      Ada sistem imbalan terhadap jasa layanan imbalannya yang adil dan baku.
5.      Ada pengakuan masyarakat professional penguasa dan awam terhadap pekerjaan itu sebagai suatu profesi.
Lebih lanjut Moh. Ali (dalam Moh Usman 1996 : 15 ) mengemukakan karakteristik profesi sebagai berikut :
1.      Adanya keterampilan yang berdsarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
2.      Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
3.      Adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4.      Adnya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya
5.      Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
6.      Memiliki kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
7.      Memiliki klien atau objek layanan yang tetap, sperti dokter dengan pasiennya dan guru dengan muridnya.
8.      Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya dalam masyarakat.









[1] http://www.cindycomputer.com/index.php?option=com_content&view=article&id=484:konsep-menjadi-guru-yang-profesional&catid=37:lain-lain&Itemid=135
[2] Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum (Quantum Teaching: Jakarta, 2005), h. 7
[3] http://makalahfrofesikependidikan.blogspot.com/2010/07/kompetensi-guru-profesi.html
[4] http://www.cindycomputer.com/index.php?option=com_content&view=article&id=484:konsep-menjadi-guru-yang-profesional&catid=37:lain-lain&Itemid=162

[5] Soetjipto, Raflis Kosasi, Profesi Keguruan (Rineka Cipta: Jakarta, 2009), h. 18
[6] Sudarwan Danim, Media Komunikasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 58
[7] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar proses Pendidikan (Jakarta: Kencana., 2006), h. 16-17
[8] http://sambasalim.com/pendidikan/profesionalisme-guru.html

[9] http://vandha.wordpress.com/2008/06/22/peningkatan-profesionalisme-pendidikan-dalam-upaya-meningkatkan-mutu-pendidikan/
[10] Asrorun Ni’am Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Elsas, 2006), cet ke-1, h. 9
[11] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 300-307





DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ni’am Sholeh, Asrorun. 2006. Membangun Profesionalitas Guru. Jakarta: Elsas.
Nurdin, Syafruddin. 2005. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Quantum Teaching.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Soetjipto, Raflis Kosasi,. 2009. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Syaefudin Sa’ud, Udin. 2010. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta.
Pidarta,  Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
http://sambasalim.com/pendidikan/profesionalisme-guru.html



Mengejar Impian Pendidikan dengan Menulis


Laporan Methia Farina

(Pelatihan Kepenulisan Karya Tulis Ilmiah diselenggarakan oleh Smf-T Iain Imam Bonjol Padang)


Fakultas Tarbiyah bukanlah Fakultas yang asing dalam kepenulisan. Pada tahun 1970 kepenulisan sudah eksis di Fakultas Tarbiyah. Semakin berkembangnya zaman, beputarnya waktu, kepenulisan ini sudah menurun, padahal Fakultas Tarbiyah adalah dunia tulis menulis juga. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian dan minat Mahasiswa untuk menulis, Mahasiswa cenderung beranggapan bahwa menulis itu tidak penting dan menulis hanyalah kegiatan yang membuang waktu saja.
Jika kita lihat sejarah Minang, kebanyakkan yang menulis adalah dari orang luar contohnya Negara Belanda. Orang luarlah yang menyelamatkan sejarah Minang. Jika kita fikirkan kenapa orang luar yang menyelamatkan? Karena orang luar begitu antusias mencatat seluk-beluk sejarah Minang, mereka tahu menulis itu sangat signifikan. Sejarah tidak bisa dan terus diingat, sewaktu-waktu sejarah akan hilang, dengan bergantinya generasi. Itulah betapa pentingnya menulis.
“Dengan Pelatihan Karya Tulis Ilmiah, Kita Majukan Pendidikan Berbasis Islam, Buka Mata Dunia, Cerdaskan Cara Berfikir.” Inilah tema yang diangkat oleh SMF-T (Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah) yang diketuai oleh Benny Saprima, ia mengatakan pelatihan ini dilakukan untuk menumbuhkan minat menulis mambangkik batang nan tarandam serta pelatihan ini diadakan untuk  menunjang  cara berfikir mahasiswa, membuka cakrawala dunia tentunya. Kegiatan ini diangkat oleh bidang Infokom Fakultas Tarbiyah yang diketuai oleh Alizar Tanjung dan  ketua pelaksana kegiatan ini adalah Irsan Barus. Acara ini diselenggarakan di kampus IAIN IB Padang. Pelatihan kepenulisan karya ilmiah ini diadakan dua kali yaitu pada tanggal 06 dan 20 Juni 2010.
Dalam pelatihan karya tulis ilmiah ini,  pemateri yang didatangkan merupakan orang-orang yang berkualitas dan berpengalaman. Ada tiga orang pemateri yaitu bapak M. Ilham merupakan Dosen  Fakultas ADAB, IAIN IB Padang dan juga pemimpin Jurnal Hasanah, Dr. Erizal Ghani. M.Pd, merupakan Dosen UNP dan  Ade Efdira, S.S, Pengarang buku cerpen “Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu”, penulis Sumbar, mantan ketua FLP sumbar dan sekarang aktif dewan penasehat FLP Sumbar. Kemudian pesertanya berasal dari Mahasiswa Fakultas Tarbiyah sendiri, dari berbagai jurusan yaitu PAI (Pendidikan Agama Islam), PBA (Pendidikan Bahasa Arab), Tadris IPS, Tadris Matematika, Tadris Fisika dan Tadris Bahasa Inggis serta undangan dari selain Fakultas Tarbiyah. Walaupun jumlah pesertanya tidak begitu banyak tapi pelatihan ini berjalan dengan lancar dan baik, pesertanya begitu semangat apalagi diajang diskusi dan surprisenya.
Dalam pelatihan dan diskusi penulis mendapat arahan bahwa “Menulis tidak akan pernah dilakukan apabila kita apatis (tidak mau tahu dengan perkembangan yang ada), jangan tutup kegelapan, nyalakan lilin yang kita punya.” Kepenulisan karya ilmiah, dibutuhkan berbagai referensi dan penelitian. Kegiatan ini dilakukan untuk memperkuat isi. Penulis dan peneliti itu umumnya mendapatkan ide kalau tidak dengan banyak membaca dan berkutat dengan diktat, maka harus banyak berdiskusi dan berjalan.*** (Methia Farina, Mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, bergiat di FLP IAIN IB Padang)

IHYA ULUMUDDIN(IMAM AL GHAZALI)



 Ilmu agama adalah ilmu yang memahami jalan akhirat yang dapat di ketahui dengan akal yang sempurna dan kecerdikkan yang suci bersih. Akal adalah suatu sifat pada manusia yang termulia. Karena dengan akal manusia menerima amanah dari ALLAH dan dengan  akal dapat sampai ke sisi ALLAH SWT. Kegunaan akal adalah untuk mencapai kehasilan  dan kebahagiaan akhirat. Yang termulia dari bagian tubuh manusia adalah hati.

Syariat tanpa hakikat, menjadi bangkai tak bernyawa, hakikat tanpa syariatmenjadi nyawa tak bertubuh. Apabila ilmu telah di hidupkan kembali, syari’at mesti bertemu dengan hakikat, amal shaleh mesti dinyawai oleh iman dan disamping riadhah jasmani (latihan badan) kita adakan riadhah an-nafs atau riadhah al-qalb(latihan jiwa atau latihan hati). Disitulah kita mendapat Haqiqat al hajat (hidup yang sejati)

Segala sessuatu apabila telah tercapai kesempurnaanya, nampaklah dimana  kekurangannaya. “Tanda gading yang tulen adalah retaknya”. Alam ini sendiri menjadilah amat sempurna, karena serba kekurangannya. Tuhan menciptakan alam dengan kesempurnaanya, karena ada kekuranganya. Kalau tidak ada yang cacat niscaya Allah Ta’ala tidak kaya karena tidak menjadikan sesuatu yang bernama cacat.

Faedah pengetahuan ialah membawa kesehatan kepada hati dan jiwa yagn bersambung terus kepada kehidupan abadi.

Atsuri berkata : siapa yang mengenal dirinya , niscaya tidak akan memberikan melarat pujian manusia kepadanya.

Sahl berkata : ilmu itu seluruhnya dunia, yagn akhirat dari ilmu itu ialah berbuat amal pebuatan, amal perbuatan seluruhnya hampa kecuali dengan keikhlasan. Manusia seluruhnya mati selain para ahli ilmu. Para ahli ilmu mabuk selain yang bekerja. Orang yang bekerja selurunya tertipu selain yagn ikhlas. Orang yang ikhlas itu dalam ketakutan sebelum di ketahunya apa kesudahan dari amal perbuatannya itu.


Barang siapa menuntut ilmu diantara ilmu pengetahuan yang menuju kerelaan Allah untuk memperoleh harta benda duniawi maka orang itu tidak akan mencium bau sorga sampai hari kiamat.(abu hurairah)


Dari ibnu abbas r.a. bahwa ibnu abbas berkata : telah bersabbda rasulullah saw : tiap-tiap sesuatu  itu mempunyai alat  dan perkakas. Dan alat bagi orang mukmin adalah akal. Tiap-tiap sesuatu itu mempunyai kendaraan . kendaraan orang mukmin adalah akal. Tiap-tiap sesuatu itu mempunyai tiang. Dan tiang agama adalah akal. Tiap-tiap kaum itu mempunyai tujuan. Dan tujuan dari nama Allah ialah akal. Tiap-tiap kaum itu mempunyai penyeru. Dan yang menyerukan orang-orang yang beribadat adalah akal. Tiap-tiap saudagar itu mempunyai harta kekayaan. Dan harta kekayaan orang yang rajin adalah akal. Tiap-tiap orang dari suatu rumah tangga itu ada yang membelanjainya. Dan yang membelanjai rumah tangga orang shiddiqin(orang-orang yang benar-benar membenarkan agama) ialah akal. Tiap-tiap yang runtuh itu ada bangunanya. Dan bangunan bagi akhirat adalah akal. Tiap-tiap manusia itu mempunyai kesudahan  yang di sandarkan dan di sebut-sebutkan kepadanya. Dan kesudahan bagi shidddiqin yang di sandarkan dan di sebut-sebutkannya ialah akal. tiap-tiap perjalanan itu mempunyai rumah kecil tempat perhentian. Dan rumah kecil tempat perhentiannya bagi mukmin ialah akal.

Bersabda Nabi s.a.w. : orang mukmin yang paling di kasihi  Allah ialah orang yang  tegak berdiri  menaatiNYA, memberi nasehat kepada hambaNya, sempurna akal dan menasehati dirinya. Melihat dia apa yang kurang dan berbuat amalan dia selama hidup, maka menang dan mendapat kemenanganlah dia.

Bersabda nabi s.a.w. : “ yang palling sempurna akal diantara kamu ialah orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling baik perhatiannya tentang apa yang di suruh dan dilarang Allah, meskipun amat kurang berbuat amalan sunat.”


RANCANGAN PENELITIAN



Dalam melakukan penelitian, orang dapat menggunakan berbagai macam metode, dan sejalan dengannya rancangan penelitian yang digunakan juga dapat bermacam-macam. Untuk menyusun sesuatu rancangan penelitian yang baik perlulah berbagai soal dipertimbangkan. Keputusan mengenai rancangan apa yang akan dipakai akan tergantung kepada tujuan penelitian, sifat masalah yang akan digarap, dan berbagai alternative yang  mungkin digunakan. Berdasarkan sifat masalahnya berbagai macam rancangan dapat digolongkan kebeberapa macam kategori yaitu:
A.    Rancangan Penelitian Sejarah
Tujuan penelitian sejarah ini adalah untuk membuat rekontstruksi masa  lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulakan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensintesiskan buku-buku untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.[1]
Penelitian sejarah atau konsep historis adalah suatu penelitian yang berusaha menetapkan fakta dan mencapai kesimpulan mengenai hal-hal yang telah berlalu. (Ary, et all.,1979). Jadi, dapat diketahui bahwa penelitian sejarah mencoba menyimpulkan segala fakta yang terjadi di masa lampau. Dalam hal ini, para pakar sejarah mencoba mendeskripsikan (mencari, mengevaluasi, dan menafsirkan) berbagai bukti yang dapat dijadikan landasan untuk mengkaji masa lalu. Sehingga diperoleh suatu pengetahuan tentang bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi pada masa lalu, serta bagaimana proses pada masa lalu itu berubah menjadi masa kini. Ubaidat, et all (1987)  mengatakan bahwa peneliti mengumpulkan berbagai fakta dan data melalui kajian terhadap dokumen dan berbagai situs peninggalan yang ada. Berarti dapat dipahami bahwa penelitian sejarah menurut pendapat ini adalah memanfaatkan berbagai dokumen dan situs untuk mengumpulkan fakta dan data untuk dikaji. Sedangkan menurut Nazir (1988), penelitian lebih menekankan pada aspek waktu  terjadinya fenomena yang diselidiki.
Menurutnya banyak ahli yang mempersamakan metode sejarah ini dengan metode dokumenter, karena pada metode sejarah banyak juga terdapat data- data yang didasarkan pada dokumen-dokumen. Akan tetapi, dia berpendapat bahwa ad perbedaan antara keduanya, karena dokumenter bisa menyimpan data masa kini, tidak hanya data masa lalu.Dalam konteks bahasa dan sastra Arab, metode atau rancangan ini dapat digunakan untuk mengkaji munculnya beragam dialek Arab pada berbagai suku yang ada,  mengkaji naskah Arab kuno atau mengkaji naskah sastra Arab klasik dan mengkaji jenis dan motif otografi Arab pada situs-situs makam para wali songo maupun makam-makam tokoh penyebar agama Islam pada masa lalu. Dalam pembelajaran bahasa Arab tema yang dapat diangkat adalah penelitian tentang strategi pembelajaran bahasa Arab yang khas digunakan oleh guru-guru pada masa pra kemerdekaan.
1)      Ciri-Ciri penelitian Sejarah
Menurut Nazir (1988), rancangan atau metode sejarah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Metode ini lebih terfokus pada data yang diamati orang lain di masa-masa lampau.
b.      Data yang digunakan lebih banyak bersumber pada data primer, karena bobot data harus dikritik, baik secara internal maupun eksternal.
c.       Metode sejarah mencari data secara lebih tuntas serta menggali informasi yang lebih tua yang tidak diterbitkan ataupun yang tidak dikutip dalam bahan acuan yang standar.
d.      Sumber data harus dinyatakan secara definitif, baik nama pengarang, tempat, dan waktu. Sumber tersebut harus diuji kebenaran dan keasliannya. Fakta harus dibenarkan oleh sekurang-kurangnya dua saksi yang tidak pernah berhubungan.[2]

2)      Sumber Primer dan Sekunder
Oleh karena objek penelitian sejarah adalah peristiwa atau kehidupan masyarakat pada masyarakat masa lampau maka yang menjadi sumber informasi harus mempunyai karakteristik yang berbeda dengan metode penelitian laninya. Beberapa sumber tersebut diantaranya sebagai berikut :
1.      Sumber-sumber primer, yaitu data yang diperoleh dari cerita para pelaku peristiwa itu sendiri, dan atau sanksi mata yang mengalami atau mengetahui peristiwa tersebut. Contoh sumber-sumber primer lainnya yang sering menjadi perhatian para peneliti di lapangan atau situs di antaranya seperti, dokumen asli, relief dan benda-benda peninggalan masyarakat zaman lampau.
2.      Sumber informasi sekunder, yaitu informasi yang diperoleh dari sumber lain  yang mungkin tidak berhubungan langsung dengan peristiwa tersebut. Sumber sekunder ini dapat ini dapat berupa para ahli yang mendalami atau mengetahui peristiwa yang dibahas dan dari buku atauu catatan yang berkaitan dengan peristiwa, buku sejarah, artikel dalam ensiklopedia dan review penelitian.[3]

3)      Jenis Penelitian Sejarah
Penelitian sejarah dapat dibagi empat jenis, yaitu penelitian sejarah komparatif, penelitian yuridis, penelitian biografis, dan penelitian bibliografis (Nazir,1988).
1.      Penelitian sejarah komparatif
Adalah suatu penelitian yang mencoba membandingkan berbagai variabel dari fenomena sejenis pada suatu periode di masa lampau. Misalnya, peneliti membandingkan sistem pembelajaran bahasa Arab di Jawa dan di malaysia pada masa kerajaan Mataram.
2.      Penelitian Yuridis
Adalah penelitian yang mengkaji perihal hukum (formal maupun non-formal) pada masa lalu. Jadi, penelitian Yuridis lebih menitikberatkan pada aspek hukum yang akan diteliti.
3.      Penelitian Biografis
Adalah suatu penelitian yang mengkaji kehidupan seseorang dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam penelitian ini yang sering dikaji adalah watak, sifat, pengaruh orang tersebut terhadap lingkungan masyarakatnya, dan lain-lain. Sumber yang dapat diakses adalah surat-surat pribadi, buku harian, hasil karya, karangan-karangan atau catatan temannya tentang figur seorang yang diteliti.
4.      Penelitian Bibliografis
Adalah suatu penelitian untuk mencari, mengkaji, menganalisis, membuat interpretasi dan generalisasi dari fakta-fakta yang merupakan pendapat para ahli dalam suatu masalah (Nazir,1988).

4)      Kritik Terhadap Metode sejarah
Ada dua hal pokok yang perlu dikritisi agar hasil yang diperoleh sahih adanya:
1. Kritik eksternal, yaitu peneliti harus mempertanyakan keaslian sumber    atau bukti yang diteliti.
2. Kritik internal adalah kritik yang lebih menekankan pada evaluasi terhadap nilai atau isi bukti sejarah, misalnya apakah dokumen itu memberikan laporan yang sebenarnya tentang kejadian itu. ( Ary, et all., 1979 dan Nazir, 1988).[4]

5)      Langkah-langkah penelitian sejarah[5]
1.      Menetukan permasalahan penelitian yang diharapkan mempunyai manfaat ganda, yaitu bermanfaat bagi masyarakat dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
2.      Menyatakan tujuan penelitian, hypothesis and research questions yang akan memberikan arah dan focus penelitian.
3.      Mengumpulkan data tersmasuk di dalamnya menetapkan populasi, besarnya sampel, dan metode pengumpulan data. Di lapangan peneliti juga perlu mendokumentasi secara sistematis tentang sumber data termasuk primer atau sekunder. Jika perlu peneliti dapat menggunakan sistem kartu untuk mencatat informasi, topic dan sumber data, sehingga peneliti dapat lebih mudah mengatur dan menggunakan sewaktu-waktu diperlukan.
4.      Evaluasi data dengan menggunakan kritik eksternal maupun kritik internal.
5.      Melaporkan hasil penelitian kepada masyarakat, termasuk melengkapi komponen-komponen penelitian dan mengkomunikasikan ke dalam jurnal ilmu pengetahuan.

B.     Rancangan Penelitian Deskriptif
Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan mengiterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Best, 1982:119). Penelitian ini juga sering disebut noneksperimen. Karena penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol dan memanipulasi variable penelitian. Dengan metode deskriptif, peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variable, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal (West, 1982). [6]

Tujuan penelitian Deskriptif adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secra sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.

Macam-Macam Rancangan Deskriptif
1.      Rancangan Studi Kasus
Menurut Bogdan dan Biklen (1982), studi kasus (case study) merupakan suatu rancangan penelitian yang memfokuskan pada suatu unit, seorang anak, suatu kelompok kecil, suatu sekolah atau kelas, suatu komunitas tertentu, dan suatu perisriwa. Dilihat dari statusnya sebagai studi kasus, maka fenomena yang diteliti merupakan fenomena yang khas, unik, dan kasuistik. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas ini akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Nazir, 1988).

Beberapa Contoh Tentang Penelitian Studi Kasus dalam Pembelajaran Bahasa Arab:
1.      Pembelajaran Baca Tulis Huruf Alquran di Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan oleh Moh. Ainin.
2.      Metode Klasis dalam pembelajaran Tatabahasa Arab di Pondok Pesantren Pembinaan Pendidikan Agama Islam Desa Ketapang kec. Kepanjen Kab. Malang oleh Moh. Ainin.

Keunggulan dan Kelemahan Studi Kasus
a.       Kajian dilakukan secara mendalam dan utuh dalam totalitas lingkungan yang diteliti, sehingga informasi yang dihasilkan lebih komprehensif dan tuntas,
b.      Hasil penelitian studi kasus memberikan hipotesis-hipotesis untuk penelitian lanjutan,
c.       Kajian yang intensif ini memungkinkan ditemukan suatu hubungan-hubungan yang tidak terduga sebelumnya,
d.      Kebenaran informasi dapat ditukar ke subjek lain yang memiliki karekterisstik yang sama.

Kelemahan Studi Kasus
a.       Tidak mempunyai keluasan
b.      Sulit dibuat inferensi kepada populasi lain
c.       Unsur subjektif peneliti ikut mempengaruhi penelitian, sehingga memungkinkan dibesar-besarkannya kekhasan yang ada.
d.      Objektifitas terhadap interpretasi hasil juga masih dipertanyakan.

2.      Survei
Survei adalah salah satu bentuk rancangan deskriptif yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang variabel dan bukan informasi tentang individu ( Ary, et all., 1979). Menurut nazir (1988), metode survei bertujuan untuk memperoleh fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, politik dari suatu kelompok atau daerah. Menurut Ubaidat, et all., (1987), yang termasuk kategori penelitian survei adalah survei sekolah, survei sosial, meneliti pendapat masyarakat, analisa pekerjaan, dan  analisis isi.

3.      Studi perkembangan
Studi perkembangan adalah salah satu studi yang memberikan informasi penting bagi para peneliti di bidang pendidikan mengenai perkembangan intelektual, emosional, dan perkembangan sosial siswa. Melalui studi perkembangan ini peneliti dapat memperoleh informasi mengenai progresifitas kemampuan belajar siswa, perkembangan kualitas pembelajaran. Contoh penelitian ini adalah mendeskripsikan perkembangan bahasa anak/ siswa ( perkembangan penguasaan fonem, morfem, kata, tatabahasa, dan perkembangan keterampilan berbahasanya).

Teknik-Teknik dalam Studi Perkembangan
a.       Longitudinal
Dalam teknik ini, sampel yang sama dipelajari sejak jangka waktu tertentu ( Ary, et all., 1979). Menurut Ubaidat et all., (1987), pada teknik ini peneliti dapat memilih sekelompok dari individu-individu dan mengikuti perkembangannya dalam usia yang berbeda. Selanjutnya Ubaidat, et all., (1987) memberi contoh sebagai berikut. Apabila peneliti akan mengkaji perkembangan bahasa anak pada usia antara dua tahun sampai lima tahun, maka dia melakukan hal-hal berikut:- memilih beberapa anak yang berusia dua tahun
-          Mengamati kosa kata yang dimiliki oleh anak pada usia tersebut
-          Melakukan pengamatan secara kontinyu terhadap perkembangan bahasa mereka sampai enam bulan dan setahun, dan demikian seterusnya sampai anak tersebut berusia lima tahun.
-          Mencatat hasil pengamatan dalam tabel tertentu yang berisi tentang usia anak dan jumlah kata yang dikuasai anak.
-          Menyimpulkan hasil temuan

Keunggulan teknik longitudinal:
Metode ini menghasilkan suatu temuan yang detail, mendalam, dan dilakukan secara intensif. Sementara itu, kelemahannya adalah metode ini terbatas pada sekelompok kecil, membutuhkan waktu lama, apabila kebetulan sampel yang dipilih itu ternyata jelek, maka tidak ada sesuatu pun yang dilakukan untuk memperbaikinya, dan metode ini menuntut kerjasama yang intens dengan subjeknya dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, mengikuti subjek yang selalu berpindah-pindah tempat merupakan pekerjaan yang sulit dan membosankan.

b.      Metode cross- sectional
Metode ini meneliti kelompok dari berbagai usia dan tingkatan pada saat yang sama (Ary, et all., 1979). Apabila peneliti akan mengkaji perkembangan bahasa anak antara dua tahun, lima tahun, dan enam tahun, maka langkah-langkah yang harus dilakukan:
-          Memilih kelompok anak usia dua tahun
-          Memilih kelompok anak usia tiga tahun, dan kelompok yang lain (anak usia empat tahun, dan kelompok anak usia lima tahun).
-          Mengukur atau menghitung jumlah kata yang dikuasai oleh masing-masing kelompok usia dan menyusunnya ke dalam tabel.
-          Membuat kesimpulan tentang perkembangan bahasa anak dari usia dua tahun sampai usia lima tahun.
Kelebihan yang dimiliki oleh metode ini adalah sampel yang diteliti dalam metode ini dari berbagai tingkatan dan cukup besar, serta waktu yang dibutuhkan dalam metode ini relatif singkat. Sedangkan kelemahannya adalah perbedaan yang secara kebetulan ada di antara sampel-sampel itu mungkin dapat membuat hasil penelitian menjadi bias, kemungkinan ada variabel luar yang menimbulkan perbedaan di antara populasi-populasi yang ditarik sampelnya, karena subjek terdiri dari berbagai tingkatan dan waktu yang digunakan relatif singkat, maka kedetailan dan kedalaman hasil dalam metode ini masih kurang.

4.      Studi korelasi
Studi korelasi merupakan salah satu teknik analisis data menguji hipotesis. Menurut Ary, et all.(1979), studi korelasi ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menetapkan besarnya hubungan antara variabel-variabel.
Variabel dalam rancangan korelasional ini ada yang disebut dengan variabel bebas ( variabel X) dan ada yang disebut dengan variabel terikat ( variabel Y). Ciri utama variabel X adalah muncul dahulu sebagai penyebab, sedangkan variabel Y muncul kemudian sebagai akibat. Dilihat dari arah hubungan, dikenal dua macam korelasi, korelasi positif dan korelasi negatif. Korelasi positif apabila pertambahan dan atau penurunan harga X searah dengan Y, dan korelasi negatif apabila pertambahan dan penurunan harga X berlawanan arah dengan Y ( Sungkowo, 1994). Kepositifan hubungan tersebut ditandai oleh angka korelasi yang disebut dengan koefisien korelasi. Di antara rumus korelasi yang dapat dijadikan pijakan dalam menganalisis data adalah korelasi product moment dari person.[7]


Langkah dalam melaksanakan penelitian deskriptif
Penelitian dengan metode deskriptif mempunyai langkah penting seperti berikut:
1.      Mengidentifikasi adanya permasalahan yang signifikan untuk dipecahkan melalui metode deskriptif.
2.      Membatasi dan merumuskan permasalahan secara jelas.
3.      Menentukan tujuan dan manfaat penelitian.
4.      Melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan permasalahan.
5.      Menentukan kerangka berpikir, dan pertanyaan penelitian dan atau hipotesis.
6.      Mendesain metode penelitian yang hendak digunakan termasuk dalam hal ini menentukan populasi, sampel, teknik smpling, menentukan instrument pengumpul data, dan menganalisis data.
7.      Mengumpulkan, mengorganisasi, dan menganalisis data dengan menggunakan teknik statistika yang relevan.
8.      Membuat laporan penelitian.[8]


C.    Rancangan Penelitian Kausal Komparatif
Penelitian dengan rancangan kausal komparatif bertujuan untuk mengungkapkan kemungkinan adanya hubungan sebab akibat antar variabel tanpa manipulasi suatu variabel. Penelitian dengan rancangan ini dilaksanakan dengan cara melakukan pengamatan terhadap variabel akibat terlebih dahulu baru kemudian melakukan penelusuran varibel-variabel yang diduga sebagai penyebabnya (Degeng, 1998).[9]
Metode penelitian yang erat dengan penelitian korelasi adalah penelitian causal comparative atau hubungan sebab akibat. Di dalam mengelompokan jenis penelitian ini, ada para ahli yang memasukan penelitian kausal komparatif sebagai penelitian deskriptif. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa penelitian tersebut berusaha menggambarkan keadaan yang telah terjadi. Sementara itu ada pula peneliti yang memasukan penelitian kausala komparatif sebagai penelitian expostfacto (Ary dkk., 1985), denga alasan bahwa dalam penelitian itu, variabel juga telah terjadi dan peneliti tidak berusaha memanipulasi atau mengontrolnya. Pada penelitian kausal komparatif, variabel penyebab dan variabel yang dipengaruhi telah terjadi dan diselidiki lagi dengan cara merunut kembali.[10]

D.    Rancangan Penelitian Eksperimen
Rancangan eksperimen merupakan salah satu  rancangan penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan sebab- akibat antar variabel dengan melakukan manipulasi variabel bebas ( Degeng, 1998). Jadi dalam eksperimen, ada dua variabel yang perlu diperhatikan, yaitu varibel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dimanipulasi atau diubah oleh peneliti, sedangkan variabel terikat adalah suatu variabel sebagai akibat perubahan. Rancangan eksperimen ini bersifat validation atau menguji, yaitu menguji pengaruh satu atau lebih variabel terhadap variabel lain ( Sukmadinata, 2005). Menurut Nazir (1988), eksperimen berarti observasi di bawah kondisi buatan  ( artificial condition). Artinya, kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh peneliti. Dengan demikian, penelitian eksperimen dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol. Dibandingkan dengan rancangan korelasi, rancangan eksperimen ini merupakan rancangan penelitian yang memberikan pengujian hipotesis yang paling ketat dan cermat (Ibnu, et all, 2003). Dalam penelitian eksperimen ini, subjek dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ( Ubaidat, et all, 1987).
Kelompok eksperimen adalah kelompok yang dikenai perlakuan tertentu, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak dikenai perlakuan. Misalnya, apabila kita ingin mengetahui pengaruh penggunaan pendekatan komunikatif terhadap kemampuan berbicara siswa SMU, maka siswa yang dijadikan sampel penelitian yang dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama diberi pembelajaran bahasa Arab dengan pendekatan komunikatif ( diberi perlakuan) dan kelompok ini disebut sebagai kelompok eksperimen. Kelompok kedua diberi pembelajaran bahasaArab dengan pendekatan non-komunikatif ( pendekatan tradisional/ tatabahasa/ terjemah) dan kelompok kedua ini disebut kelompok kontrol. Setelah beberapa bulan, kedua kelompok ini dites kemampuan berbicaranya. Hasil dari tes kedua kelompok tersebut dapat diketahhui apakah siswa yang diberi pelajaran dengan pendekatan komunikatif ini kemampuan berbicaranya lebih baik ( secara signifikan) daripada siswa yang diajar dengan pendekatan tradisional atau sebaliknya. Menurut Ary, et all. (1979), ada tiga ciri utama dalam rancangan eksperimen, sebagai berikut:
a.       Suatu variabel bebas dimanipulasi.
b.      Semua variabel lainnya, kecuali variabel bebas dipertahankan tetap.
c.       Pengaruh manipulasi variabel bebas terhadap variabel terikat diamati.

Jenis Rancangan Eksperimen
Yaitu eksperimen absolut/ eksperimen sungguhan ( true experimental), dan eksperimen semu ( quasi experimental) ( Nazir, 1988). Ibnu, et all. (2003) mengemukakan jenis rancangan eksperimen, yaitu rancangan pra- eksperimen, eksperimen semu, dan eksperimen sungguhan.
1). Rancangan pra-eksperimen digunakan untuk mengungkapkan hubungan sebab-akibat hanya dengan cara melibatkan satu kelompok subjek sehingga tidak ada kontrol yang tetap terhadap variabel ekstra.
2). Rancangan eksperimen murni ( true experimental) merupakan suatu rancangan eksperimen yang mengikuti prosedur dan memenuhi syarat-syarat eksperimen. Prosedur dan syarat-syarat yang dimaksud terutama berkenaan dengan pengontrolan variabel, ada kelompok kontrol, pemberian perlakuan atau manipulasi kegiatan, dan pengujian hasil ( Sukmadinata, 2005). Menurut Ibnu et all. 2003, ada beberapa jenis rancangan penelitian yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini, yaitu:
·         Pascates dengan kelompok eksperimen dan kontrol yang diacak.
·         Prates dan pascates dengan kelompok eksperimen dan kontrol yang diacak.
·         Gabungan keduanya ( rancangan solomon).
3). Rancangan Eksperimen Semu ( Quasi experimental designs) merupakan salah satu bentuk rancangan eksperimen yang dimaksud untuk mengungkapkan hubungan sebab-akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimen ( Ibnu, et all. 2003). Dibandingkan dengan kelompok pra-eksperimen, rancangan ini lebih tepat dan cermat dalam mendeskripsikan hubungan sebab- akibat. Menurut Sukmadinata (2005), rancangan ini tidak jauh berbeda dengan rancangan eksperimen murni, karena keduanya memiliki kelompok kontrol dan eksperimen. Akan tetapi, ada perbedaan dalam hal pengendalian variabel. Apabila dalam rancangan eksperimen murni semua variabel yang mempengaruhi dapat dikendalikan, tetapi dalam rancangan eksperimen semu ini hanya satu variabel saja yang dapat dikontrol, yakni variabel yang paling dominan.[11]




[1] Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2010),  h. 73
[2] Moh. Ainin, Metodologi Penelitian Bahasa Arab, (Malang: Hilal Pustaka, 2010), Cet ke-2, h. 68-69

[3] Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan,(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), h. 205
[4] Moh. Ainin. Op.Cit., h. 70
[5] Sukardi, Op.cit., h. 205

[6] Sukardi. Op.Cit., h. 157
[7] Moh. Ainin. Op.Cit., h. 71-72
[8] Sukardi. Op.Cit., h. 158-159
[9] Moh. Ainin. Op.Cit., h. 81-82
[10] Sukardi. Op.Cit., h. 171
[11] Moh. Ainin. Op.Cit., h. 87-92


DAFTAR PUSTAKA

Ainin, Moh. 2010. Metodologi Penelitian Bahasa Arab. Malang: Hilal.

Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Suryabrata, Sumardi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.