MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Selasa, 15 Mei 2012

CERPEN PADANG LUKA


Oleh : Methia Farina

Langit Padang membiru. Menandakan cerahnya bumi Padang. Mataku tak henti memandang birunya langit. Ada rasa kebahagiaan. Ada rasa kekhawatiran–menyelinap di hatiku. Hatiku seperti menari-nari mengikuti alunan instrumen. Terkadang menari-nari dengan kesedihan siang hari.
Membuka cerita bagiku, sama menguraikan melodi gitar yang tertulis di buku catatan merahku. Cerita sama seperti alunan musik. Ada kegembiraan, kesedihan–ragam irama dimainkan.  Aku terus memetik dawai yang tak bermelodi lagi. Kupetik dawai itu, sunyi. Melodinya pergi terbang dihantam angin kesedihan.
Mataku masih memandangi langit Padang. Sekarang warnanya telah berubah menjadi merah. Lebih tepatnya mega merah telah muncul di balik kesenduannya. Mataku masih menjelajahi senja. Angin kesedihan berganti menjadi kesenduan. Malam pun tersenyum di balik gelapnya kota Padang. Masih sama diriku menatap langit. Mega merah telah berganti menjadi gelap. Bintang, bulan bersenandung–menyanyikan lagu keindahan. Entahlah, aku begitu tertarik pada suasana malam. Bintang, bulan membangkitkan aura positfku menjelajah malam.
Aku suka kota Padang dibandingkan kota-kota yang tenar akan kebudayaannya– lokalitasnya. Padang adalah rahasia hatiku berada. Aku masih ingat perjumpaan dengan seorang lelaki. Lelaki yang pernah tersenyum manis padaku. Masih tersimpan misteri itu di benakku. Waktu pun takkan mampu melunturkan kenangan itu.
“Masih juga kau merawat luka itu, Najla?”
Suara di balik telepon itu bergema di telingaku.
“Tak ada seindah luka yang kau berikan itu, Harun!”
Kalimat misteri Harun menusuk Najla. Tak mampu ia simpan kalimat misteri yang hanya didengar lewat angin dan gelombang.
“Aku takut, semuanya akan ditelan bumi–lukamu semakin parah.”
“Selama aku masih bisa memandang bintang–bulan, luka itu akan tetap indah, Harun.”
Najla. kepolosan–keluguannya. Mengalahkan bisikkan pagi dan tamparan siang. Baginya tak ada seindah malam. Tak ada orang yang tahu. Dia begitu mencintai malam. Lelaki yang tersenyum itu, ah, siapa dia. Pikiranku selalu dihantui bayangan itu. Bukankah lelaki itu pernah aku temui di bangku sekolah dulu. Atau memang aku tak mengenalinya saat ini. Aku pun sudah bosan, menjawab pertanyaanku sendiri. Pertanyaan yang seringkali berulang–tak menghasilkan jawaban untuk mengisi rongga yang kosong ini.
Senja masih menatapku ataukah aku yang masih menatap senja. Aku ingin bertemu malam. Akan aku ceritakan pada malam tentang lelaki yang aku temui di simpang kampus IAIN Imam Bonjol Padang. Aku ingin berterus terang pada malam, agar aku bisa bertemu lagi dengan keindahan siang yang aku anggap siang itu adalah kesedihan. Harun, nama yang indah. Siang telah mempertemukan aku dengannya. Namun kesedihan datang membolak-balikan hatiku. Aku masih menganggap siang adalah kesedihan.  Kenapa aku berjumpa dengannya. Luka akhirnya merayap di hatiku.
Berpisah. Itu jualah mengoyakkan hatiku. Kenapa aku harus meratapi perpisahan? Bukankah pertemuan adalah sebuah kebahagiaan? Perpisahan pun adalah kebahagiaan. Tak sampai pikiranku mencerna peristiwa siang itu. Sepatutnya aku berterima kasih pada siang. Siang yang mempertemukan aku dengan malam. Malam indah–bintang, bulan tersenyum.
“Najla! Pernahkah kau menganggap pertemuan itu adalah kebetulan?”
“Tidak! Aku percaya Tuhan, pertemuan adalah takdir-Nya. Namun....”
“Apa? Najla! Katakanlah!”
“Aku masih tak mengerti jalan cerita ini.”
“Tuhan akan menyelesaikan cerita ini, Najla. Tataplah langit malam, malam adalah temanmu saat ini.”
Aku tidak peduli apa kata mereka. Malam bukan saat yang indah untuk menatap. Malam adalah saat kepuasan mata untuk terlelap. Ah, aku tidak tertarik dengan kata-kata tiada bersemangat itu. Cerita itu kembali aku ingat–melodi itu kembali menyentuh hati sepiku. Teringat kata-kata yang diucapkan oleh lelaki itu, Harun. Begitu indah kata-katanya–membangunkan tidur malamku. Tapi aku begitu luka oleh kata-katanya.
“Najla! Kita harus berterima kasih pada waktu.”
Aku tidak peduli apa katanya. Aku tidak ingin dia mengucapkan malam tidak indah, seperti kata sumbing yang diucapkan orang-orang. Kesejukan itu terasa di hatiku. Lama aku menikmatinya.
“Najla! Apa kau tidak mendengar ucapanku?”
“Aku mendengarnya. Angin telah membisikkan padaku. Waktu adalah mukjizat.”
“Benar, aku  percaya. Najla! Obatilah lukamu. Aku tahu saat ini kau sedang terluka. Penyebabnya adalah aku.”
Kata-kata penyembuhan kembali mengisi rongga yang kosong. Ruang hati dipenuhi ragam pelangi. Indah. Perlahan aku bisa menyembuhkan luka ini sendri. Aku ingat Harun bercerita tentang kehidupan bintang dan bulan.
“Tahukah Najla, tentang kehidupan bintang dan bulan yang berpasangan?”
“Tidak! Aku hanya tahu sepenggal ceritanya. Ceritakanlah padaku!”
“Bintang mengenal bulan lebih dari sekedar mengenal. Mereka saling setia berteman dengan  bumi dan langit. Mereka diciptakan Tuhan untuk menambah keindahan jagat raya ini. Lalu....”
“Lalu kenapa?”
“Lalu, jika tidak ada bulan–bintang akan sepi.”
“Aku tidak percaya! Bintang tak akan pernah sepi. Ia akan bahagia, karena malam membuatnya bercahaya.”
“Percayalah, saat ini aku benar-benar akan sepi. Tapi aku bahagia kau telah menyediakan satu ruang untukku.”
“Aku tidak percaya! Kenapa masa membuat kita terpisah? Jika bintang akan sepi–temanilah bulan yang sendirian.”
“Ini adalah kehendak waktu, Najla! Waktu mempunyai rahasia tersendiri. Berpisah hanyalah sebatas fisik. Namun jiwaku telah menyatu denganmu, Najla.”
Najla semakin tidak percaya yang diucapkan Harun. Najla tahu bahwa Harun adalah lelaki yang kuat. Paham arti hitam–putihnya kehidupan. Kenapa Harun lemah jika aku terluka? Pertanyaan itu membuat Najla terus berpikir. Apalah artinya lukaku. Hanya aku yang merasakannya. “Najla, berterima kasihlah pada waktu.” Kembali aku mengingat ucapan Harun. Ada titik terang menjalar di pikiranku.
Aku bisa mencerna makna tersirat yang diucapkannya. Bahwa sesungguhya Harun sangat bersyukur telah mengenal aku. Dan itu semua karena waktu. Waktu jualah mempertemukan aku dengan Harun.
Aku percaya, Harun. Maafkan aku. Sampai saat ini luka itu masih kurawat. Tahukah engkau, bagiku–luka adalah cinta. Dan aku ingat, bahwa engkau adalah Harun yang dulu pernah kukenal. Tak ada yang lebih indah saat ini.***Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar