MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Selasa, 15 Mei 2012

Cerpen Dua Bintang, Syi’ra[1] dan Tsurayya[2]


Oleh: Methia Farina

Sudah menjadi tabiat kami orang Minang merantau. Mesir tidak lagi menjadi asing bagi kami. Merantau ke Mesir adalah prestasi yang membanggakan bagi kaum hawa. Tidak mudah seorang perempuan pergi tanpa mahramnya. Ke luar negeri, apalagi ke Mesir. Bukan kami tidak mencintai Minang. Namun kami ingin merasakan kehidupan di sana. Mengenal corak budaya Mesir. Mengambil ilmu. Di sana unik, tua. Sejarah pernah mengatakan bahwa–Universitas Al-Azhar di Kairo merupakan universitas tertua di dunia. Al-Azhar adalah sebuah lembaga waqaf yang di dirikan pada masa bani Fatimiyah oleh panglima Jauhur Ash-shiqilli. Al-Azhar yang di bangun sejak tahun 359H / 970M (sekarang berusia kurang lebih 1032 ) merupakan dasar yang sangat fundamental dalam membangun paradigma pemikiran keislaman. Mesir adalah negara di bagian timur laut benua Afrika–sungai Nil membelah di tengahnya.
Banyak orang Minang yang merantau ke Mesir. Salah seorang ulama yang terkenal–menjadi pahlawan nasional. Buya Hamka. Salah seorang pembaharu pendidikan Islam di ranah Minang.
“Aku ingin seperti bunda Rahmah El-Yunusiyah.” Pendiri Pesantren Diniyyah Putri Padang Panjang. Kayyisah menatap Sabila dalam-dalam.
“Kalau aku hanya ingin jadi diri sendiri.”
Sabila hanya diam. Dia tidak menanyakan kenapa sahabatnya berkeinginan besar. Dia tahu, karena itu akan menyakiti hatinya.
***
Menikmati aroma laut di bibir pantai. Udara bergemuruh. Riak ombak membawa ingatanku dengan ombak air mataku. Terima kasih kau buat aku bernafas dan merasakan getaran hidup yang membahagiakan hati. Terima kasih kau telah berada di sisiku. Menemaniku bercakrawala dan berlayar dengan penuh anggun.
Mataku masih ingin memandang sudut matahari walau pedih. Namun aku senang bisa menatapnya. Bermain ombak di pantai. Melemparkan seluruh kesedihan dan kekecewaan yang terkumpul. Lihatlah ke arah matahari kawan. Matahari itu akan terbenam, tapi aku akan hidup meski jauh.
Jalan itu mengingatkan aku padanya. Jalan yang pernah mempertemukan kami. Walaupun sempit di sanalah kami bergandeng tangan. Jalan itu memiliki gerbang pintu masuk kampus IAIN Imam Bonjol Padang. Di sanalah tempat yang sering aku lewati pergi kuliah. Di seberang jalan itu ada sebuah mesjid Baiturrahman. Sebelum memasuki pintu gerbang yang terbuka itu. Ada jembatan yang terbuat dari semen. Jalan setapak lalu lalang mahasiswa. Yang lebarnya tidak sampai satu meter dan panjangnya tiga meter.
Jika aku bertemu dengannya. Aku kehabisan kata-kata untuk bertanya atau pun bercerita. Diam. Itulah yang sering aku lakukan ketika bersamanya. Hmm, diam sungguh bermakna bagiku. Serasa aku telah lama berada di dekatnya. Ya, diam. Dalam diam tersebut, serasa aku telah lama berbicara dengannya. Aku juga tidak tahu. Serasa aku telah banyak bercerita dengannya. Walaupun kami sama-sama diam. Kami menikmati diam itu. Karena bagiku dia pasti memiliki diam yang sama sepertiku.
Kayyisah, itulah namanya. Aku lebih suka memanggilnya Ayyis. Jilbabnya begitu rapi. Setiap dia memakai baju, selalu diserasikan dengan jilbab kuningnya. Menambah anggun dengan sikap dan tutur katanya yang bijak.
Dalam perjalanan kita, merenda peradaban dengan cinta dan kebaikan. Terkadang aku ingin menghapus tangismu yang begitu pilu. Itulah kalimat yang sering bergema di hatiku. Kami selalu berbagi suka dan duka. Tiada rahasia di antara kami.
***
Suatu kali aku bertanya pada Ayyis. Tentang apa yang membuatnya menangis.
“Bolehkah aku mengetahui apa rahasia di balik air matamu, Ayyis?”
Ayyis hanya diam. Sesaat dia mulai menggerakkan bibirnya. Aku berharap dia menjawab tanda tanya yang selalu berlari di pikiranku.
“Tidak ada, Sabila!”
Aku tercenung mendengar jawabannya. Sesingkat itukah jawabannya untukku. Padahal dalam pikiranku sudah mempersiapkan berjuta pertanyaan untuknya.
“Ayo, ayyis. Jangan biarkan aku dalam kebingungan seperti ini. Ceritakanlah padaku. Apa yang membuat hatimu menangis?”
Aku seperti kelihatan orang sakit, yang sedang menahan sakit. Meminta jawaban darinya. Aku perlihatkan wajah sedihku padanya. Tanda aku begitu larut dengan kesedihannya.
“Sabila, maafkan aku yang tidak berterus terang padamu. Aku bukanlah sahabat yang baik untukmu.”
“Kenapa, Ayyis?”
“Sabila, bulan besok aku akan berangkat ke Mesir. Maafkan aku tidak mengabarimu kapan aku tes. Dan aku juga tidak mengajakmu. Engkau berhak marah padaku. Aku kejam. Aku egois, terserah apa pendapatmu terhadapku!
Sabila ingat, janji Ayyis untuk mengajaknya ikut tes ke Mesir. Persahabatan mereka baru dua semester. Mereka begitu akrab. Sabila merenung sejenak. Entah apa yang dipikirkannya. Matanya menatap rumput-rumput liar di kakinya. Jilbab putih yang dipakainya ditiup oleh angin. Terbang. Seperti mimpinya juga diterbangkan angin. Suasana di halaman kampus begitu sunyi. Sore itu, begitu mendung bagi Sabila.
“Kamu benar, Ayyis! Jangan salahkan dirimu! Seharusnya aku yang menyadari bahwa hafalanku sedikit dan tidak memungkinkan untuk ikut tes. Terima kasih, ya! Telah menemaniku selama ini.”
Sabila pergi. Tanpa mengucap salam pada Kayyisah. Raut wajah Sabila begitu muram. Sedih bercampur kecewa beraduk di dalam hatinya. Kayyisah tidak berucap apapun pada Sabila. Keduanya sama-sama diam. Diam mereka mengandung arti yang dalam.
***
“Selamat ya Kayyisah…!”
Teman-teman di kelasnya memberikan ucapan selamat pada Kayyisah. Hampir Kayyisah tidak bisa bernafas, karena begitu banyak teman-teman mengelilinginya. Dia coba untuk tersenyum. Namun di hati siapa yang tahu. Bahwa ia memiliki masalah batin dengan Sabila.
Melihat Kayyisah dikelilingi oleh teman-teman. Sabila tidak bisa menahan kesedihannya. Itu berarti, minggu depan Kayyisah harus meninggalkan kota Padang ini. Begitu cepatnya hari berlalu. Waktuku bersamanya tinggal satu minggu lagi. Namun kami masih diam. Entah sampai kapan seperti ini.
“Sabila! Maafkan aku. Jangan diam begitu! Aku tidak tenang jika seperti ini. Maafkanlah aku. Aku tahu aku salah. Namun aku tidak punya pilihan lain. Ini semua juga bukan kehendakku!”
Wajahku masih membelakangi wajahnya. Terdengar isakkan itu begitu jelas di telingaku.
“Sebenarnya aku tidak marah padamu, Ayyis. Diamku selama ini hanyalah untuk menenangkan pikiranku.”
“Karena aku kah itu, Sabila?”
“Bukan! Namun, karena diriku ini yang terlalu lama menolak kenyataan.”
“Kenyataan apa, Sabila!”
“Bahwa mungkinkah kita tak akan bisa bertemu lagi.”
“Mengapa itu yang kamu ucapkan. Jika kita menunggu waktu. Itu akan lama. Namun jika kita melewati dengan damai, akan terasa indah dan mudah berlalu.”
“Bukan begitu, Ayyis. Waktu yang aku lalui sekarang begitu sesak di dada ini. Aku begitu bodoh tidak bisa menerima diriku sendiri. Penyakit kanker otak telah lama aku derita. Namun karena kehadiran sahabat sepertimu. Sakitku semakin berkurang.  Dan aku begitu bahagia.”
“Masya Allah! Sabila, kenapa kamu sembunyikan dariku hal ini. Kamu menelan duka sendiri.”
Suasana semakin haru. Tangisan dua orang sahabat memecah kesunyian. Namun apa hendak dikata. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan.
“Sabila, aku tahu kamu bisa hidup tanpa adanya diriku di sisimu. Tetaplah bertahan sahabat. Anggap saja Aku adalah kamu dan dirimu adalah aku.”
“Iya, itulah yang aku renungkan selama ini. Diri ini adalah lukisan untuk orang yang pernah melukis di hatiku. Bawalah cerita lukisan ini di tempatmu yang baru. Kelak kita akan ditemukan oleh pelukis jagat raya ini.”
“Terima kasih, atas senyummu di sore ini. Hatiku tenang. Aku akan ingat akan hal ini.”
Tahukah wahai sahabat, dalam doaku tersirat namamu. Berdoa untuk dirimu, untuk kita. Semoga kasih sayang meliputi kita. Karena bagiku membuatmu tersenyum adalah usaha besarku. Dan membuatmu tersenyum aku sudah bahagia. Tahukah sahabat ketika wajahmu menyimpan masalah. Aku begitu risau. Namun doa itu selalu aku kirimkan untukmu. Berdoa semoga dirimu baik-baik saja. Sahabat seperti dirimu begitu langka. Memang benar orang-orang mengatakan, bahwa sahabat adalah perhiasan yang langka. Langkanya dirimu membuat aku tak beranjak darimu. Karena dirimu adalah hadiah dari Tuhan untuk diriku. Terima kasih sahabat.
***
Lima tahun berlalu. Dua bintang, syi’ra dan tsurayya tetap menghiasi langit. Sabila menghempaskan dirinya  di atas butiran pasir. Mengenang kembali masa-masa kerinduannya dengan Kayyisah.
Kata ustad Zulhamdi. Guru Kayyisah di MAK Koto Baru Padang Panjang dulu. Tsuraya adalah bintang yang tertinggi dan paling  jauh. Kayyisah menyukainya dan ingin sekali menjadi bintang itu. Cita-citanya juga jauh dan tinggi. Aku bahagia dia memilki bintang itu di hatinya. Sedangkan  aku mengagumi bintang Syi’ra karena cahayanya yang begitu indah dan terang. Begitulah kami mendapatkan gelar bintang. Karena bintang menurut kami memiliki arti semangat. Bintang yang menyerap cahaya dari matahari. Yang kemudian memancarkan cahayanya menerangi gelapnya malam. Begitu juga dengan kami. Kami berusaha mengumpulkan mutiara ilmu dan hikmah dari guru-guru–dengan harapan kelak bisa bermanfaat untuk semua.
***
Kita masih menatap langit yang sama. Bumi yang sama. Hati yang sama. Imajinasiku berlari ke seorang sufi humanis Jalaludin Rumi. Aku pernah berkata pada Kayyisah di pagi yang masih dingin. Ketika aku melewati tempat tinggalnya. Aku bercerita kepadanya tentang persahabatan Rumi dengan Syamsi Tabriz. Aku ceritakan kepadanya bahwa guru favorit Rumi adalah seorang  sufi dari Tabriz (sebuah daerah wilayah Iran di Kauniyyah). Rumi pernah mengatakan, “Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang telah menunjukiku jalan kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku.”
 Rumi sangat mencintai dan menghormati gurunya. Gurunya juga telah mengajarkan ilmu spiritual dan pencerahan pada Rumi. Dan suatu ketika gurunya pergi untuk selamanya dari hadapan Rumi. Entah ke mana perginya. Membuat Rumi berubah total. Kepergian Syamsi membuat Rumi menjadi sosok yang pemurung dan tertutup. Kepergian Syamsi untuk selamanya justru membuat Rumi menjadi sosok yang terkesan berantakan tapi sungguh kuat dan berani. Pengagum tarian sama’ yang bandel.
Kayyisah tercenung mendengar perkataanku. Aku mengatakan padanya bahwa dialah sosok Syamsi Tabriz itu di pandangan dan batinku. Memang aneh kedengarannya seperti seorang kekasih, namun persahabatan menurutku lebih dari kekasih. Karena Persahabatan yang indah itu kekal selamanya, menguatkan, dan membangun.
Seperti itulah Kayyisah di mataku. Sosok yang merubah hidupku. Mengajarkan kepadaku arti perjuangan. Walaupun sesungguhnya bukan secara nyata dia tunjukkan. Sikap dan diamnyalah mengajarkanku arti pahit hidup, buahnya begitu manis.
Kalau diingat,  saat-saat bersamanya. Walaupun tidak banyak waktu untuk bersama. Namun begitu membekas di hati. Pada akhirnya kepergiannya dari sisiku. Membuat aku semakin kuat, lebih berani, dan gila menulis. Terkadang mentari begitu mengerti arti kehidupan. Bagaikan angin mencari makna air. Dia pun berlalu bagaikan angin. Namun membekas.
Aku mengetahui keinginan Ayyis. Ayyis begitu berambisi ke Mesir. Aku menemukan buku diarinya. Tulisan itu bertuliskan dua baris. “Rahmah El-Yunusiyah adalah perempuan pertama yang mendapat gelar syaikhah dari Universitas Al-Azhar.”
***
 Bukan aku tak ingin bersama. Cara pandang kita berbeda. Jalan kita sudah berbeda. Bukan Ayyis yang kukenal. Mata tak lagi menatap pada tujuan yang sama. Bukan aku hendak berseberangan. Tidak menyatukan perasaan hati. Bagiku telah menjadi sulit untuk bertemu lagi. Lilin-lilin yang semula hidup. Perlahan telah habis. Begitu juga dengan usiaku. Masihkah waktu menjawabnya. Sementara hidup berputar. Dan mati.
Aku mendengar di sebuah stasiun televisi. Kayyisah telah menjadi orang. Dosen di Universitas Al-Azhar yang berpengaruh itulah pekerjaannya saat ini. Sebentar lagi dia akan mendapat gelar Profesor dan telah memiliki satu orang anak.
Aku berjalan. Pergi dari ranah minang. Mencoba untuk merantau. Aku selalu mengingat pepatah minang di ma bumi di pijak di situ langik dijunjuang.  Bukan ke Mesir tujuanku. Namun ke Rusia. Mengadu nasib di negeri orang. Mencari pengalaman hidup. Aku akan kembali ke ranah minang. Seperti janjiku.
Aku kecewa dengan Kayyisah. Keberhasilan telah melupakan dirinya sendiri. Negeri orang  membutakan matanya. Dia malah memajukan negeri orang. Kampungnya yang butuh pendidikan ilmu keislaman yang utuh. Nilai-nilai moral yang tercabik zaman. Tak berniatkah sedetik pun di hatinya ranah Minang nan tercinta–melakukan perubahan. Kacang alah lupo jo  kuliknyo. Begitu orang minang mengistilahkan dengan anak yang telah lupa di mana dia berasal.
***
Mimpimu menjadi kenyataan, Ayyis. Hatiku tercabik-cabik mendengar keputusanmu. Kau bilang itu adalah hidupmu. Aku bisa apa lagi. Cukup sudah itu adalah perkataan terakhirku padamu.
Ayyis. Aku telah lama menunggumu. Perjuanganku. perjalananku ke barat. Tak membutakan mata hatiku. Karena aku ingat dengan diriku. Siapa aku. Ke mana aku mengabdi. Minang melekat di dinding jantungku. Minang mengalir seperti darahku. Jika aku tak kembali, sama saja aku telah merobohkan dinding kehidupanku sendiri.
Ayyis. Aku tetap di ranah Minang. Kau telah lupa dengan janjimu. Kau tidak  pernah kembali. Aku tetap menjadi diriku sendiri.
***


[1] Dan bahwasanya Dialah Tuhan (yang memiliki) bintang syi’ra. (Q.S. An-Najm: 49)
[2] Nama bintang kartika di dalam kamus al-Munawwir (Indonesia-Arab). Bintang tujuh (falak) di dalam kamus al-Bhisri (Arab Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar