Oleh : Methia Farina
Langit Padang membiru. Menandakan cerahnya
bumi Padang. Mataku tak henti memandang birunya langit. Ada rasa kebahagiaan.
Ada rasa kekhawatiran–menyelinap di hatiku. Hatiku seperti menari-nari
mengikuti alunan instrumen. Terkadang menari-nari dengan kesedihan siang hari.
Membuka cerita bagiku, sama menguraikan melodi
gitar yang tertulis di buku catatan merahku. Cerita sama seperti alunan musik.
Ada kegembiraan, kesedihan–ragam irama dimainkan. Aku terus memetik dawai yang tak bermelodi
lagi. Kupetik dawai itu, sunyi. Melodinya pergi terbang dihantam angin
kesedihan.
Mataku masih memandangi langit Padang. Sekarang
warnanya telah berubah menjadi merah. Lebih tepatnya mega merah telah muncul di
balik kesenduannya. Mataku masih menjelajahi senja. Angin kesedihan berganti
menjadi kesenduan. Malam pun tersenyum di balik gelapnya kota Padang. Masih
sama diriku menatap langit. Mega merah telah berganti menjadi gelap. Bintang,
bulan bersenandung–menyanyikan lagu keindahan. Entahlah, aku begitu tertarik
pada suasana malam. Bintang, bulan membangkitkan aura positfku menjelajah
malam.
Aku suka kota Padang dibandingkan kota-kota
yang tenar akan kebudayaannya– lokalitasnya. Padang adalah rahasia hatiku
berada. Aku masih ingat perjumpaan dengan seorang lelaki. Lelaki yang pernah
tersenyum manis padaku. Masih tersimpan misteri itu di benakku. Waktu pun takkan
mampu melunturkan kenangan itu.
“Masih juga kau merawat luka itu, Najla?”
Suara di balik telepon itu bergema di
telingaku.
“Tak ada seindah luka yang kau berikan itu,
Harun!”
Kalimat misteri Harun menusuk Najla. Tak mampu
ia simpan kalimat misteri yang hanya didengar lewat angin dan gelombang.
“Aku takut, semuanya akan ditelan bumi–lukamu
semakin parah.”
“Selama aku masih bisa memandang
bintang–bulan, luka itu akan tetap indah, Harun.”
Najla. kepolosan–keluguannya. Mengalahkan
bisikkan pagi dan tamparan siang. Baginya tak ada seindah malam. Tak ada orang
yang tahu. Dia begitu mencintai malam. Lelaki yang tersenyum itu, ah, siapa
dia. Pikiranku selalu dihantui bayangan itu. Bukankah lelaki itu pernah aku
temui di bangku sekolah dulu. Atau memang aku tak mengenalinya saat ini. Aku
pun sudah bosan, menjawab pertanyaanku sendiri. Pertanyaan yang seringkali
berulang–tak menghasilkan jawaban untuk mengisi rongga yang kosong ini.
Senja masih menatapku ataukah aku yang masih
menatap senja. Aku ingin bertemu malam. Akan aku ceritakan pada malam tentang
lelaki yang aku temui di simpang kampus IAIN Imam Bonjol Padang. Aku ingin
berterus terang pada malam, agar aku bisa bertemu lagi dengan keindahan siang yang
aku anggap siang itu adalah kesedihan. Harun, nama yang indah. Siang telah
mempertemukan aku dengannya. Namun kesedihan datang membolak-balikan hatiku.
Aku masih menganggap siang adalah kesedihan.
Kenapa aku berjumpa dengannya. Luka akhirnya merayap di hatiku.
Berpisah. Itu jualah mengoyakkan hatiku.
Kenapa aku harus meratapi perpisahan? Bukankah pertemuan adalah sebuah
kebahagiaan? Perpisahan pun adalah kebahagiaan. Tak sampai pikiranku mencerna
peristiwa siang itu. Sepatutnya aku berterima kasih pada siang. Siang yang
mempertemukan aku dengan malam. Malam indah–bintang, bulan tersenyum.
“Najla! Pernahkah kau menganggap pertemuan itu
adalah kebetulan?”
“Tidak! Aku percaya Tuhan, pertemuan adalah
takdir-Nya. Namun....”
“Apa? Najla! Katakanlah!”
“Aku masih tak mengerti jalan cerita ini.”
“Tuhan akan menyelesaikan cerita ini, Najla. Tataplah
langit malam, malam adalah temanmu saat ini.”
Aku tidak peduli apa kata mereka. Malam bukan
saat yang indah untuk menatap. Malam adalah saat kepuasan mata untuk terlelap.
Ah, aku tidak tertarik dengan kata-kata tiada bersemangat itu. Cerita itu
kembali aku ingat–melodi itu kembali menyentuh hati sepiku. Teringat kata-kata
yang diucapkan oleh lelaki itu, Harun. Begitu indah kata-katanya–membangunkan
tidur malamku. Tapi aku begitu luka oleh kata-katanya.
“Najla! Kita harus berterima kasih pada
waktu.”
Aku tidak peduli apa katanya. Aku tidak ingin
dia mengucapkan malam tidak indah, seperti kata sumbing yang diucapkan
orang-orang. Kesejukan itu terasa di hatiku. Lama aku menikmatinya.
“Najla! Apa kau tidak mendengar ucapanku?”
“Aku mendengarnya. Angin telah membisikkan
padaku. Waktu adalah mukjizat.”
“Benar, aku
percaya. Najla! Obatilah lukamu. Aku tahu saat ini kau sedang terluka.
Penyebabnya adalah aku.”
Kata-kata penyembuhan kembali mengisi rongga
yang kosong. Ruang hati dipenuhi ragam pelangi. Indah. Perlahan aku bisa
menyembuhkan luka ini sendri. Aku ingat Harun bercerita tentang kehidupan
bintang dan bulan.
“Tahukah Najla, tentang kehidupan bintang dan
bulan yang berpasangan?”
“Tidak! Aku hanya tahu sepenggal ceritanya.
Ceritakanlah padaku!”
“Bintang mengenal bulan lebih dari sekedar
mengenal. Mereka saling setia berteman dengan
bumi dan langit. Mereka diciptakan Tuhan untuk menambah keindahan jagat
raya ini. Lalu....”
“Lalu kenapa?”
“Lalu, jika tidak ada bulan–bintang akan
sepi.”
“Aku tidak percaya! Bintang tak akan pernah
sepi. Ia akan bahagia, karena malam membuatnya bercahaya.”
“Percayalah, saat ini aku benar-benar akan
sepi. Tapi aku bahagia kau telah menyediakan satu ruang untukku.”
“Aku tidak percaya! Kenapa masa membuat kita
terpisah? Jika bintang akan sepi–temanilah bulan yang sendirian.”
“Ini adalah kehendak waktu, Najla! Waktu
mempunyai rahasia tersendiri. Berpisah hanyalah sebatas fisik. Namun jiwaku
telah menyatu denganmu, Najla.”
Najla semakin tidak percaya yang diucapkan
Harun. Najla tahu bahwa Harun adalah lelaki yang kuat. Paham arti
hitam–putihnya kehidupan. Kenapa Harun lemah jika aku terluka? Pertanyaan itu
membuat Najla terus berpikir. Apalah artinya lukaku. Hanya aku yang
merasakannya. “Najla, berterima kasihlah pada waktu.” Kembali aku
mengingat ucapan Harun. Ada titik terang menjalar di pikiranku.
Aku bisa mencerna makna tersirat yang
diucapkannya. Bahwa sesungguhya Harun sangat bersyukur telah mengenal aku. Dan
itu semua karena waktu. Waktu jualah mempertemukan aku dengan Harun.
Aku percaya, Harun. Maafkan aku. Sampai saat
ini luka itu masih kurawat. Tahukah engkau, bagiku–luka adalah cinta. Dan aku
ingat, bahwa engkau adalah Harun yang dulu pernah kukenal. Tak ada yang lebih
indah saat ini.***Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar