Oleh: Methia Farina
Sudah menjadi tabiat kami orang Minang
merantau. Mesir tidak lagi menjadi asing bagi kami. Merantau ke Mesir adalah
prestasi yang membanggakan bagi kaum hawa. Tidak mudah seorang perempuan pergi tanpa
mahramnya. Ke luar negeri, apalagi ke Mesir. Bukan kami tidak mencintai Minang.
Namun kami ingin merasakan kehidupan di sana. Mengenal corak budaya Mesir.
Mengambil ilmu. Di sana unik, tua. Sejarah pernah mengatakan bahwa–Universitas
Al-Azhar di Kairo merupakan universitas tertua di dunia. Al-Azhar adalah sebuah
lembaga waqaf yang di dirikan pada masa bani Fatimiyah oleh panglima Jauhur
Ash-shiqilli. Al-Azhar yang di bangun sejak tahun 359H / 970M (sekarang berusia
kurang lebih 1032 ) merupakan dasar yang sangat fundamental dalam membangun
paradigma pemikiran keislaman. Mesir adalah negara di bagian timur laut benua
Afrika–sungai Nil membelah di tengahnya.
Banyak orang Minang yang merantau ke Mesir.
Salah seorang ulama yang terkenal–menjadi pahlawan nasional. Buya Hamka. Salah
seorang pembaharu pendidikan Islam di ranah Minang.
“Aku ingin seperti bunda Rahmah El-Yunusiyah.”
Pendiri Pesantren Diniyyah Putri Padang Panjang. Kayyisah menatap Sabila
dalam-dalam.
“Kalau aku hanya ingin jadi diri sendiri.”
Sabila hanya diam. Dia tidak menanyakan kenapa
sahabatnya berkeinginan besar. Dia tahu, karena itu akan menyakiti hatinya.
***
Menikmati aroma laut di bibir pantai. Udara
bergemuruh. Riak ombak membawa ingatanku dengan ombak air mataku. Terima kasih
kau buat aku bernafas dan merasakan getaran
hidup yang membahagiakan hati. Terima kasih kau telah berada di sisiku. Menemaniku bercakrawala dan
berlayar dengan penuh anggun.
Mataku masih ingin memandang sudut matahari
walau pedih. Namun aku senang bisa menatapnya. Bermain ombak di pantai.
Melemparkan seluruh kesedihan dan kekecewaan yang terkumpul. Lihatlah ke arah
matahari kawan. Matahari itu akan terbenam, tapi aku akan hidup meski jauh.
Jalan itu mengingatkan aku padanya. Jalan yang
pernah mempertemukan kami. Walaupun sempit di sanalah kami bergandeng tangan.
Jalan itu memiliki gerbang pintu masuk kampus IAIN Imam Bonjol Padang. Di sanalah tempat yang sering aku lewati
pergi kuliah. Di seberang jalan itu
ada sebuah mesjid Baiturrahman. Sebelum memasuki pintu gerbang yang terbuka itu. Ada jembatan yang
terbuat dari semen. Jalan setapak lalu lalang mahasiswa. Yang lebarnya tidak sampai satu meter dan panjangnya
tiga meter.
Jika aku bertemu dengannya. Aku kehabisan
kata-kata untuk bertanya atau pun bercerita. Diam. Itulah yang sering aku
lakukan ketika bersamanya. Hmm, diam sungguh bermakna bagiku. Serasa aku telah
lama berada di dekatnya. Ya, diam. Dalam diam tersebut, serasa aku telah lama
berbicara dengannya. Aku juga tidak tahu. Serasa aku telah banyak bercerita
dengannya. Walaupun kami sama-sama diam. Kami menikmati diam itu. Karena bagiku
dia pasti memiliki diam yang sama sepertiku.
Kayyisah, itulah namanya. Aku lebih suka memanggilnya Ayyis. Jilbabnya begitu
rapi. Setiap dia memakai baju, selalu diserasikan dengan jilbab kuningnya. Menambah anggun dengan sikap dan tutur katanya yang
bijak.
Dalam perjalanan kita, merenda peradaban
dengan cinta dan kebaikan. Terkadang aku ingin menghapus tangismu yang begitu
pilu. Itulah kalimat yang sering bergema di hatiku. Kami selalu berbagi suka
dan duka. Tiada rahasia di antara kami.
***
Suatu kali aku bertanya pada Ayyis. Tentang
apa yang membuatnya menangis.
“Bolehkah aku mengetahui apa rahasia di balik air matamu, Ayyis?”
Ayyis hanya diam. Sesaat dia mulai
menggerakkan bibirnya. Aku berharap dia menjawab tanda tanya yang selalu
berlari di pikiranku.
“Tidak ada, Sabila!”
Aku tercenung mendengar jawabannya.
Sesingkat itukah jawabannya untukku. Padahal dalam pikiranku sudah mempersiapkan
berjuta pertanyaan untuknya.
“Ayo, ayyis. Jangan biarkan aku dalam
kebingungan seperti ini. Ceritakanlah padaku. Apa yang membuat hatimu menangis?”
Aku seperti kelihatan orang sakit, yang
sedang menahan sakit. Meminta jawaban darinya. Aku perlihatkan wajah sedihku
padanya. Tanda aku begitu larut dengan kesedihannya.
“Sabila, maafkan aku yang tidak berterus
terang padamu. Aku bukanlah sahabat yang baik untukmu.”
“Kenapa, Ayyis?”
“Sabila, bulan besok aku akan berangkat ke
Mesir. Maafkan aku tidak mengabarimu kapan aku tes. Dan aku juga tidak
mengajakmu. Engkau berhak marah padaku. Aku kejam. Aku egois, terserah apa pendapatmu terhadapku!”
Sabila ingat, janji Ayyis untuk mengajaknya
ikut tes ke Mesir. Persahabatan mereka baru dua semester. Mereka begitu akrab.
Sabila merenung sejenak. Entah apa yang dipikirkannya. Matanya menatap
rumput-rumput liar di kakinya. Jilbab putih yang dipakainya ditiup oleh angin.
Terbang. Seperti mimpinya juga diterbangkan angin. Suasana di halaman kampus
begitu sunyi. Sore itu, begitu mendung bagi Sabila.
“Kamu benar, Ayyis! Jangan salahkan dirimu!
Seharusnya aku yang menyadari bahwa hafalanku sedikit dan tidak memungkinkan
untuk ikut tes. Terima kasih, ya! Telah menemaniku selama ini.”
Sabila pergi. Tanpa mengucap salam pada
Kayyisah. Raut wajah Sabila begitu muram. Sedih bercampur kecewa beraduk di
dalam hatinya. Kayyisah tidak berucap apapun pada Sabila. Keduanya sama-sama
diam. Diam mereka mengandung arti yang dalam.
***
“Selamat ya Kayyisah…!”
Teman-teman di kelasnya memberikan ucapan
selamat pada Kayyisah. Hampir Kayyisah tidak bisa bernafas, karena begitu
banyak teman-teman mengelilinginya. Dia coba untuk tersenyum. Namun di hati
siapa yang tahu. Bahwa ia memiliki masalah batin dengan Sabila.
Melihat Kayyisah dikelilingi oleh
teman-teman. Sabila tidak bisa menahan kesedihannya. Itu berarti, minggu depan
Kayyisah harus meninggalkan kota Padang ini. Begitu cepatnya hari berlalu.
Waktuku bersamanya tinggal satu minggu lagi. Namun kami masih diam. Entah
sampai kapan seperti ini.
“Sabila! Maafkan aku. Jangan diam begitu!
Aku tidak tenang jika seperti ini. Maafkanlah aku. Aku tahu aku salah. Namun
aku tidak punya pilihan lain. Ini semua juga bukan kehendakku!”
Wajahku masih membelakangi wajahnya. Terdengar
isakkan itu begitu jelas di telingaku.
“Sebenarnya aku tidak marah padamu, Ayyis.
Diamku selama ini hanyalah untuk menenangkan pikiranku.”
“Karena aku kah itu, Sabila?”
“Bukan! Namun, karena diriku ini yang
terlalu lama menolak kenyataan.”
“Kenyataan apa, Sabila!”
“Bahwa mungkinkah kita tak akan bisa
bertemu lagi.”
“Mengapa itu yang kamu ucapkan. Jika kita
menunggu waktu. Itu akan lama. Namun jika kita melewati dengan damai, akan
terasa indah dan mudah berlalu.”
“Bukan begitu, Ayyis. Waktu yang aku lalui
sekarang begitu sesak di dada ini. Aku begitu bodoh tidak bisa menerima diriku
sendiri. Penyakit kanker otak telah lama aku derita. Namun karena kehadiran
sahabat sepertimu. Sakitku semakin berkurang.
Dan aku begitu bahagia.”
“Masya Allah! Sabila, kenapa kamu
sembunyikan dariku hal ini. Kamu menelan duka sendiri.”
Suasana semakin haru. Tangisan dua orang
sahabat memecah kesunyian. Namun apa hendak dikata. Setiap ada pertemuan pasti
ada perpisahan.
“Sabila, aku tahu kamu bisa hidup tanpa
adanya diriku di sisimu. Tetaplah bertahan sahabat. Anggap
saja Aku adalah kamu dan dirimu adalah aku.”
“Iya, itulah yang aku renungkan selama ini.
Diri ini adalah lukisan untuk orang yang pernah melukis di hatiku. Bawalah
cerita lukisan ini di tempatmu yang baru. Kelak kita akan ditemukan oleh
pelukis jagat raya ini.”
“Terima kasih, atas senyummu di sore ini. Hatiku
tenang. Aku akan ingat akan hal ini.”
Tahukah wahai sahabat, dalam doaku tersirat
namamu. Berdoa untuk dirimu, untuk kita. Semoga kasih sayang meliputi kita. Karena
bagiku membuatmu tersenyum adalah usaha besarku. Dan membuatmu tersenyum aku
sudah bahagia. Tahukah sahabat ketika wajahmu menyimpan masalah. Aku begitu
risau. Namun doa itu selalu aku kirimkan untukmu. Berdoa semoga dirimu
baik-baik saja. Sahabat seperti dirimu begitu langka. Memang benar orang-orang
mengatakan, bahwa sahabat adalah perhiasan yang langka. Langkanya dirimu
membuat aku tak beranjak darimu. Karena dirimu adalah hadiah dari Tuhan untuk
diriku. Terima kasih sahabat.
***
Lima tahun berlalu. Dua bintang, syi’ra dan
tsurayya tetap menghiasi langit. Sabila menghempaskan dirinya di atas butiran pasir. Mengenang kembali
masa-masa kerinduannya dengan Kayyisah.
Kata ustad Zulhamdi. Guru Kayyisah di MAK Koto
Baru Padang Panjang dulu. Tsuraya adalah bintang yang tertinggi dan paling jauh. Kayyisah menyukainya dan ingin sekali
menjadi bintang itu. Cita-citanya juga jauh dan tinggi. Aku bahagia dia memilki
bintang itu di hatinya. Sedangkan aku
mengagumi bintang Syi’ra karena cahayanya yang begitu indah dan terang.
Begitulah kami mendapatkan gelar bintang. Karena bintang menurut kami memiliki
arti semangat. Bintang yang menyerap cahaya dari matahari. Yang kemudian
memancarkan cahayanya menerangi gelapnya malam. Begitu juga dengan kami. Kami
berusaha mengumpulkan mutiara ilmu dan hikmah dari guru-guru–dengan harapan
kelak bisa bermanfaat untuk semua.
***
Kita masih menatap langit yang sama. Bumi yang
sama. Hati yang sama. Imajinasiku berlari ke seorang sufi humanis Jalaludin
Rumi. Aku pernah berkata pada Kayyisah di pagi yang masih dingin. Ketika aku
melewati tempat tinggalnya. Aku bercerita kepadanya tentang persahabatan Rumi
dengan Syamsi Tabriz. Aku ceritakan kepadanya bahwa guru favorit Rumi adalah
seorang sufi dari Tabriz (sebuah daerah
wilayah Iran di Kauniyyah). Rumi pernah mengatakan, “Sesungguhnya Syamsi
Tabriz itulah yang telah menunjukiku jalan kebenaran. Dialah yang mempertebal
keyakinan dan keimananku.”
Rumi
sangat mencintai dan menghormati gurunya. Gurunya juga telah mengajarkan ilmu
spiritual dan pencerahan pada Rumi. Dan suatu ketika gurunya pergi untuk
selamanya dari hadapan Rumi. Entah ke mana perginya. Membuat Rumi berubah
total. Kepergian Syamsi membuat Rumi menjadi sosok yang pemurung dan tertutup.
Kepergian Syamsi untuk selamanya justru membuat Rumi menjadi sosok yang
terkesan berantakan tapi sungguh kuat dan berani. Pengagum tarian sama’ yang
bandel.
Kayyisah tercenung mendengar perkataanku. Aku
mengatakan padanya bahwa dialah sosok Syamsi Tabriz itu di pandangan dan
batinku. Memang aneh kedengarannya seperti seorang kekasih, namun persahabatan
menurutku lebih dari kekasih. Karena Persahabatan yang indah itu kekal
selamanya, menguatkan, dan membangun.
Seperti itulah Kayyisah di mataku. Sosok yang
merubah hidupku. Mengajarkan kepadaku arti perjuangan. Walaupun sesungguhnya
bukan secara nyata dia tunjukkan. Sikap dan diamnyalah mengajarkanku arti pahit
hidup, buahnya begitu manis.
Kalau diingat, saat-saat bersamanya. Walaupun tidak banyak
waktu untuk bersama. Namun begitu membekas di hati. Pada akhirnya kepergiannya
dari sisiku. Membuat aku semakin kuat, lebih berani, dan gila menulis. Terkadang
mentari begitu mengerti arti kehidupan. Bagaikan angin mencari makna air. Dia
pun berlalu bagaikan angin. Namun membekas.
Aku mengetahui keinginan Ayyis. Ayyis begitu
berambisi ke Mesir. Aku menemukan buku diarinya. Tulisan itu bertuliskan
dua baris. “Rahmah El-Yunusiyah adalah perempuan pertama yang mendapat gelar
syaikhah dari Universitas Al-Azhar.”
***
Bukan aku tak ingin bersama. Cara pandang kita berbeda.
Jalan kita sudah berbeda. Bukan Ayyis yang kukenal. Mata tak lagi menatap pada
tujuan yang sama. Bukan aku hendak berseberangan. Tidak menyatukan perasaan
hati. Bagiku telah menjadi sulit untuk bertemu lagi. Lilin-lilin yang semula
hidup. Perlahan telah habis. Begitu juga dengan usiaku. Masihkah waktu
menjawabnya. Sementara hidup berputar. Dan mati.
Aku mendengar di sebuah stasiun televisi.
Kayyisah telah menjadi orang. Dosen di Universitas Al-Azhar yang berpengaruh
itulah pekerjaannya saat ini. Sebentar lagi dia akan mendapat gelar Profesor
dan telah memiliki satu orang anak.
Aku berjalan. Pergi dari ranah minang. Mencoba
untuk merantau. Aku selalu mengingat pepatah minang di ma bumi di pijak di
situ langik dijunjuang. Bukan ke
Mesir tujuanku. Namun ke Rusia. Mengadu nasib di negeri orang. Mencari
pengalaman hidup. Aku akan kembali ke ranah minang. Seperti janjiku.
Aku kecewa dengan Kayyisah. Keberhasilan telah
melupakan dirinya sendiri. Negeri orang
membutakan matanya. Dia malah memajukan negeri orang. Kampungnya yang
butuh pendidikan ilmu keislaman yang utuh. Nilai-nilai moral yang tercabik
zaman. Tak berniatkah sedetik
pun di hatinya ranah Minang nan tercinta–melakukan perubahan. Kacang
alah lupo jo kuliknyo. Begitu orang
minang mengistilahkan dengan anak yang telah lupa di mana dia berasal.
***
Mimpimu menjadi kenyataan, Ayyis. Hatiku
tercabik-cabik mendengar keputusanmu. Kau bilang itu adalah hidupmu. Aku bisa
apa lagi. Cukup sudah itu adalah perkataan terakhirku padamu.
Ayyis. Aku telah lama menunggumu.
Perjuanganku. perjalananku ke barat. Tak membutakan mata hatiku. Karena aku
ingat dengan diriku. Siapa aku. Ke mana aku mengabdi. Minang melekat di dinding
jantungku. Minang mengalir seperti darahku. Jika aku tak kembali, sama saja aku
telah merobohkan dinding kehidupanku sendiri.
Ayyis. Aku tetap di ranah Minang. Kau telah
lupa dengan janjimu. Kau tidak pernah
kembali. Aku tetap menjadi diriku sendiri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar