MENGARANG DENGAN ILHAM

Melihat, mengalami, merasakan dan membaca.
Menjadi SASTRAWAN

Kamis, 07 Juni 2012

PROFESIONALISASI DALAM PROSES PENDIDIKAN



A. Situasi  Pendidikan
Menurut Prof.Dr.H.Ramayulis dalam resumenya situasi pendidikan menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a)   Situasi pendidikan terbentuk atas hubungan social antara dua (atau lebih )orang, keduanya membangun hubungan pendidikan. Satu orang mempengaruhi orang yang satu lagi, orang yang stu disebut peserta didik dan yang satu lagi adalah pendidik.
b)   Pendidik memandang dan memperlakukan peserta didik sebagai manusia berderajat paling tinggi dan paling mulia diantara makhluk-makhluk lainnya dengan HAM dan HMM yang penuh. Meskipun individu yang satu berbeda dengan individu yang lainnya, perlakuan pendidik terhadap mereka (peserta didik)tidak boleh dibedakan. Pelayanan unggul dilakukan untuk semua peserta didik dengan tidak membedakan antara individu peserta didik yang satu dangan yang lainnya.
c)   Kegiatan pendidikan yang terlaksana dalam situasi pendidikan merupakan peristiwa yang istimewa dan unik untuk kepentingan peserta didik yang sedang mengembangkan potensi yang ada pada dirinya.
d)   Situasi pendidikan mengandung komponen pokok yaitu:
1.   Peserta didik
Peserta didik adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik. Pertumbuhan menyangkut fisik, perkembangan menyangkut psikis.
2. Pendidik
Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dalam mengembangkan potensinya, dan dalam pencapaian tujuan pendidikan baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.[1]
3.Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk pengembangan intelengisia siswa, yang berakhlak mulia, berilmu pengetahuan, bertaqwa kepada Allah, untuk mencapai insan kamil, dan untuk pembentukan kepribadian yang utuh.[2]

4.Proses pembelajaran
Pada hakikatnya belajar adalah suatu proses yang dilalui oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungan. Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dapat terjadi melalui usaha mendengar, membaca mengikuti petunjuk,mengamati, memikirkan, menghayati, meniru, melatih, atau mencoba sendiri dengan pengajaran atau latihan.[3] Yang mana keempat komponen itu adalah syarat dengan unsur-unsur harkat dan martabat manusia (HMM) dengan kandungan hakikat manusia, lima dimensi kemanusiaan  dan pancadaya.[4]
e). Proses pembelajaran dengan perangkat pendidikannya merupakan landasan atau wahana dengan muatan tujuan pendidikan yang terselanggarakan demi pengembangan secara utuh, hakikat manusia dengan kelima dimensi kemanusiaan dan pancadaya peserta didik.
f).Secara operasional, proses pembelajaran pada dasarnya mengarah kepada pengembangan ranah daya taqwa, daya cipta, daya karsa dan daya karya untuk mengisi kelima dimensi kemanusiaan secara utuh, agar mampu menjadi manusia yang bertaqwa dan beriman kepada Allah sebagai makhlukNya dengan ber’ubbudiyah dalam bentuk beramal sholeh Dua pilar perangkat pendidikan dalam proses pembelajaran adalah :
1. Kewibawaan dengan unsur-unsur penerimaan dan pengakuan, kasih sayang dan kelembutan, penguatan, tindakan tegas yang mendidik, pengarahan dan keteladanan.
2. Kewiyataan dengan unsure-unsur materi pembelajaran, metode pembelajaran, alat bantu pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran.
Kaidah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani  menjiwai unsure kewibawaan dalam proses pembelajaran, dan kaidah alam takambang jadi guru menjiwai kewiyataan.
            g). Komponen dan unsure-unsur yang membentuk keilmuan pendidikan dikategorikan sebagai pedagogic mikro situasi pendidikan, ditambah dengan kajian tentang hakikat dan martabat manusia (HMM) dan bidang-bidang keilmuan, teknologi, seni dan agama yang menunjang keilmuan pendidikan, maka terbentukalah apa yang disebut pedagogic makro.[5]
B.  Komformitas dalam Pendidikan
Komformitas adalah suatu jenis pengaruh social dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma social yang ada. Dalam hubungan pendidikan dapat terjadi komformitas oleh peserta didik terhadap pendidik. Komformitas itu boleh jadi banyak diwarnai oleh dominasi kekuasaan dan kewibawaan pendidik, namun hal yang sebaik-baiknya terjadi apabila komformitas itu didasarkan pada proses internalisasi pada diri peserta didik.
Komformitas terjadi pada peserta didik sebagai hasil pengaruh dari pendidik, pendidik disatu pihak sebagai orang yang dipengaruhi dan pendidik disisi lain sebagai orang yang mempengaruhi. Dengan demikian, komformitas ini penting artinya dalam proses pendidikan karena peserta didik perlu berkomformitas dengan pendidik yang mempengaruhinya. Pendidikan sangat berkepentingan agar peserta didik mau berkomformitas  terhadap pendidiknya karena tanpa komformitas tidak mungkin terjadi proses pembelajaran agar tercapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Menurut Prayitno (2008) ada tiga tipe komformitas, yaitu komformitas membabi buta, komformitas identifikasi, dan komformitas internalisasi.
1.      Komformitas Membabi Buta
                  Komformitas membabi buta didominasi oleh kekuasaan yang ada pada pendidik yang mengakibatkan penyerahan diri peserta didik kepada pendidik. Pendidik memposisikan dirinya sebagai penguasa yang memberikan sanksi, mengancam, dan menghukum peserta didik apabila melanggar aturan atau tidak mengikuti kehendak guru. Memberikan imbalan atau hadiah semata-mata hanya untuk membina kepatuhan peserta didik terhadap aturan yang dibuat pendidik itu dengan semena-mena, tanpa mengacu kepada kode etik seorang guru yang professional.Situasi pendidikan yang tercipta adalah situasi otoriter yang membentuk manusia dengan pribadi pasrah, patuh, penurut dan takluk kepada aturan pendidik.
2.      Komformitas Identifikasi
Komformitas identifikasi disemangati oleh karisma yang ada pada diri pendidik yang mengakibatkan peserta didik mengikuti secara suka rela pendidiknya itu. Pendidik yang kharismatik memungkinkan terciptanya suasana pendidikan yang diterima oleh peserta didik. Mereka senang, merasa diterima, dibimbing dan diayomi oleh guru dengan baik, dan hubungan keduanya makin dekat.Pendidik kharismatik menanamkan kebenaran, ilmu dan pengetahuan, dan lain sebagainya kepada peserta didik. Situasi pendidikan yang tercipta membius peserta didik kearah genggaman erat pendidik yang bisa menghambat kemandirian peserta didik.
3.      Komformitas Internalisasi
Komformitas internalisasi didasarkan pada sikap dan perlakuan demokratik pendidik terhadap peserta didik yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berpikir, merasa dan berpengalaman sendiri atas apapun yang ia terima dari pendidik. Peserta didik bebas menentukan akan  bersikap bagaimana tanpa disuruh-suruh, apalagi dipaksa, atau juga tidak dilarang-larang oleh pendidik. Komformitas internalisasi mendorong  inisiatif dan kemandirian peserta didik itu sendiri.
Pendidik bersifat numanis demokratik menekankan komformitas internalisasi bagi peserta didiknya. Pendidikan mendorong berkembangnya potensi yang ada pada peserta didik. Situasi pendidikan mendorong dan menyerahkan kesempatan pengembangan kemandirian peserta didik kepada peserta didik itu sendiri.Proses internalisasi melalui komformitas pada diri peserta didik berlangsung melalui diaktifkannya kekuatan yang ada pada mereka (peserta didik), yaitu kekuatan berpikir, merasakan dan berpengalaman yang semuanya itu terpadu dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang matang terhadap apa yanga akan dilakukan. Proses internalisasi itu akan memperkembangkan peserta didik melalui suasana yang bebas, serta menjujung tinggi harkat martabat manusia (HMM) peserta didik itu sendiri dalam hal ini pengembangan panca daya.
C.    Pengakuan dan Penerimaan dalam Pendidikan
Pengakuan guru dalam pendidikan dapat diartikan sebagai suatu perasaan tulus yang muncul dari diri pendidik untuk mengakui dan menganggap mereka  (peserta didik)sebagai anak yang butuh bimbingan, arahan, dan pendidikan untuk menjadi manusia dewasa, semua itu tidak akan dapat terwujud tanpa adanya pengakuan dan penerimaan pendidik didalam dirinya untuk mengajar dan mendidik mereka dan juga tidak akan tumbuhnya hubungan yang dinamis dan menyejukkan dalam proses pembelajaran.
Oleh sebab itulah penting dan adanya penerimaan dan pengakuan dari pendidik terhadap peserta didik dan sebaliknya peserta didik juga harus ada pengakuan dan penerimaan didalam diri mereka bahwa pendidik adalah pengganti orang tua dirumah yang akan mendidik mereka (peserta didik).
Ketika guru hadir bersama peserta didik disekolah, didalam jiwa seharusnya sudah tertanam niat untuk mendidik peserta didik menjadi orang yang berilmu pengetahuan, mempunyai sifat dan watak yang cakap dan terampil, bersusila dan berahklak mulia.[6]
Peristiwa pendidikan mempersyarakatkan penghormatan dan pengakuan dari dan kedua pihak, yaitu pendidik dan peserta didik. Dasar penghormatan dan pengakuan itu bukanlah kekuasaan ataupun karisma pendidik, melainkan kemampuan internal peserta didik. Atas dasar penghormatan dan pengakuan internal peserta didik itulah pendidik memperkembangkan peserta didik melalui upaya pendidikan.
Dan pada diri peserta didik sendiri juga terdapat perbedaan dalam perkembangannya diberbagai bidang. Anak berbakat mungkin cepat berkembang intelektualnya akan tetapi ketinggalan dalam aspek social emosional. Anak yang cepat berkembang secara fisik, akan sulit mengikuti pembelajaran akademis. Kepandaian anak dalam suatu bidang akan berbeda dengan penguasaan pada bidang lain.[7]
Penerimaan pendidik terhadap peserta didik secara tulus dan apa adanya, untuk menumbuhkan kedekatan antara pendidik dan peserta didik dalam suasana segar, dinamis dan menyenangkan. Kedekatan itu tidak harus bersifat fisik, pendidik dapat “mewakilkan” dirinya dalam bentuk sumber dan media pendidikan, unit labolatorium, perangkat keras dan perangkat lunak baik tertulis, melalui rekaman video-audio  maupun bentuk-bentuk hasil rekayasa elektronik lainnya. Hubungan antara media pendidikan (sebagai pendidik) dan penggunanya (peserta didik) memerlukan persyaratan tertentu agar hubungan itu efektif sebagai upaya pendidikan.
Hubungan antara pendidik dan peserta didik haruslah mengarah kepada tujuan-tujuan ekstrinsik yang bersifat pamrih untuk kepentingan pribadi pendidik. Pamrih-pamrih yang ada, selain dapat merugikan dan membebani peserta didik, merupakan pencenderaan terhadap makna pendidikan dan menurunkan kewibawaan pendidik.
Pendidikan harus responsive dan gemar membantu peserta didik, bantuanitu lebih diutamakan yang bersifat social-psikologis akademik, bukan materilial-ekonomis-fisik, intensitas bantuan itu harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik, tidak terksan memanjakan (karena terlalu banyak) atau mengabaikan (karena terlalu sedikit). Kewibawaan pendidik dalam proses pendidikan terletak pada kemampuannya mengembangkan:
1.      Penghormatan antara pendidik dan peserta didik.
2.      Pengakuan positif antara pendidik dan peserta didik.
3.      Kedekatan antara pendidik dan peserta didik.
4.      Hubungan tanpa pamrih dari pendidik terhadap peserta didik.
5.      Sikap responsive dan pemberian bantuan dari pendidik kepada peserta didik.
6.      Kedekatan pendidik terhadap peserta didik yang penuh dengan nuansa pendidikan akan berimbas kepada peserta didik untuk bersikap positif terhadap peserta didik sejalan dengan isi, warna, dan norma kedekatan pendidik itu. [8]
Hal yang perlu dilakukan pendidik dalam proses pembelajaran:
a.       Hubungan pendidik dengan peserta didik atas dasar penghormatan dan pengakuan. Jadi jika ada peserta didik yang berinisiatif mencoba berperan sebagai pemimpin, maka pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik dengan senang hati, karena kepemimpinan adalah potensi yang juga harus dimiliki peserta didik secara utuh 
b.      Adanya pengakuan dari pendidik bahwa mereka (peserta didik) memiliki potensi, kamampuan, semangat untuk berkembang dalam pencapaian  tujuan PBM (proses belajar mengajar).
c.       Penerimaan peserta didik terhadap pendidik seharusnya secara suka rela, senang dan adanya unsure kepercayaan. Oleh sebab itu setiap peserta didik diberikan kesempatan yang sama  dan pendidik hrus mampu mengembangkan proses pembelajaran secara demokratis.
d.      Terciptanya  hubungan antara pendidik dengan peserta didik baik kedekatan fisik maupun kedekatan psikologis. Untuk membangunnya adanya pengakuan dan penerimaan yang tulus, terbuka, saling memberi dan menerima diantara keduanya.
e.       Tumbuhnya rasa yang mengesankan antara pendidik dengan peserta didik, dimana saat peserta didik harus berpisah dengan peserta didik demi untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Namun  itu semua tidak akan pernah terlupakan karena pndidik adalah figure yang hamper sama kedudukannya dengan orang tua, yang berusaha dengan sepenuh hati untuk mendidik dan mendewasakan peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu pengetahuan yang luas dan berahklak mulia dan berguna bagi bangsa dan negara.   
f.       Selalu meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan baik dibidang akademik, kompetensi, dan pendidikan profesi untuk menjadi guru yang professional dan untuk membentuk kompetensi  dan kemandirian peserta didik.[9]
g.      Guru harus mampu merancang strategi pembelajaran dengan sebaik-baik mungkin untuk meningkatkan minat dan semangat peserta didik dalam mengikuti proses belajar mengajar.
h.      Guru juga harus berinteraksi dengan peserta didik didalam proses belajar mengajar yang  lebih intensif (sering), seperti tanya jawab menyangkut materi yang diajarkan. Hal ini juga akan menambah kedekatan antara pendidik dengan peserta didik dan mampu merubah suasana belajar yang tadinya fakum menjadi hidup, dengan diadakan tanya jawab maka peserta didik merasa aktif dan berperan dalam pembelajaran.
i.        Guru merupakan salah satu dari sekian banyaknya sumber belajar. Didalam mengajar guru yang profesional harus mampu mentransfer ilmu kepada siswa berupa memberi materi, tanya jawab, demonstrasi, hubungan interaktif, konsultasi antara siswa dengan guru berupa motivasi saling mengarahkan dan lain sebagainya.[10]
 Menurut Gary dan Margenet bahwa guru yang efektif dan kompeten secara profesinalis memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki kemampuan menciptakan iklim belajar yang kondusif, (2) kemampuan mengembangkan strategi dan manajemen pembelajaran, (3) memiliki kemampuan memberikan umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), dan (4) memiliki kemampuan  untuk peningkatan diri.
Kemampuan menciptakan iklim belajar yang kondusif, antara lain:
1)      Kemampuan interpersonal untuk menunjukkan empati dan penghargaan kepada peserta didik
2)      Hubungan baik dengan peserta didik
3)      Menerima dan memperhatikan peserta didik dengan tulus
4)      Menciptakan iklim untuk tumbuhnya kerjasama
5)      Melibatkan peserta didik dalam mengorganisasikan dan merencanakan pembelajaran
6)      Mendengarkan dan menghargai hak peserta didik untuk berbicara dalam setiap diskusi
7)      Meminimalkan bahkan mengeliminasi setiap permasalahan yang sering terjadi dalam pembelajaran.
Kemampuan dalam mengembangkan strategi dan manajemen pembelajaran, berkaitan dengan  hal-hal sebagai berikut:
1.      Kemampuan untuk menghadapi dan menangani peserta didik  yang bermasalah seperti peserta didik yang suka menyela, mengalihkan pembicaraan
2.      Mampu memberikan transisi substansi bahan ajar dalam pembelajaran
3.      Kemampuan bertanya yang memerlukan tingkat berfikir yang berbeda untuk semua peserta didik.
Kemampuan memberikan umpan balik dan penguatan seperti berikut:
1)   Memberikan umpan balik yang positif terhadap respon peserta didik
2)   Memberikan respon yang sifatnya membantu terhadap peserta didik yang lamban belajar
3)   Memberikan tindak lanjut terhadap jawaban peserta didik yang kurang memuaskan
4)   Kemampuan memberikan bantuan professional kepada peserta didik jika diperlukan.
Kemampuan untuk peningkatan diri yaitu antara lain:
1)      Menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif
2)      Memperluas dan menambah pengetahuan tentang metode pembelajaran
3)      memanfaatkan kelompok (KKG) untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang relevan.
Dalam proses pembelajaran pada satuan pendidikan manapun, khususnya di sekolah dasar, guru memiliki peran yang penting (urgen) dan strategis, dan tidak dapat digantikan oleh mahkluk apapun, termasuk teknologi. Oleh karena itu, berbagai uapaya untuk meningkatkan kualitas dan dilakukan secara terus menerus, dan berkesinambungan, termasuk pengembangan standar kompetensi dan sertifikasi guru.[11]





  


DAFTAR PUSTAKA
Afnibar. Memahami Profesi dan Kinerja Guru. Jakarta: PT The Minangkabau Foundation. 2005
Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,Jakarta: Pustaka Al Husna. 1988
Mulyasa. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offest. 2008
Nasution. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 1994
Prayitno. Dasar Teori dan Praktis Pendidikan. Padang: Universitas Negeri Padang. 2008
Ramayulis. Profesi Keguruan (Resume Materi Perkuliahan)
Ramayulis.  Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2002
Syaiful Bahri Djamarah. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003
\





[1] ) Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,( Jakarta: Pustaka Al Husna. 1988 ) hal. 147
[2] Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta: Kalam Mulia, 2002) h.145
[3]  Ibid. hal 235
[4]  Prayitno, Dasar Teori dan Praktis Pendidikan, (Padang: Universitas Negeri Padang. 2008)
[5]  Prof. Dr. H. Ramayulis, Profesi Keguruan (Resume Materi Perkuliahan), h.6-7
[6]  Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hal. 3-4
[7] S.Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994) hal.99
[8] Prof. Dr. H. Ramayulis, Profesi Keguruan (Resume Materi Perkuliahan), hal.10-11
                                   
[9] Dr. E. Mulyasa, M.Pd, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offest, 2008) h.8
[10] Dra. Afnibar, M.Pd, Kons, Memahami Profesi Guru dan Kinerja Guru, (Jakarta Barat: PT The Minangkabau Foundation, 2005)hal 53-58
[11] Dr. E. Mulyasa, M.Pd, op cit.  hal .21-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar