Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah radhiallâhu 'anhu
"
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah
telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang
daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan
merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan
Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang
beruntung ". (Q.,s.58/al-Mujaadalah:22).
Menurut
beberapa ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abu 'Ubaidah
ibnul Jarrah.
Abu
'Ubaidah ibnul Jarrah
Ibnul
Jarrah adalah seoerang panglima yang cerita kemenangan dan suksesnya menjadi
pembicaraan dunia. Ia adalah seorang yang mengesampingkan gemerlapnya dunia
yang palsu dan menerjunkan dirinya ke dalam berabagai medan perang mencari mati
syahid, tetapi selalu saja Allah memberinya hidup.
Dia
seorang yang kuat yang dapat dipercaya, yang pernah dipilih oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi guru di Najran dan salah seorang diantara
sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan surga.
Dia
adalah soerang panglima yang pernah memohon kepada Allah supaya hari
terakhirnya ditentukan di tengah-tengah tentaranya. Allah berkenan mengabulkan
permohonannya itu.
Itulah
garis-garis besar kepribadian amiinul ummah "kepercayaan umat Islam",
Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah, penyebar kalimat "Allahu Akbar" di negeri
Syam dan sekitarnya.
Ada
orang yang bertanya kepada Abdullah bin Umar, "bagaimana dengan Ibnul
Jarrah?".
"Rahimahullah!
Dia seorang yang selalu berwajah cerah, baik akhlaknya dan seorang
pemalu", jawab Abdullah.
Sejarah
tidak mencatat masa-masa mudanya bersama dengan rekan-rekan sebayanya, tetapi
sejarah merekam semua langkahnya ketika menuju ke Baitul Arqam, bergabung
dengan kelompok orang-orang Mukmin yang telah memilih Islam sebagai agamanya,
beriman kepada Allah sebagai Tuhannya, dan menerima Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam sebagai nabi dan rasulNya.
Menurut
sejarah, Ibnul Jarrah tergolong orang pertama y ang menyambut seruan Islam. Ia
bersama beberapa orang rekannya; Utsman bin Mazh'un, 'Ubaidah ibnul Harits bin
Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, dan Abu Salamah bin Abdul Asad, pergi
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebelum beliau membukan sekolah
dan dakwahnya di Darul Arqam. Beliau menawarkan Islam kepada mereka dan
membentangkan apa-apa yang berkenaan dengan agama itu, lalu mereka menerima
tawaran itu dengan puas dan ikhlas. Sejak saat itulah, ia dan rekan-rekannya
itu menjadi manusia baru, seakan-akan terputus hubungannya dengan manusia lama
yang bergelimang kejahiliahan dalam keyakinan dan penyembahan berhala.
Pada
waktu kaum Quraisy memaklumkan perang terhadap kelompok orang mukmin yang tiada
berdaya dan berdosa, dengan melakukan pengejaran dan penyiksaan di luar abatas
kemanusiaan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memberikan izin kepada
kelompok itu berhijrah ke Habasyah. Diantara para Muhajirin yang menyelamatkan
agamanya dari keganasan kaum Quraisy itu ialah Abu 'U baidah ibnul Jarrah.
Meskipun
sambutan dan penerimaan raja Habasyah sangat baik terhadap mereka, mereka
diterima dengan hormat dan didekatkan dari majelisnya, semua kebutuhan dan
hajat keluarganya dipenuhi, baik moral maupun material, namun semua itu tidak
berarti bagi mereka daripada kehidupan di dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam ; setiap hari mengikuti pelajaran dan bimbingannya, dalam upaya
mempertebal keimanannya. Tidaklah heran, ketika mereka mendengar berita bahwa
telah dicapai kesepakatan antara Muhammad dan kaum Quraisy, berita gembira itu
membangkitkan semangat mereka untuk segera pulang kembali ke Mekkah tanpa
mengecek kebenarannya lagi. Setibanya mereka disana, mereka malah mendapat
penyiksaan yang lebih ganas dari kaum Quraisy, sampai ada diantaranya yang
tewas oleh dendam hitam yang memenuhi lubuk hati musuh terhadap tunas dakwah
yang baru merintis itu.
Akibat
teror ganas kaum Quraisy itu, penduduk kota Mekkah hidup dalam ketakutan dan
kegelisahan yang tiada terperikan. Ibnul Jarrah tak lama tinggal di Mekkah,
begitu pula rekan-rekannya yang lain. Kaum Quraisy mengetahui bahwa Muhammad
berhasil keluar menembus kepungannya dan pergi berhijrah ke Yatsrib, tempat
yang dijadikan model dan landasan bertolak nya Islam dan kaum Muslimin, negara
tempat menggembleng para pahlawan, negarawan, alim ulama yang akan dilepaskan
ke seluruh penjuru dunia untuk membimbing dan memimpin umat manusia ke
jalan Tuhan Yang Maha Satu, dengan rasa puas dan ikhlas.
Jalan
antara Mekkah dan Yatsrib menjadi saksi ketika Ibnul Jarrah melepaskan kendali
kudanya menggulung bumi dan bersaing dengan angin, mengikuti jejak
rekan-rekannya yang sudah mendahuluinya ke Yatsrib. Ketika sampai di
hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di Madinah, ia hampir tidak
dikenal lagi karena debu padang pasir yang ditempuh tanpa henti hampir menutupi
wajahnya. Setiba di sana, ia disambut baik oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam dan dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Mu'az.
Saad
bin Mu'az adalah orang yang telah mempersembahkan diri dan harta bendanya di
jalan Allah dan tidak sudi berkompromi dengan kaum Yahudi, sesudah mereka
mengkhianati perjanjian yang sudah mereka tanda tangani bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam, sehingga ia terluka parah dalam perang Ahzab. Ia
memohon kepada Allah Ta'ala agar jangan dimatikan sebelum matanya puas melihat
Yahudi Bani Quraizhah dihukum. Ternyata, Allah mengabulkan doanya. Bani
Quraizhah menolak keputusan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan minta
diputuskan oleh Sa'ad bin bin Mu'az, bekas sekutu mereka. Akhirnya, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam meminta supaya Sa'ad memberikan keputusannya.
Diputuskanlah; semua laki-laki Bani Quraizhah dibunuh, kaum wanita dan
anak-anaknya ditawan dan harta bendanya dirampas.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam berkomentar atas keputusan Sa'ad itu, "engkau
telah memberikan keputusan dengan hukum Allah dari atas langit yang ke
tujuh".
Sejak
menginjakkan kakinya di Yatsrib, sejak itu pulalah Abu 'Ubaidah mnganggap bumi
itu sebagai tanah air agama dan dirinya yang harus dipertahankan mati-matian.
Ia melakukan tugas kewajibannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Hal
ini terlihat dari tidak pernah absennya di semua peperangan bersama dengan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Dalam
perang Badar, ia selaku tentara, harus senantiasa patuh kepada perintah
panglimanya. Sebagai seorang mukmin, ia mempunyai pandangan, sikap dan garis
tegas yaitu bahwa semua yang berperang di bawah panji Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam yang mengucapkan kalimat tauhid, mereka adalah
saudara, keluarga dan kawan-kawannya, meskipun berbeda asal-usul, warna kulit
dan darahnya. Semua yang berperang di bawah bendera Quraisy atau sekutu mereka,
mereka adalah musuh aqidah dan lawan dirinya, meskipun mereka keluarga
terdekatnya.
Dengan
logika dan pemahaman seperti itu terhadap aqidah dan agamanya, dan perannya
sebagai seorang mukmin, maka ketika ia melihat ayahnya ikut menghunus pedang di
tengah-tengah pasukan kaum musyrikin, membunuh saudara-saudaranya sesama
mukmin, majulah ia menghampirinya, tetapi ayahnya menghindarinya. Walaupun
demikian, ia mengejarnya dan memberikan pukulan yang mematikan.
Ayahnya
adalah kafir, menyekutukan Tuhannya dengan yang lain; kafir terhadap Tuhan Yang
menciptakannya; ia mengangkat senjata hendak menumpas agama Tuhannya dan para
pendukung agama tersebut. Oleh karena itu, ia sudah tidak berguna lagi bagi
Tuhannya. Siapa yang hidupnya sudah tidak berguna bagi Tuhannya niscaya tidak
berguna juga bagi seluruh umat manusia.
Dalam
perang Uhud, ketika peperangan itu sudah mencapai puncaknya, dimana pihak musuh
sudah berhasil mengepung ketat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan
menjadikan beliau sebagai sasaran tunggal anak panah dan senjata lainnya, Abu
'Ubaidah dan beberapa orang rekannya menghunus pedangnya untuk melindungi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dari serangan ganas musuh sehingga
darah mengucur dari wajah beliau dan beliau mengusahpnya dengan tangan kanannya
seraya mengucapkan, "Bagaimana suatu kaum akan menang sedangkan mereka
membiarkan nabi yang menuntunnya kepada Tuhannya lerluka wajahnya?".
Abu
Bakar ash-Shiddiq radhiallâhu 'anhu melukiskan peran yang dimainkan Abu
'Ubaidah dalam perang Uhud itu, "pada waktu itu, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam terkena dua kali bidikan anak panah pada tulang pipinya, lalu
aku segera pergi menghampirinya. Ternyata dari sebelah timur ada orang lain
yang mendahuluiku, menghampirinya dengan cepat pula. Aku berkata, "Ya
Allah, jadikanlah hal itu sebagai kepatuhan kepada Mu".
Sesudah
itu, sampailah aku di dekat Rasulullah. Aku melihat Abu 'Ubaidah sudah sampai
terlebih dahulu, lalu ia berkata, "Ya Abu Bakar, aku mohon kau membiarkan
aku melepaskan panah itu dari wajah Rasulullah !". Aku membiarkan Abu
'Ubaidah melepaskan mata anak panah itu dengan gigi depannya dan ia
berhasil mencabutnya, tetapi ia terjatuh ke tanah dan giginya pun patah.
Selanjutnya,
ia mencabut mata anak panah yang kedua hingga gigi depannya yang satunya patah
juga. Sejak itu, Abu 'Ubaidah ompong gigi depannya.
Dalam
perang Dzatus Salaasil, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menugaskannya
memimpin pasukan para shahabatnya (diantaranya Abu Bakar dan Umar) sebgai bala
bantuan untuk Amru bin Ash. Setibanya pasukan itu, Amru berkata kepadanya,
"Ya Aba 'Ubaidah, kau didatangkan sebagai bala bantuan untuk
pasukanku".
Abu
'Ubaidah menjawab, "Tidak.. Aku dengan pasukanku dan kamu dengan
pasukanmu, masing-masing memimpin pasukannya".
Amru
bin Ash menolak adanya banyak pemimpin, ia tetap menganggap pasukan Abu 'Ubaidah
yang baru datang itu harus ada di bawah pimpinannya sebagai bala bantuan.
Abu
'Ubaidah berkata, "Ya Amru, Rasululllah Shallallahu 'alaihi wasallam
melarangku , kalian berdua jangan berselisih!. Apabila engkau membangkang
kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu!".
Alangkah
indahnya kata-kata dan sikapnyaitu?".
Demikianlah,
Islam berhasil menciptakan manusia model, insan kamil yang diasuh Tuhannya, ruh
dan kalbunya dimumikan dari sifat-sifat kebumian dan keremehan manusiawi.
Alangkah
jujurnya kata-kata itu dalam nilai kejantanan seseorang, "kalau kau
membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu", pada saat
kepentingan jamaah kaum muslimin dan agama Islam menuntut persatuan dan
kekompakan.
Pada
suatu waktu, datanglah perutusan dari Najran kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam meminta supaya bersama mereka dikirimkan seorang agama, mengajarkan
hukum-hukum syariat kepada mereka, dan merangkap sebagai penengah (hakim)
apabila terjadi perselisihan antara mereka.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam berjanji kepada mereka, "nanti malam, kalian
datang kembali, aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang
terpercaya".
Umar
ibnul Kaththab bercerita tentang hal itu, "aku belum pernah ingin
mendapatkan pangkat lebih dari itu apda waktu itu, mudah-mudahan akulah orang
yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam itu, Aku pergi
menantikan waktu zhuhur. Sesudah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
selesai shalat zhuhur, beliau menoleh ke kanan dan ke kiri seperti ada yang
dicari. Aku menjulurkan kepalaku supaya beliau melihatku, tetapi beliau masih
saja mencari hingga beliau melihat Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah, lalu beliau
berseru: "kau pergi bersama mereka dan putuskan sengketa yang terjadi
antara mereka dengan sebenar-benarnya".
Demikian
keterangan yang jujur dari Umar ibnul Khaththab.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tiap-tiap umat memiliki orang
kepercayaan dan kepercayaan umat ini adalah Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah".
Tepat
sekali sebda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam itu, ibnul Jarrah adalah
seorang kepercayaan dalam akhlaknya, tidak seorang muslimpun merasa dirugikan
olehnya.
Ia
kepercayaan dalam agamanya, ia berusaha keras menggalakkan dakwah secara
merata. Ia kepercayaan dalam memelihara batas-batas negara sehingga semua pihak
menghargai kewibawaan dan kekuasaannya.
Bagaimana
tidak demikian, dia adalah salah seorang dari sepuluh orang pertama yang masuk
Islam dan salah seorang dari sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan
surga.
Sesudah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam wafat, banyak orang yang datang hendak
membaiat Abu 'Ubaidah menjadi khalifah, tetapi ia menjawab, "apakah kalian
datang kepadaku sedangkan di tengah-tengah umat ini masih ada orang yang
ketiga".
Yang
ia maksudkan adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sesuai dengan apa yang disabdakan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Bakar di Gua Hira', "Di
waktu dia berkata kepada temannya,'janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya
Allah beserta kita". (Q,,s. at-Taubah: 40).
Pada
waktu itu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu termasuk salah seorang yang
datang kepadanya, seraya berkata, "ulurkan tanganmu, aku akan membaiat
kau, hai kepercayaaan umat, seperti yang dikatakan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam ".
Abu
'Ubaidah, menjawab, "belum pernah aku meolihat kau tergelincir seperti
sekarang sejak engkau Islam. Apakah kau akan membaiatku, sedangkan ash-Shiddiq,
shahabat kedua Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di Gua Hira', ada di
tengah-tengah kita?".
Rupanya
teguran Abu 'Ubaidah itu menyadarkan Umar. Ia lalu mengirimkan orang untuk
memanggil Abu Bakar di rumah Aisyah, Ummul Mukminin, lalu ketiganya pergi ke
Saqifah Bani Saa'idah. Setibanya disana, mereka mendapatkan kaum Anshar sedang
melakukan rapat. Abu Bakar bertanya keheranan, "ada apa ini?".
Mereka
menjawab, "dari kami diangkat amir dan dari kalian juga diangkat
amir".
Abu
Bakar ash-Shiddiq berkata: "para amir dari kami dan para wazir (menteri)
dari kalian". Sambutnya lagi, "aku setuju kalau kalian mengangkat
salah seorang diantara dua orang ini; Umar ibnul Khaththab dan Abu 'Ubaidah,
kepercayaan umat ini".
Kedua
orang itu menyatakan, "Tidak mungkin ada seorangpun yang mengungguli
kedudukanmu, ya Aba Bakar!". Keduanya lalu membaiatnya.
Itulah
para pengikut dan shahabat Muhammad, yang telah mendapatkan gemblengan
Al-Qur'anul Karim dan mendapatkan rintisan tata cara hidup melalui petunjuk dan
pengajarannya.
Suatu
waktu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu selaku khalifah Islam mengangkat
Abu 'Ubaidah menjadi komandan pasukan kaum muslimin di Syam, menggantikan
Khalid bin Walid . Pada waktu itu, Khalid sedang ada di medan perang
menggempur musuh-musuh Islam. Ia tidak segera memberitahukan berita
pengangkatannya dan pemecatan Khalid itu, sebagai penghormatan dan penghargaan
atas jasa-jasanya. Sesudah Khalid mendengar berita pemecatannya dan
pengangkatan Abu 'Ubaidah sebagai penggantinya maka dalam serah terima jabatan
itu, Khalid berkata, "kini, telah diangkat untuk memimpin kalian
kepercayaan umat ini, Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah".
Abu
'Ubaidah menyambut perkataan itu, "aku mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Khalid adalah salah satu dari pedang-pedang
Allah, ya pemuda idaman".
Itulah
jabatan kepanglimaan, tetapi tidak menyombongkan mereka. Itulah kepangkatan dan
jabatan tinggi dunia, namun mereka tidak lupa daratan karena risalah atau misi
mereka terbatas dan tugas mereka jelas, seperti yang dikatakan Rabi' bin Amir,
"Allah telah mengirimkan kami untuk mengeluarkan orang yang Dia kehendaki
diantara hamba-hambaNya, dari mengabdikan diri kepada hambaNya kepada
pengabdian diri kepada Allah semata".
Kalau
jabatan dan kepangkatan tidak bisa menggiurkan dan menggugurkan mereka, begitu
pula dengan bujuk rayu dunia lainnya.
Pada
suatu waktu, Umar ibnul Khaththab mengirim uang kepada Abu 'Ubaidah sebesar
empat ribu dirham dan empat ratus dinar, lalu ia berpesan kepada pesuruhnya,
"perhatikan apa yang dilakukannya".
Sesudah
uang itu dibagi-bagikan, pesuruh itu melaporkan kepada khalifah Umar. Umar
berkata: "Alhamdulillah, yang menjadikan dalam kalangan kaum muslimin
orang yang melakukan hal itu".
Ketika
khalifah Umar datang ke negeri Syam, ia dijemput oleh para perwira militer dan
pejabat sipil. Ia bertanya, "mana saudaraku?".
Mereka
bertanya keheranan, "siapa dia, ya Amiral Mukminin?".
Ia menjawab,"Abu Ubaidah".
Mereka menjawab, "Ia segera datang".
Ia menjawab,"Abu Ubaidah".
Mereka menjawab, "Ia segera datang".
Tak
lama, ia datang dengan menunggang seekor unta, lalu ia memberikan salam kepada
khalifah. Khalifah lalu memerintahkan para penyambutnya pulang kembali dan
membiarkannya bersama Abu 'Ubaidah. Keduanya pergi ke rumah Abu 'Ubaidah.
Setiba di sana, Khalifah Umar tidak melihat sesuatu apapun selain pedang dan
perisainya. Umar bertanya kagum, "mengapa kau tidak memiliki sesuatu?".
Abu
'Ubaidah menjawab, "ya Amiral Mukminin, ini pun akan menghantarkan kita ke
tempat peristirahatan kita".
Umar
tidak melihat perabotan dan perhiasan mewah di rumahnya karena ia bukan seorang
yang senang duduk-duduk di rumah, tetapi seorang lapangan yang selalu memandang
jauh kepada apa yang ada di balik kehidupan ini. Adapun orang-orang yang suka
bergelimang dalam kesenangan hidup, mereka sudah terperangkap jaringan setan
yang sulit untuk membebaskan dirinya. Dia tahu menempuh jalan hidup dunia
menuju perumahan kehidupan abadi di akhirat.
Kalau
demikian watak keras dan kuat Abu 'Ubaidah menghadapi kehidupan ini, mendalam
pengertiannya menempuh hidup dan menghadapi orang hidup, konsekuen
mempertahankan kebenaran, maka dengan sendirinya ia tidak akan sudi berkompromi
dengan kebatilan dan bermanis-manis dengan kecurangan, tidak peduli kedudukan
dan asal-usul seseorang yang dihadapannya.
Pada
suatu hari, Jabalah ibnul Aiham, raja Ghassan, masuk Islam, sesudah menerima
baik surant Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang mengundangnya untuk
menganut agama itu. Pada suatu waktu ia berjalan di pasar kota Damaskus,
tiba-tiba kakinya menginjak kaki Muzniah, lalu ia langsung menampar Jabalah.
Muzniah lalu digiring kepada Abu 'Ubaidah untuk diadili. Mereka berkata,
"tuan Hakim, orang ini telah menampar raja Jabalah".
"Dia
harus ditampar juga!".
"Apa tidak dibunuh?".
"Tidak".
"Apa tidak dipotong tangannya?".
"Tidak, Allah hanya memerintahkan dilakukan qishash, ditindak sama dengan perbuatannya".
"Apa tidak dibunuh?".
"Tidak".
"Apa tidak dipotong tangannya?".
"Tidak, Allah hanya memerintahkan dilakukan qishash, ditindak sama dengan perbuatannya".
Jabalah
berkata, "apakah kalian mengira aku mau menjadikan wajahku perumpamaan
bagi wajah nenek moyangku?". Ia lalu meurad kembali menjadi Kristen dan
pergi menyeberang bersama kaumnya ke negeri Romawi.
Negeri
Syam hamnpir seluruhnya ditaklukkan, tinggal beberapa buah benteng musuh yang
masih dipertahanka. Ketika pasukan Islam di bawah pimpinan panglimanya, Abu
'Ubaidah, hendak memulai pertempuran baru untuk merebut benteng-benteng yang
masih dipertahankan musuh itu, tiba-tiba terjadi serangan penyakit menular
hebat di kalangan pasukan kaum muslimin. Mendengar berita mengerikan itu,
Khalaifah Umar ingin menyelamatkan Abu 'Ubaidah dari cengkeraman maut itu, lalu
ia menulis surat memerintahkan supaya ia keluar dari negeri itu. Isi surat itu
antara lain:
"Salam
sejahtera kepadamu. Lain dari itu, akau ingin menawarkan sesuatu kepadamu,
harapanku apabila engkau menerima suratku ini supaya lekas-lekas datang
menghadapku !".
Abu
'Ubaidah paham maksud Khalifah itu, lalu ia membalasnya,
"Ya
Amiral mukminin, aku sudah paham maksudmu. Aku ada di tengah-tengah pasukan
kaum muslimin, tidak bermaksud mengutamakan keselamatan diri atau memisahkan
diri dari mereka, hingga Allah menentukan apa yang Dia kehendaki terhadapku dan
mereka, dan bebaskanlah aku dari tawaran dan harapanmu itu!".
Abu
'Ubaidah rahimahullah wafat karenba penyakit menular itu pada tahun 18 H
dalam usia 58 tahun.
Khalifah
Umar radhiallâhu 'anhu berkata, "Kalau usia Abu 'Ubaidah lanjut, akau akan
mengangkatnya menjadi penerusku. Kalau Allah bertanya, atas dasar apa kau
mengangkatnya, aku akan menjawab, "aku pernah mendengar Nabi-Mu mengatakan
"Dia kepercayaan Umat ini".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar