Hoi…alah
tu, jan mangecek jo, aden labiah tau dari kalian leh. Sasek yang kalian
sampaian. Jan mentang-mentang kalian mahasiswa, aden kalian hinoan.
Mak
inah berbicara tiada henti. Kakinya mondar-mandir kesana-sini. Mulai dari
pejalan kaki, sepeda motor, bahkan mobil avanza yang lewat di depan Mak Inah,
terheran-heran mendengar ucapan Mak Inah. Bagi tetangga Mak Inah, ocehan Mak
Inah telah biasa mereka dengarkan.
Para
mahasiswa yang sedang KKN di desa sukaramai, mengadakan pesantren Ramadhan di
mesjid al-Muttaqin. Suara mahasiswa yang sedang membimbing anak-anak sekolah
terdengar jelas di balik dinding rumahku.
“Kalualah
kalian dari rumah sajik tu, apo yang kalian ajaan tu!” (Suara Mak
Inah meninggi)
Mak
Inah terus meracau, kaki Mak Inah melangkah. Aku perhatikan langkah Mak Inah.
Aku berkata pada Ibuku, “Bu…Mak Inah pergi ke rumah sajik. Aku khawatir
Mak Inah buat kegaduhan di sana.”
“Iya
La, ibu juga melihatnya, panggillah Nek Siti di dapur La, tadi ibu lihat Nek
Siti memasak.”
“Baik,
Bu!”
Aku
berlari, memanggil Nek Siti.
“Nek,nek…Mak
Inah pergi ke rumah sajik Nek! Tadi Mak Inah berbicara tidak
karuan. Nek ayo kita susul Mak Inah Nek.” Ajakku.
Nek
Siti langsung memegang tanganku. Kurasakan tangan Nek Siti yang lembut. Daging
yang hanya tinggal pembalut tulang. Aku berjalan dengan Nek Siti. Mataku mulai
memerah. Ada cairan bening yang keluar dari mataku. Aku tidak tahan, melihat
Nek Siti berjalan tergopoh-gopoh.
“Itu
Mak Inah, Nek! Hampir memasuki pagar rumah sajik.” Suaraku serak.
Nek
Siti terus berjalan. Mungkin Nek Siti tidak mendengar perkataanku. Dari kejauhan
aku lihat Mak Inah berjalan mendekati kami. Alhamdulillah, Mak Inah tidak buat
keonaran di mesjid. Mak inah semakin dekat dengan kami, pohon durian yang
tinggi meneduhi kepala kami. Nek Siti menyuruh Mak Inah pulang. Aku lega. Tidak
ada keonaran yang dibuat Mak Inah.
***
Dua
puluh tahun lalu, Mak Inah seorang perempuan yang cantik, pintar dan baik hati.
Ibu bercerita padaku. Ketika aku masih bayi Mak Inah sering membantu ibu.
Pakaian kotor ibuku ketika bersalin, Mak Inah lah yang membantu mencucikan kain
ibu, bahkan popok, bajuku, Mak Inah juga yang membantu mencuci.
Setelah
Mak Inah menikah pada umur 30 tahun. Kata ibu, Mak Inah sangat bahagia sekali.
Senyuman selalu terpancar di wajah Mak Inah. Nek Siti juga bahagia melihat
anaknya itu. Nyanyian lagu minang sampai terdengar ke rumah kami. Kata ibu,
ketika itu aku berumur 5 tahun. Aku belum mengerti apa-apa. Aku penasaran sosok
Mak Inah yang anggun, yang diceritakan ibu.
Ternyata kejadian tragis itulah yang membuat
Mak Inah berubah total seperti ini. Suami Mak Inah bukanlah orang yang
baik-baik. Setelah Mak Inah dipersunting oleh Sutan kehidupan pada mulanya berlangsung
penuh kebahagiaan. Rumah tangga yang dibina Mak Inah membuat orang lain iri akan kebahagiaan
mereka. Termasuk Surti yang begitu iri melihat Mak Inah dan Sutan.
Kecintaan
Mak Inah kepada Sutan telah mempengaruhi fikiran dan hatinya. Semua harta
kekayaan, sertifikat rumah, sawah, parak diserahkan ke Sutan.
“Inah,
jangan kau berikan semuanya kepada suamimu. Biarkanlah suamimu bekerja.”
“Mak,
Inah rela harta Inah samo Uda Sutan, Uda Sutan kan suami Inah, Mak. Inah
indak inyo Uda Sutan sakik gara-gara dek karajo, bapikia
mancari pitih.”
Nek
Siti hanya diam mendengar perkataan anak semata wayangnya. Suatu kekhawatiran
membuat Nek Siti takut. Karena Mak Inah terlau cinta pada suaminya.
sampai-sampai Mak Inah lupa salat.
***
“Dari
ma uda? Jam duo baleh malam baru pulang?”
“Uda
dari rumah kawan, Nah.”
“Apo
yang uda minum ko, kok muluik uda baun tuak[1]?”
“Ah…kau
ndak usah tau, iko urusan Uda!” bentak Sutan.
Mak
Inah, membiarkan suaminya mendengkur. Hatinya sakit baru empat bulan rumah
tangga yang dibinanya, cobaan yang maha dahsyat terus berlanjut. Sampai-sampai,
terdengar kabar bahwa suami Mak Inah selingkuh dengan Surti.
Karena
kecintaan Mak Inah kepada Sutan. Ia simpan kepedihan hatinya. Suatu peristiwa
yang membuat Mak Inah tidak tahan lagi. Semua sertifikat rumah, sawah, parak,
yang Mak Inah miliki, dijual oleh suaminya sendiri. Jejak sutan tidak ditemukan
lagi, Surti pun tidak ada di desa Sukaramai lagi. Terdengar kabar mereka pergi
keluar negeri membawa harta Mak Inah.
***
Aku
kasihan meliahat Mak Inah. Rasa cinta, kesetiaan yang ia berikan kepada
suaminya, membuat ia menderita seperti ini. Seharusnya cinta dan kesetiaan yang
dimiliki Mak Inah mendapat kebahagiaan yang tak ternilai. Mungkin ini adalah
jalan dan terbaik untuk Mak Inah.
“Bu,
Sutan itu bagaimana sekarang?”
“Kabar
terakhir ibu dengar, Sutan dan Surti kecelakaan dengan mobil baru mereka, dan
mereka meninggal seketika itu, tidak ada yang tahu dimana lokasi mereka
kecelakaan. Mendengar berita itu Mak Inah tidak waras lagi.”
“Ya
Tuhan, cobaan yang bertubi-tubi menimpa Mak Inah, kesadaran dan kesehatan akal
Mak Inah tidak ada lagi, laki-laki biadab, rasakanlah pembalasan di akhirat
kelak.”
“Hus,
tidak baik begitu Naila, seharusnya kita mengambil pelajaran yang telah
terjadi. Jadikan itu sebagai cambuk dan pedoman untuk masa depan, ibu berpesan
kepadamu ‘cintailah orang yang kamu cintai dengan sewajarnya. Karena bisa
jadi, suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah
orang yang kamu benci dengan sewajarnya saja, karena bisa jadi suatu saat nanti
ia akan menjadi orang yang kamu cintai’[2] ingat
ya Naila pesan ibu.”
“Insya
Allah, Bu, La akan selalu mengingat pituah ibu dan tidak berlebihan dalam
berbagai hal.”
***
Tiga
minggu sudah aku di kampung, dan aku kembali lagi ke Padang. Perkuliahan sudah
dimulai. Sehari sebelum aku berangkat ke Padang. Aku mengunjungi gubuk tua
dibelakang rumahku. Gubuk tua itu diisi oleh Nek Siti dan Mak Inah. Dulunya
mereka tinggal di rumah yang mewah, sawah yang luas, parak yang subur. Tempat
yang seharusnya tidak layak mereka huni sekarang terpaksa mereka menetap sampai
akhir hayat.
Kulihat
Mak Inah sedang memandang foto perkawinannya. Aku melihat wajah Mak Inah berlesung
pipit dan berseri bersama Sutan. Sutan sangat gagah dengan dagu dan alis mata
yang tebal.
Mataku
berbinar melihat Nek Siti yang harus menanggung semuanya, anak semata wayangnya
yang diimpikan akan memiliki keturunan. Aku masih ingat ketika ibu bercerita,
Mak Inah keguguran ketika mendengar beritas kecelakaan tragis yang dialami oleh
suaminya. Seketika itu Mak Inah pingsan dan ingatannya pun tidak sempurna lagi.
Cobaan yang bertubi-tubi mereka dapatkan. Setiap aku ke gubuk mereka Nek Siti
selalu tersenyum padaku, seolah tidak ada masalah yang diperlihatkannya padaku.
Akupun ikut tersenyum seolah aku tidak mengetahui penderitaan yang mereka
alami. *** Padang, 2010 (Terbit di Koran Singgalang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar