MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Kamis, 10 Mei 2012

Cerpen Mak Inah

Oleh : Methia Farina

Hoi…alah tu, jan mangecek jo, aden labiah tau dari kalian leh. Sasek yang kalian sampaian. Jan mentang-mentang kalian mahasiswa, aden kalian hinoan.
Mak inah berbicara tiada henti. Kakinya mondar-mandir kesana-sini. Mulai dari pejalan kaki, sepeda motor, bahkan mobil avanza yang lewat di depan Mak Inah, terheran-heran mendengar ucapan Mak Inah. Bagi tetangga Mak Inah, ocehan Mak Inah telah biasa mereka dengarkan.
Para mahasiswa yang sedang KKN di desa sukaramai, mengadakan pesantren Ramadhan di mesjid al-Muttaqin. Suara mahasiswa yang sedang membimbing anak-anak sekolah terdengar jelas di balik dinding rumahku.
“Kalualah kalian dari rumah sajik tu, apo yang kalian ajaan tu!” (Suara Mak Inah meninggi)
Mak Inah terus meracau, kaki Mak Inah melangkah. Aku perhatikan langkah Mak Inah. Aku berkata pada Ibuku, “Bu…Mak Inah pergi ke rumah sajik. Aku khawatir Mak Inah buat kegaduhan di sana.”
“Iya La, ibu juga melihatnya, panggillah Nek Siti di dapur La, tadi ibu lihat Nek Siti memasak.”
“Baik, Bu!”
Aku berlari, memanggil Nek Siti.
“Nek,nek…Mak Inah pergi ke rumah sajik Nek! Tadi Mak Inah berbicara tidak karuan. Nek ayo kita susul Mak Inah Nek.” Ajakku.
Nek Siti langsung memegang tanganku. Kurasakan tangan Nek Siti yang lembut. Daging yang hanya tinggal pembalut tulang. Aku berjalan dengan Nek Siti. Mataku mulai memerah. Ada cairan bening yang keluar dari mataku. Aku tidak tahan, melihat Nek Siti berjalan tergopoh-gopoh.
“Itu Mak Inah, Nek! Hampir memasuki pagar rumah sajik.” Suaraku serak.
Nek Siti terus berjalan. Mungkin Nek Siti tidak mendengar perkataanku. Dari kejauhan aku lihat Mak Inah berjalan mendekati kami. Alhamdulillah, Mak Inah tidak buat keonaran di mesjid. Mak inah semakin dekat dengan kami, pohon durian yang tinggi meneduhi kepala kami. Nek Siti menyuruh Mak Inah pulang. Aku lega. Tidak ada keonaran yang dibuat Mak Inah.
***
Dua puluh tahun lalu, Mak Inah seorang perempuan yang cantik, pintar dan baik hati. Ibu bercerita padaku. Ketika aku masih bayi Mak Inah sering membantu ibu. Pakaian kotor ibuku ketika bersalin, Mak Inah lah yang membantu mencucikan kain ibu, bahkan popok, bajuku, Mak Inah juga yang membantu mencuci.
Setelah Mak Inah menikah pada umur 30 tahun. Kata ibu, Mak Inah sangat bahagia sekali. Senyuman selalu terpancar di wajah Mak Inah. Nek Siti juga bahagia melihat anaknya itu. Nyanyian lagu minang sampai terdengar ke rumah kami. Kata ibu, ketika itu aku berumur 5 tahun. Aku belum mengerti apa-apa. Aku penasaran sosok Mak Inah yang anggun, yang diceritakan ibu.
 Ternyata kejadian tragis itulah yang membuat Mak Inah berubah total seperti ini. Suami Mak Inah bukanlah orang yang baik-baik. Setelah Mak Inah dipersunting oleh Sutan kehidupan pada mulanya berlangsung penuh kebahagiaan. Rumah tangga yang dibina Mak Inah  membuat orang lain iri akan kebahagiaan mereka. Termasuk Surti yang begitu iri melihat Mak Inah dan Sutan.
Kecintaan Mak Inah kepada Sutan telah mempengaruhi fikiran dan hatinya. Semua harta kekayaan, sertifikat rumah, sawah, parak diserahkan ke Sutan.
“Inah, jangan kau berikan semuanya kepada suamimu. Biarkanlah suamimu bekerja.”
“Mak, Inah rela harta Inah samo Uda Sutan, Uda Sutan kan suami Inah, Mak. Inah indak inyo Uda Sutan sakik gara-gara dek karajo, bapikia mancari pitih.”
Nek Siti hanya diam mendengar perkataan anak semata wayangnya. Suatu kekhawatiran membuat Nek Siti takut. Karena Mak Inah terlau cinta pada suaminya. sampai-sampai Mak Inah lupa salat.
***
“Dari ma uda? Jam duo baleh malam baru pulang?”
“Uda dari rumah kawan, Nah.”
Apo yang uda minum ko, kok muluik uda baun tuak[1]?”
Ah…kau ndak usah tau, iko urusan Uda!” bentak Sutan.
Mak Inah, membiarkan suaminya mendengkur. Hatinya sakit baru empat bulan rumah tangga yang dibinanya, cobaan yang maha dahsyat terus berlanjut. Sampai-sampai, terdengar kabar bahwa suami Mak Inah selingkuh dengan Surti.
Karena kecintaan Mak Inah kepada Sutan. Ia simpan kepedihan hatinya. Suatu peristiwa yang membuat Mak Inah tidak tahan lagi. Semua sertifikat rumah, sawah, parak, yang Mak Inah miliki, dijual oleh suaminya sendiri. Jejak sutan tidak ditemukan lagi, Surti pun tidak ada di desa Sukaramai lagi. Terdengar kabar mereka pergi keluar negeri membawa harta Mak Inah.
***
Aku kasihan meliahat Mak Inah. Rasa cinta, kesetiaan yang ia berikan kepada suaminya, membuat ia menderita seperti ini. Seharusnya cinta dan kesetiaan yang dimiliki Mak Inah mendapat kebahagiaan yang tak ternilai. Mungkin ini adalah jalan dan terbaik untuk Mak Inah.
“Bu, Sutan itu bagaimana sekarang?”
“Kabar terakhir ibu dengar, Sutan dan Surti kecelakaan dengan mobil baru mereka, dan mereka meninggal seketika itu, tidak ada yang tahu dimana lokasi mereka kecelakaan. Mendengar berita itu Mak Inah tidak waras lagi.”
“Ya Tuhan, cobaan yang bertubi-tubi menimpa Mak Inah, kesadaran dan kesehatan akal Mak Inah tidak ada lagi, laki-laki biadab, rasakanlah pembalasan di akhirat kelak.”
“Hus, tidak baik begitu Naila, seharusnya kita mengambil pelajaran yang telah terjadi. Jadikan itu sebagai cambuk dan pedoman untuk masa depan, ibu berpesan kepadamu ‘cintailah orang yang kamu cintai dengan sewajarnya. Karena bisa jadi, suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci dengan sewajarnya saja, karena bisa jadi suatu saat nanti ia akan menjadi orang yang  kamu cintai’[2] ingat ya Naila pesan ibu.”
“Insya Allah, Bu, La akan selalu mengingat pituah ibu dan tidak berlebihan dalam berbagai hal.”
***
Tiga minggu sudah aku di kampung, dan aku kembali lagi ke Padang. Perkuliahan sudah dimulai. Sehari sebelum aku berangkat ke Padang. Aku mengunjungi gubuk tua dibelakang rumahku. Gubuk tua itu diisi oleh Nek Siti dan Mak Inah. Dulunya mereka tinggal di rumah yang mewah, sawah yang luas, parak yang subur. Tempat yang seharusnya tidak layak mereka huni sekarang terpaksa mereka menetap sampai akhir hayat.
Kulihat Mak Inah sedang memandang foto perkawinannya. Aku melihat wajah Mak Inah berlesung pipit dan berseri bersama Sutan. Sutan sangat gagah dengan dagu dan alis mata yang tebal.
Mataku berbinar melihat Nek Siti yang harus menanggung semuanya, anak semata wayangnya yang diimpikan akan memiliki keturunan. Aku masih ingat ketika ibu bercerita, Mak Inah keguguran ketika mendengar beritas kecelakaan tragis yang dialami oleh suaminya. Seketika itu Mak Inah pingsan dan ingatannya pun tidak sempurna lagi. Cobaan yang bertubi-tubi mereka dapatkan. Setiap aku ke gubuk mereka Nek Siti selalu tersenyum padaku, seolah tidak ada masalah yang diperlihatkannya padaku. Akupun ikut tersenyum seolah aku tidak mengetahui penderitaan yang mereka alami. *** Padang, 2010 (Terbit di Koran Singgalang)


[1] Sejenis minuman yang memabukkan
[2] Abu Nu,aim dalam Al-Hilyah:  4/620

Tidak ada komentar:

Posting Komentar