Oleh Methia Farina
Jiwa tidak akan pernah pergi
Hati takkan pernah berhenti berharap
Kuat menerpa harapan
Di batu rindukan hari
Salamkan pergi di titian rahmat-Nya
Jika dia memasuki Jalur Gaza, dia akan melewati daerah kosong antara dua
pos pemeriksaan. Dia harus berjalan melewati daerah tidak bertuan antara dua
pos pemeriksaan. Saat berjalan membelakangi pos tentara Israel terpikir apakah dia bisa
kembali lagi masuk. Di tengah terik pun dia harus berjalan tidak peduli siapa
dia. Barulah saat masuk ke pos perbatasan suasana lebih terasa dekat meski
pemeriksaan tetap ketat. Jalur Gaza ini mendapat gempuran dari Israel.
Daerah miskin dan sulit ini semakin menderita karena tekanan militer Israel.
Jalur Gaza menjadi arena berbahaya. Ibunya telah melarang dia untuk tidak
kesana.
Wajahnya tampak seperti berumur dua puluh tahun, lantunan musik jihad dan
ayat-ayat Al-Quran selalu didendangkannya. Tangannya mengepal geram terhadap
tentara Israel.
Syahid Hakam namanya, dia adalah seorang anak berumur sepuluh tahun. Setiap
pulang sekolah dia pergi ke tempat jihad, membantu ayahnya. Dia tidak takut
dengan peluru tentara Israel,
dia begitu berani.
Sebelum masuk waktu Ashar dia pulang ke rumah. Dia mengurusi urusan
dapur, dia tidak pernah mengeluh walaupun dia anak ke empat dari tujuh
bersaudara. Kakak-kakaknya telah pergi lebih dulu di medan jihad, hanya dia bersama tiga orang
adiknya yang perempuan yang masih kecil.
“Ummi,[1] kenapa Abi[2]
belum pulang? Biasanya jika terlambat, Abi selalu berpesan sebelum pergi atau Abi
menitipkan pesan pada temannya.”
Kekahwatiran menyelimuti hati Syahid. Matanya terus memandang asap yang
mengepul di luar sana,
bunyi ledakan bom terdengar jelas di gubuknya.
“Tadi Abi berpesan pada ummi, Bahwa abi besok pulangnya.”
Walaupun umminya berkata demikian hatinya tidak juga tenang. Maafkan ummi anakku, ummi belum bisa
memberitahumu sekarang, ayahmu telah syahid, Nak.
***
Keesokkan harinya Syahid masih terus memandang sudut kota
yang berserakkan di seberang sana.
“Ummi aku harus ke sana,
melihat keadaan Abi…!”
“Jangan anakku, Abi pasti baik-baik saja, sekarang Abi telah tenang.”
“Apa maksud Ummi? Syahid tidak mengerti.”
“Maafkan Ummi anakku. Ummi tidak jujur padamu, Ummi tidak ingin Syahid sedih,
maafkan Ummi anakku”
“Ummi.”
Terlihat air matanya, dia tidak ingin menangis, bukanlah seorang pemuda
yang tangguh jika dia menangis, tapi ini adalah lain. Hatinya tidak bisa
terobati, kejamnya tentara Israel
telah merenggut nyawa saudaranya dan juga Ayahnya. Ayahnya tempat dia belajar,
bercerita, memanah dan berjihad. Sekarang telah bersatu dengan tanah dan para
syuhada lainnya. Tidak dia temukan jasad ayahnya. Sejak kematian ayahnya, dia
tidak lagi terlihat di sekolahnya, pengawasan dan kebrutalan tentara Israel
semakin membabi buta. Para syuhada telah
banyak yang gugur.
Para
ibu yang kehilangan suaminya, bukan tangisan air mata lagi yang menjadi
kegusaran hati, tapi tangisan darah, darah telah tersebar di mana-mana. Tidak
ada kota di
Palestina yang tidak terhujani darah. Bahkan Jalur Gaza sekali pun, sepetak
tanah yang tandus yang berada di ujung perbatasan Mesir. Dulu Jalur Gaza tempat
ia dan keluarganya menetap, walaupun suasana perkampungan di sana
kumuh dan rumah berdempetan, tidak seperti ibu kota
yang lainnya dan di sana
berupa perkampungan yang besar. Dulu kehidupannya sangat tentram dan damai.
Tapi sekarang dia dan keluarganya harus
mengungsi.
“Ummi aku tidak takut mati,
meskipun seusiaku ini hanyalah pantas untuk belajar dan bermain, tapi tidak dengan
aku, Ummi. Aku tidak takut dan gentar, aku seorang pemuda yang tangguh.
Semangatku tidak akan mati meskipun jasad ayah tidak bersama kita lagi tetapi
jiwanya selalu bersama semangatku. Ummi aku tidak mau diam dan terpaku di sini.
Di luar sana
adalah ladangku untuk menggarap setitik rahmat dan ridha Allah, ridha Allah terletak
kepada ridha orang tua. Izinkanlah aku, Ummi, meskipun aku tidak pulang sore
ini, akan ada pengganti aku, izinkanlah aku, Ummi.”
Bukan tetesan
mata kepedihan di pipi ibunya, haru bercampur bahagia, mendengar perkataan
anaknya yang baru berumur sepuluh tahun untuk berjihad.
“Kamu tidak
sendirian anakku. Doa Ummi akan selalu menyertaimu.”
Syahid
rangkul ummi. Syahid eratkan rangkulannya. Syahid cium aroma tubuh ummi yang
berkeringat. Syahid dapati pada setiap bau ummi, aroma duka yang dalam. Syahid
merasakannya ummi, Syahid tidak akan pernah melupakan aroma ummi. Syahid tahu ummi
begitu berat melepaskan Syahid.
***
Batu-batu itu
menjadi saksi perjuangan Syahid, sebongkah batu menemani Syahid. Meski Syahid
dan teman-teman tidak mempunyai senjata yang canggih dan modern. Syahid punya
senjata yang tidak bisa mereka kalahkan yaitu semangat untuk merebut kembali
tanah kelahiranku, Jalur Gaza. Syafar adalah teman Syahid. Syahid dan Syafar, ikut bergabung dengan
pasukan Hamas. Syahid tidak tahu bagaimana caranya berperang atau pun membunuh,
dan Syahid pun tidak ingin membunuh. Syahid sangat ingin menikmati belajar
seperti dulu, tapi itu tidak mungkin lagi. Teman-teman Syahid telah banyak yang
gugur. Hanya Syahid dan Syafar yang masih bertahan di sisa puing-puing batu.
“Ihdzar yaa Syahid[3]…!”
Satu peluru tepat
di kaki Syafar, pekikannya melengking, bocah berumur sebelas tahun itu merasa
kesakitan di kakinya. Syahid tersungkur ke tanah. Syahid mendapati tubuh Syafar
tergeletak di tanah tidak berdaya.
”Limadza ma
laka tusallimuni?[4]” Teriak
Syahid
“Lianna
nazhartu nuura fi ‘ainaik, nuura fauzina.[5]”
“Ishbir
watsbit Syafar..! Lan ubiihahum liyasyrabuu damak,,,ishbir watsbit…![6]”
Syahid
memikul Syafar ke tempat yang lebih aman, darah mengalir di mana-mana. Larinya
semakin kencang, bunyi ledakkan bom memekakkan telinganya, dia terus berlari.
Tanpa dia sadari Syafar telah pergi.
“Syafar kamu
harus bertahan, kita telah berjanji untuk bersama-sama tersenyum di penghujung
kisah, aku tidak ingin sendirian, temani aku Syafar…Syafar…!” (Syahid
menggoncang tubuh Syafar terasa dingin tangannya, dia menurunkan syafar dan
menyandarkannya di depan batu besar).
“Inna lillahi
wa inna ilaihi raji’uun.” Suara itu keluar dari mulut Syahid. Dia menundukkan
kepalanya, sulit baginya menerima kenyataan ini. Orang-orang yang disayanginya,
meninggalkannya disaat dia membutuhkannya.
“Teman-teman ku
satu persatu telah kau lahap dengan tawamu, betapa keringnya otakmu tuan. Kau
tidak punya mata, kau tidak punya hati, kau tidak punya telinga. Begitu
miskinnya jiwamu bahkan lebih miskin dari orang yang kelaparan. Wahai tuan
tidakkah kau sadar, siapa yang engkau tembak. Nanti dia akan meminta nyawamu,
lebih dahsyat dari ini.”
***
Matanya yang
jernih memandang merahnya langit. Kerikil digenggamnya, matanya tajam memandang
gumpalan asap hitam di langit.
Fikirannya berputar terpintas senyuman Syafar di matanya. Ayahnya juga ikut tersenyum
dibayang-bayang awan merah.
Ketika
matahari mulai menenggelamkan tubuhnya, Syahid juga ikut menghilang. sakan
pernah surut dan layu. Syahid harus bertahan meski tangan-tangan pelempar batu
itu tidak lagi bersama Syahid, aku masih memiliki yaitu tangan-tanganku yang
kuat.
“Wahai tuan
yang berkuasa di tanah kami, biarkanlah kami hidup di sana. Mengapa tuan hancurkan tanah-tanah
kami. Begitu remehkah pandangan tuan terhadap kami, walaupun tangan-tangan ini
masih kecil. Ingatlah tuan suatu saat dan hari yang pasti kami akan mendapatkan
hak kami kembali. Biarlah tuan dulu menikmati darah-darah segar kami, tapi
ingat tuan hari itu pasti akan datang.”
***
Ummi….sudah
empat tahun aku bertahan di puing-puing jihad, ummi aku bahagia, banyak
teman-temanku yang mendukungku. Mereka berdoa untuk kita, kita tidak sendiri
ummi. Mereka bangga denganku dan teman-temanku yang lainnya, walaupun mereka
tidak berada di depan kita, tangan-tangannya selalu berdoa untuk kita. Semangat
juang kita menjadi tonggak pergerakkan teman-temanku yang lainnya. Ummi,
kutulis catatan kecil ini untukmu, sebagai tanda aku rindu padamu. Aku rindu
disaat engkau usap rambutku, di saat engkau hapus air mataku, dan engkau pun
heran disaat aku menitikkan air mata untuk Abi. Kapan kita bertemu kembali? Aku
tidak berdaya ingin bertemu denganmu ummi. Biarlah ummi kusimpan dengan rapi
rindu ini. Ketika aku mulai goyah, pesanmu selalu menguatkanku. Engkau
mengatakan kalimat terakhir disaat kita di ujung pertemuan. Alam indah menantimu wahai pejuang daiman
bilhamasah ![7]
Kata-kata itu selalu kuingat ummi, sampai
ujung rambut dan penghabisan darahku akan aku perjuangkan negeri tercinta ini. Ummi di saat bahaya tepat
di posisiku, terlintas di benakku senyum Abi, dan di saat itu pula Syafar
menyelamatkanku dari serangan tentara Israel. Aku heran Ummi, kenapa di setiap
aku hendak mendapatkan serangan, wajah Abi selalu terlintas di mataku. Aku yakin
ummi juga heran. Karena peristiwa tersebut, aku tidak merasa sepi lagi, aku
merasa Abi selalu berada di sampingku. Tapi hari ini ummi senyum abi tidak lagi
kutemukan.
Ummi
jari-jariku tidak sanggup lagi menulis, aku merasa tanganku mulai kaku, maafkan
anakmu ummi, aku tidak bisa menepati janjiku dan aku tidak bisa pulang sore ini. Tinta darah telah
kuhabiskan menulis surat
cintaku untukmu. Ketika engkau buka baju putih ini. Semua tulisannya adalah
darah, ini bukti cintaku untuk agamaku, negeriku dan untukmu, Ummi.***Padang,
2010
*Cerpen ini kupersembahkan untuk saudaraku
di Palestina, tetap semangat. Sungguh syurga telah menantimu para syuhada.
[1]
Panggilan ibu untuk orang Arab
[2]
Panggilan ayah untuk orang Arab
[3] Syahid
awas….!
[4] Kenapa
kamu menyelamatkanku?
[5] Aku
melihat cahaya dimatamu, Cahaya
kemenangan kita.
[6] Kamu
harus bertahan Syafar..! Aku tidak akan membiarkan mereka meminum darahmu, kamu
harus bertahan!
[7] Selalu
semangat !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar